Dengan Ruh Perppu, Parpol Pun Bisa Jadi Abu
Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Wiranto pada hari Kamis, 13 Juli 2017 yang lalu di Galeri Nasional, Jakarta membuat sebuah pernyataan. “Kok sudah ada benturan misalnya, harapan kami DPR sejalan dengan kami. Masalah teman-teman di DPR, sistem kenegaraan kita memang kebijakan dari pemerintah. DPR bagian dari pemerintah.”
Sepintas kalimat tersebut tidak ada yang aneh, namun jika kita perhatikan pada kalimat terakhir dari paragraf tersebut mengandung pengertian yang amat sangat aneh, yaitu pada kalimat “DPR bagian dari Pemerintah”.
Kalimat tersebut menjadi semakin aneh karena ketika mengucapkan “DPR bagian dari pemerintah”, sebelumnya dia membicarakan tentang ketatanegaraan. Artinya dia menyatakan “DPR bagian dari pemerintah” dengan penuh kesadaran, bukan dengan tanpa kesengajaan atau hanya lelucon.
Di dalam konstitusi kita UUD 1945, tidak ada satupun pasal yang menunjukkan bahwa DPR merupakan bagian dari pemerintah. Dalam konstitusi kita mengatur kekuasaan masing-masing secara jelas, tegas dan lugas berbeda antara pemerintah dan DPR. DPR adalah lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan mempunyai fungsi anggaran serta pengawasan, sedangkan Pemerintahan kekuasaannya dipegang oleh Presiden.
Pemikiran bahwa DPR merupakan bagian dari pemerintah nampaknya ada kaitannya dengan penerbitan Perppu No. 2 tahun 2017 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 10 Juli 2017. Sejak diterbitkan Perppu tersebut telah menjadi kontroversial, dikarenakan asas yang digunakan dalam menerbitkan Perppu tersebut. Asas yang digunakan adalah Contrarius Actus, yaitu asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.
Penjelasan tentang penggunaan asas tersebut disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara seusai konferensi pers penerbitan Perppu di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM. “Di UU yang lama, tidak ada asas Contrarius Actus. Jadi, yang mengeluarkan izin seharusnya bisa mencabut izin. Tentu mencabut izin itu ada aturannya juga, tidak bisa suka-suka. Itu prinsip hukum dasar. Aturan Contrarius Actus itu yang jadi ada di dalam Perppu,” ujarnya pada Rabu, 12 Juli 2017.
Asas tersebut jelas tidak tepat digunakan untuk pembubaran Ormas berbadan hukum. Pejabat tata usaha negara mempunyai kewenangan membatalkan dalam asas Contrarius Actus adalah pada subyek yang bukan badan hukum, misal dalam perizinan SIM atau IMB. Jika ternyata pengemudi melakukan pelanggaran, maka polisi dapat membatalkan atau mencabut SIM yang dimiliki tanpa proses peradilan di pengadilan.
Demikian pula IMB, jika didapati ternyata pembangunannya menyalahi IMB maka pemberi izin bisa langsung menghentikan dan mencabut atau membatalkan IMB tersebut tanpa proses peradilan. Hal itupun tidak semua yang bukan badan hukum juga tidak bisa dibatalkan secara serta oleh lembaga tata usaha negara yang menerbitkan, misalnya Akta Kelahiran, Akta Nikah pembatalannya harus melalui proses peradilan.
Dalam hal subyek berbadan hukum seperti Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang memiliki BHP (Badan Hukum Perkumpulan) tidak dapat serta merta dibatalkan seperti halnya SIM atau IMB oleh pejabat tata usaha negara yang menerbitkan. Pembatalannya harus melalui putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Lalu kenapa pemerintah bersikeras memaksakan menerbitkan Perppu No. 2 tahun 2017? Jika Perppu No. 2 tahun 2017 nanti diterima dan disahkan oleh DPR menggantikan UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, berarti DPR menerima asas Contrarius Actus sebagai dasar untuk pembatalan badan hukum tanpa melalui proses peradilan. Hal ini akan mempunyai konsekwensi panjang. DPR harus konsisten dengan keputusannya menerima asas Contrarius Actus sebagai pembatal sebuah badan hukum.
Jika pemerintahan Jokowi sukses dengan Perppu N0. 2 tahun 2017 dimana DPR RI mengesahkan sebagai Undang-undang, maka sangat mungkin kemudian Jokowi akan menerbitkan Perppu tentang partai politik, dimana dalam Perppu tersebut mengatur bahwa pembatalan Partai Politik pembatalannya cukup melalui surat pembatalan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, sebab yang mengeluarkan surat pengesahan partai politik adalah Kementerian Hukum dan HAM. Dan DPR harus menyetujui dan mengesahkan Perppu tersebut sebagai bentuk konsistensinya.
Nampaknya Perppu No. 2 tahun 2017 hanyalah target antara untuk membuat jebakan bagi DPR RI agar mengesahkan asas Contrarius Actus sebagai dasar pembatalan sebuah badan hukum, sedangkan target utamanya menjadikan Partai Politik dapat diberlakukan asas Contrarius Actus. Sehingga pada akhirnya nanti DPR RI yang merupakan representasi dari partai politik harus tunduk dan patuh kepada pemerintah, karena jika tidak tunduk dan patuh maka pemerintah dapat membatalkan pengesahan partai politiknya. Sehingga partai politik tersebut menjadi illegal dan harus bubar. Tercapailah kehendak pemerintah menjadikan DPR bagian dari pemerintah.
Jika sudah demikian maka UUD 1945 yang menjadikan DPR mempunyai fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan tidak ada lagi karena DPR menjadi bagian dari pemerintah. Meskipun nantinya mungkin akan tetap dipelihara adanya beberapa partai politik, namun tak ubahnya segerombolan orang yang antri untuk mendapatkan jatah makan dengan membawa stempel persetujuan apa saja yang diinginkan oleh pemerintah. Tidak ada lagi check and balance sebagai salah satu ciri negara demokrasi. NKRI akan menjadi negara otoriter bukan lagi negara yang berkedaulatan rakyat.
Radikalisme pemikiran yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti ini harus dihilangkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemikiran seperti ini merupakan pemikiran yang merusak sendi pokok ketatanegaraan dan merusak sendi-sendi yang mengikat erat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk menyelamatkan Indonesia harus ada upaya secara massif melakukan deradikalisasi atas radikalisme pemahaman revolusioner ketatanegaraan pemerintahan Jokowi.
Penulis: MS Kalono, SH, Msi (Penasehat DPC Peradi Solo)
0 komentar:
Post a Comment