Geram Mau Penjarakan Habib Rizieq, Polisi Memperkeras Polarisasi
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tampaknya harus disadarkan bahwa orang yang percaya pada chat porno yang dituduhkan kepada Habib Riziq Shihab (HRS), adalah orang-orang yang tidak suka dia; baik mereka yang muslim maupun bukan. Yang berada di pemerintahan, termasuk di kepolisian, maupun orang biasa.
Penyadaran ini perlu dilakukan karena ada kemungkinan Polisi berkeyakinan bahwa para jemaah dan pendukung HRS akan bisa “diajak” berbalik arah untuk memusuhi pemimpin FPI itu dengan memarakkan tuduhan pornografi. Tentu saja ini tidak akan terjadi.
Dengan latar belakang penahanan sejumlah ulama dan aktivis muslim yang dilakukan polisi akhir-akhir ini, tuduhan pornografi terhadap HRS justru semakin menguatkan sangkaan khalayak bahwa Polisi sedang menjalankan misi untuk menyudutkan kaum muslimin. Pengentalan opini seperti ini akan sangat berbahaya.
Anda, Pak Tito, bisa saja berdalih bahwa sudah cukup bukti untuk menjadikan HRS sebagai tersangka. Anda bisa saja mengatakan bahwa kasus yang disangkakan kepada HRS murni masalah hukum. Tetapi, harap diingat bahwa kekalahan Ahok di pilkada Jakarta dan kemudian vonis penistaan agama atas diri beliau, sangat erat pertautannya dengan HRS.
Ini membuat kaum muslimin meyakini bahwa pengejaran terhadap HRS yang dilakukan oleh Polisi, semata-mata bertujuan untuk “menyamakan skor”. Untuk memuaskan lawan-lawan HRS. Untuk memuaskan massa pendukung Ahok.
Setiap hari pun Pak Tito kerahkan belasan jurubicara Polisi untuk menjelaskan bahwa tuduhan itu murni masalah hukum, kaum muslimin tidak akan percaya. Apalagi, menurut para ahli hukum pidana, banyak kejanggalan di seputar “pengolahan” tuduhan pornografi itu.
Tambahan lagi, Polisi tampak begitu “geram” untuk menjebloskan HRS ke dalam penjara, secepat mungkin. Sampai-sampai Polisi mengeluarkan berbagai ancaman secara bertubi-tubi. Ancaman jeput paksa, ancaman penerbitan “red notice” ke Interpol, ancaman pencabutan parpor HRS, dlsb. Semakin bulatlah ketidakpercayaan kaum muslimin (minus pembenci HRS).
Anda berhak mengabaikan semua ini, Pak Tito. Tetapi orang sudah tidak seperti zaman Kopkamtib tahun 70-an/80-an dulu. Anda tidak bisa lagi mengendalikan media agar membuat berita-berita yang sepenuhnya menyenangkan Anda, seperti dulu dilakukan oleh Kopkamtib. Memang rata-rata media milik musuh HRS akan berusaha membantu Polisi untuk menyukseskan misi penjeblosan HRS ke penjara. Tetapi, kaum muslimin yang mendukung HRS memiliki jaringan media juga untuk menjelaskan bahwa Polisi “sedang berpolitik”. Bahwa polisi sedang mengemas pesanan.
Jika Polisi terus melanjutkan cara-cara emosional untuk memasukkan HRS ke penjara, maka akan semakin keraslah dinding polarisasi yang sekarang ini sedang mengambil bentuk di tengah masyarakat Indonesia.
Polarisasi itu bisa antara kaum muslimin dan Polisi, atau kaum muslimin dan pihak penguasa pada umumnya. Atau, polarisasi antara kawan dan lawan HRS. Bahkan, karena orang yakin sangkaan pornografi HRS itu terkait erat dengan nasib yang menimpa Ahok, polarisasi itu bisa pula berkembang menjadi disharmonisasi yang berbumbu SARA.
Mengapa? Karena pilkada DKI tempohari memiliki komplikasi SARA. Di sini ada dimensi etnisitas, dimensi keagamaan, dan dimensi prestise (gengsi). Kalau dilihat persentase perolehan suara kedua paslon di babak kedua, sangat terang dimensi keagaman dan etnisitas itu. Misalnya, pemilih yang mendukung Anies boleh dikatakan 100% warga muslim dan non-Tionghoa.
Dengan kata lain, Ahok mendapatkan suara terbesar dari kalangan non-muslim dan kalangan Tionghoa. Artinya, polarisasi di pilkada Jakarta sangat kental.
Dengan begitu, tidaklah keliru anggapan bahwa tuduhan pronografi terhadap HRS adalah lanjutan dari cerbung pilkada Jakarta, termasuk vonis dua tahun untuk Ahok.
Karena itu, kalau Polisi gegabah mengelola tuduhan pornografi terhadap HRS, maka misi yang dilaksanakan oleh Pak Tito hanya akan memperkeras polarisasi di Indonesia. [opinibangsa.id / tsc]
0 komentar:
Post a Comment