Banding Kasus Ahok karena Nasdem Punya Jaksa?
Logika jaksa kembali bertabrakan dengan logika publik. Bertabrakan, karena apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kejahatan oleh jaksa, bertolakbelakang dengan apa yang dirasakan publik. Lihat saja dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jaksa yang seharusnya jadi penuntut malah tampil layaknya pembela. Bahkan, semakin terasa janggal, setelah hakim mengetuk palu, jaksa bersikeras mengajukan banding, lantaran vonis lebih berat dari tuntutan mereka. Apakah jaksa sudah benar-benar pasang badan demi melindungi Ahok?
Sejak dipimpin politikus dari Partai Nasdem, M. Prasetyo, kejaksaan mulai kerap mendapat sorotan tajam dari publik. Mulai dari rapor merah yang diterima setiap tahun akibat kinerja yang kurang baik dalam penegakan hukum, hingga pada puncaknya, ketika kasus Ahok bergulir, jaksa seperti benar-benar telah kehilangan sensitivitasnya. Aturan hukum sudah mereka pakai untuk melindungi orang-orang dekat penguasa, bukan lagi untuk menghukum terdakwa.
Ahok telah memutuskan tidak jadi mengajukan banding. Ia menerima putusan hakim, yang memvonisnya harus mendekam di penjara selama dua tahun, karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penistaan agama. Artinya ia telah mengakui kesalahannya, sehingga tidak menggugat vonis tersebut ke Pengadilan Tinggi.
Namun, jaksa tetap bersikukuh mengajukan banding. Padahal, dulu Prasetyo berdalih, banding yang mereka ajukan karena menjalankan SOP (standard operating procedures) di kejaksaan, yaitu ketika terdakwa banding, JPU juga melakukan hal yang sama. Jika kita mengacu kepada alasan tersebut, tentu banding jaksa juga harus segera dicabut, karena terdakwa sudah batal melakukannya.
Kenyataannya jaksa belum juga membatalkan bandingnya. Ketika ditanya wartawan, Prasetyo mengaku akan coba mengkaji dulu. Tampaknya ia mau mencari alasan baru, dalih pembenaran terhadap tindakan yang mereka lakukan. Tentu saja alasan SOP yang dulu mereka gaungkan, sudah tidak bisa digunakan.
Memang, dari kacamata hukum, banding yang dilakukan jaksa boleh-boleh saja, asalkan mereka mempunyai alasan dan dasar hukum yang kuat. Tetapi hal itu pula yang tidak mereka miliki dalam kasus ini, sehingga tindakan itu terasa janggal. Walau vonis lebih tinggi dari tuntutan, namun hakim menjatuhkan hukuman tetap berdasarkan surat dakwaan. Tidak keluar dari koridor itu. Lagipula, ultra petita tersebut juga merupakan hal yang wajar dalam persidangan.
Malah, sikap jaksa penuntut umum yang kala itu mengajukan tuntutan tanpa mempertimbangkan kesaksian ahli yang diajukannya, dan lebih memilih keterangan saksi terdakwa, dinilai aneh oleh banyak pengamat hukum. Kemudian komentar-komentar Prasetyo yang ikut-ikutan membela status Ahok yang tidak dinonaktifkan dari jabatannya, semakin menunjukkan keberpihakan Korps Adhyaksa terhadap terdakwa.
Nasdem Punya Jaksa
Sikap jaksa ini mengingatkan kita kepada pengakuan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, yang menyebut kejaksaan itu kepunyaan Nasdem. Saat itu ia berbicara ke publik tentang alasannya menerima pinangan partai besutan Surya Paloh itu sebagai kendaraan politik untuk maju di Pilkada Jawa Barat. “Nasdem ini Pak, dia punya media, dia punya kejaksaan. Jadi kalau saya tolak, akan lebih banyak mudharotnya Pak, kepada saya dan kepada pembangunan Kota Bandung,” kata dia.
Jika sudah begini, masihkah kita percaya kejaksaan bisa bersikap independen dalam penegakan hukum? Bebas dari konflik kepentingan politik pimpinannya? Kasus Ahok menjadi bukti betapa hukum sudah menjadi tawanan politik. Orang dekat penguasa yang diusung Nasdem dalam Pilkada DKI Jakarta itu, diperlakukan amat istimewa oleh jaksa.
Lagi-lagi nurani publik terkalahkan. Ini merupakan implikasi langsung dari hukum yang penafsirannya sangat elitis. Kebenaran menjadi monopoli aparat penegak hukum, sehingga jaksa yang seharusnya cerdas menghukum pelaku kejahatan bisa berlagak pilon. Mengapa ini bisa terjadi? Tidak lain hanya karena kita mulai terperangkap pada elitisme kejahatan. Kejahatan akan dinobatkan sebagai kebenaran, kalau sudah bermain mata dengan kekuasaan.
Oleh: Patrick Wilson
0 komentar:
Post a Comment