Akibat keliru memahami Taurat, bangsa Yahudi dan Talmud mengklaim bahwa seluruh potensi dunia ini milik mereka. Berbagai cara mereka lakukan agar seluruh potensi itu kembali ke tangan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah mengeksploitasi kehidupan seksual. Karenanya, mereka mengorganisasi ekspor komoditi pelacur ke rumah-rumah bordil di seluruh penjuru dunia.
Pada tahun 1960, organisasi pimpinan Solomo Berlshtain, anggota Partai Alabama, telah berhasil mengumpulkan kurang lebih tiga ribu orang pelacur. Kota Munich di Jerman merupakan markas besar distribusi wanita-wanita Israel untuk konsumsi negara-negara Eropa. Bisnis seperti itu telah lama ditangani oleh kalangan aristokrat Yahudi.
Di Israel sendiri, bisnis seperti itu mendatangkan keuntungan yang ber-lipat ganda akibat datangnya para konglomerat untuk berlibur ke tanah Israel. Lebih dari itu, Yahudi memanfaatkan bisnis seks sebagai alat pengorek informasi rahasia kalangan birokrat. Departemen Luar Negeri Israel sengaja memanfaatkan seksual sebagai jerat, terutama untuk kalangan birokrat Afrika yang mereka undang dengan iming-iming dukungan PBB atas problematika negara masing-masing.
Permisivisme yang Yahudi canangkan telah menjadikan Israel sebagai negara perusak eksistensi manusia. Di kalangan Israel sendiri, seks bebas telah menciptakan budaya seks primitif. Tidak heran jika gadis-gadis Israel tidak sungkan berjalan-jalan dengan busana minim. Di perbatasan Arab-Israel, pasukan wanita penjaga perbatasan telah dilegalisasi untuk berbaur dengan pasukan perdamaian PBB dan pasukan darurat internasional. Mereka bertugas mengorek informasi dari setiap wakil negara. Lebih jelas lagi, majalah Hoolim Haziah mengatakan: "Jarang sekali kita menemukan perwira polisi internasional tidak memiliki teman wanita Yahudi. Mereka biasa memberikan hadiah yang dibeli dengan harga murah dari negara-negara Arab sekitarnya yang dibawa oleh petugas-petugas PBB. Dengan cara itu, informasi tentang negara Arab akan mengalir dengan mudah."
Kesesatan dan kefasikan mereka bersumber pada kultus mereka kepada nabi-nabi palsu. Selain itu, mereka pun menjadikan Taurat versi Yahudi sebagai pedoman hidup. Dalam Taurat versi mereka, Daud a.s digambarkan sebagai perusak kehormatan istri salah seorang perwira; salah seorang putra Daud a.s. difitnah telah menodai saudara kandungnya sendiri; bahkan mereka pun menuduh Sulaiman a.s. sebagai gigolo yang menyimpan 700 orang istri dan 300 orang wanita sebagai teman dekat. Taurat palsu itulah yang menyesatkan mereka sehingga kefasikan dan kedurjanaan sangat berurat berakar dalam jiwa mereka. Jelasnya, dalam mengumbar nafsu, Yahudi telah kehilangan rasa malu.
Tidak puas jika hanya menjadi negara pengekspor dan pendistribusi pelacur, Yahudi telah menjadikan negaranya sebagai tempat mengkoordinasi pelaksanaan bisnis seks untuk negara-negara lain. Dampak negatifnya sangat dirasakan oleh negara-negara konsumen bisnis tersebut. Perancis misalnya. Perancis hanya mampu mempertahankan kedaulatan tidak lebih dari dua minggu setelah Perang Dunia II karena masyarakatnya telah kehilangan semangat
dan keberanian akibat mewabahnya pembancian dan dekadensi moral yang ditanamkan Yahudi di negara itu.
Yahudi pun berhasil menghancurkan keluarga-keluarga Amerika lewat bisnis pelacuran. Keluarga kalangan birokrat pun tidak luput dari pengaruh bisnis Yahudi. Tahun 1908, sejak pemerintahan Franklin Delano Rooasevelt, pihak pemerintah senantiasa menyediakan wanita-wanita untuk delegasi-delegasi asing. Lebih jelas lagi, hal itu diungkapkan oleh sebuah majalah: "Di kantor Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ditemukan daftar nama dan alamat dua puluh wanita cantik yang nantinya akan dipilih untuk menghibur para politikus yang datang. Semua sesuai dengan kebutuhan dan selera. Oleh Departemen Luar Negeri, kelompok wanita itu diberi inisial sebagai "seksi cinta"." Majalah itu pun berhasil mengumpulkan daftar nama pelanggan dari kalangan elit yang terdiri atas para raja, presiden, perdana menteri, dan lain-lain.
Dampak prostitusi dapat terlihat pada tumbuh suburnya kriminalitas, teror, penyelundupan, pengedaran narkotika, perkosaan, dan dekadensi moral siswa-siswa sekolah. Hal itu tidak lain akibat pengaruh promosi Yahudi dalam menafsirkan kebebasan individu. Lewat media massa, Yahudi mengatakan: "Hasil studi dan riset tingkah laku mengisyaratkan bahwa materi pelajaran seks dalam kurikulum pendidikan akan menurunkan angka kebobrokan dan penyimpangan seksual di sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi." Ternyata, program tersebut diterima sehingga angka dekadensi moral melonjak akibat keinginan untuk lebih mendalami dan menerapkan perilaku hubungan suami istri.
Di Skandinavia, terutama Swedia dan Denmark, sepak terjang Yahudi mengalami sukses yang gemilang. Yahudi berhasil mencapai target setelah memprogramkan pendidikan seks di sekolah-sekolah. Murid-murid sekolah memperoleh kebebasan melakukan aktivitas seksualnya sehingga akan sulit kita temukan seorang gadis yang memahami hakikat hubungan seksual pranikah.
Bahkan, pemerintah Denmark melegitimasi aborsi dan adopsi bayi. Jadi, tidak mengherankan jika angka aborsi meningkat hingga mencapai 20 ribu setiap tahunnya. Tragisnya, semua pihak tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai kesalahan. Bahkan, radio Denmark pernah menyiarkan pentingnya hubungan seksual pranikah dalam menekan angka perceraian.
Program dekadensi moral Yahudi pun merambah ke Uni Sovyet sehingga di sana terdapat program pemerataan wanita melalui prinsip berikut, pria kaya dapat mengambil wanita tercantik, sedangkan pria miskin tidak. Karena itu, tidak boleh tidak, pemerataan seks yang mewujudkan persamaan hak dalam bidang seksual harus ada. Lebih jelasnya lagi, Marx mengatakan bahwa sistem pernikahan yang melarang wanita untuk tidak berhubungan dengan selain suaminya merupakan aturan yang mengikat, baik bagi suami maupun istri. Dengan dalih itulah, Marx memasyarakatkan undang-undang (1965) yang menghapuskan ikatan suami istri melalui perceraian gratis.
Akibat hal sepele, seorang suami dapat menceraikan- istrinya tanpa harus berurusan dengan pengadilan. Sebaliknya, pengajuan nikah harus melalui proses yang berbelit-belit dan lama, hingga harus menunggu dua bulan. Karena itulah, prostitusi merajalela; dan tercapailah target Yahudi. Selain pemerataan seksual, di Sovyet pun terdapat pemerataan kerja sehingga kita akan menemukan wanita-wanita yang menjadi sopir bus, sopir kereta api, bahkan kuli kasar atau tukang sapu di jalan-jalan. Dan para suami, secara hukum, tidak diwajibkan menafkahi istri dan anak-anaknya. Dampak semua itu adalah kehancuran rumah tangga dan anak-anaklah yang menajdi korban.
Kondisi di atas, tidak terlepas dari program perendahan martabat suatu bangsa seperti yang tercantum dalam program No. 10 Yahudi ini: "Hancurkan kehidupan rumah tangga di setiap bangsa dan runtuhkan peran pendidikan di dalamnya".
0 komentar:
Post a Comment