Pemblokiran Situs Islam dan Citra Buruk Jokowi
Oleh: Muh. Nurhidayat
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo
SABTU siang (31/12/2016) pemerintah kembali memblokir sejumlah situs berita Islam. Pemblokiran diduga karena kesalahpahaman menkominfo dalam ‘menerjemahkan’ perintah presiden Jokowi–yang sempat diliput media massa–untuk menindak tegas situs-situs berita penebar fitnah.
Sudah 2 kali pemerintahan Jokowi memblokir media Islam online. Pertama, sejumlah situs berita Islam diblokir pertengahan 2015. Alasanya, media-media internet Islam dituduh BNPT dan kemenkominfo mempromosikan radikalisme dan terorisme, terutama ISIS.
Saat itu, BNPT dan kemenkominfo akhirnya terlihat malu karena tidak bisa membuktikan tuduhan sepihaknya. Justru sebaliknya, media-media Islam mampu membuktikan–melalui arsip berita dan artikel–bahwa mereka aktif membantu pemerintah memerangi radikalisme dan terorisme. Media-media Islam korban ‘pembredelan’ justru memberikan edukasi (salah satu fungsi pers) kepada khalayak tentang bahaya ISIS.
Sebab radikalisme dan terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi ini. Tidak kurang dari 35 ayat AL Qur’an yang melarang manusia untuk berbuat kerusakan.
Salah satunya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan ditimpa azab karena mereka selalu berbuat kerusakan.” (QS. 6 : 49).
Kesalahan menkominfo yang beberapa kali salah ‘menerjemahkan’ perintah presiden telah membuat citra Jokowi semakin buruk. Mantan walikota Solo itu dianggap salah memilih menterinya. Sebab menkominfo sudah semestinya paham betul bagaimana regulasi mengatur media yang dianggap bermasalah.
Menkominfo seharusnya ‘ngerti’ tindakan tegas kepada media bermasalah bukannya ‘main sikat’ begitu saja. Ketegasan wajib dijalankan sesuai koridor hukum. Apalagi Jokowi bukanlah raja berkuasa mutlak. Sebagai presiden, ‘titah’ Jokowi dibatasi oleh hukum dan kedaulatan rakyat republik ini.
Bahkan di negara monarki sekali pun, raja dan keluarga istana tidak bisa ‘main sikat’ begitu saja kepada pers yang dianggap bandel–mengganggu ‘ketenangan’ istana. Seperti di Denmark, majalah El Jueves memuat karikatur pelecehan terhadap anak dan menantu raja, yaitu Pangeran Felipe dan istrinya yang bernama Letizia Ortiz.
Penerintah Denmark tidak asal membredel El Jueves. Keluarga kerajaan, terutama Felipe – Ortiz harus mengikuti sidang tuntutan mereka kepada majalah tersebut. Setelah persidangan yang melelahkan, pada 13 November 2007, hakim menjatuhkan hukuman denda masing-masing sebesar 3.000 Euro kepada 1 wartawan El Jueves yang melecehkan Felipe – Ortiz dalam karikatur.
Jika pemerintah menilai beberapa situs Islam–seperti ‘petunjuk’ Jokowi menebar fitnah, maka tidak perlu langsung memblokirnya. Cukup pimred media-media tersebut dipanggil menghadap Dewan Pers untuk dikonfirmasi benar-tidaknya. jika terbukti salah, maka media dinasehati dan diberi teguran tertulis. Setelah teguran tertulis berkali-kali tidak ‘mempan’ baru ditindak tegas, diproses hukum, hingga diblokir bahkan dilarang ‘online’ lagi.
Namun kalau situs-situs Islam itu benar, Dewan Pers membuat pengumuman kepada pemerintah dan khalayak, bahwa media-media tersebut tidak bermasalah.
Jadi, ketegasan tidak identik dengan.langsung memblokir. Sebab pemblokiran akan membuat media online tidak bisa lagi menjalankan jurnalistik tahap akhirnya (menyebarluaskan berita). Dengan demikian, sama artinya pemerintah–kemenkominfo–membredel media Islam online.
Padahal pembredelan media merupakab pelanggaran konstitusi (UUD 1945) dan regulasi terutama UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam sejarah pers Indonesia merdeka, pembredelan media karena alasan politik hanya terjadi pada masa rezim orde lama dan orde baru yang dikenal diktator. Pemerintahan reformasi–sejak Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY–tidak pernah membredel pers karena alasan politik.
Pemerintahan Jokowi telah 2 kali ‘membredel’ media-media Islam online karena alasan yang cenderung politis. Rakyat yang melek media pun akan bertanya, “Apakah Jokowi yang dulu dikenal suka ‘blusukan’ dan akrab dengan media, ternyata adalah diktator bagi media di kemudian hari?”
Jika ternyata benar, maka Jokowi sepantasnya segera bertaubat kepada Allah subhabahi wata’ala dan meminta maaf kepada khalayak, khususnya kepada media-media Islam yang diblokirnya.
Pemerintah yang membredel (termasuk memblokir) media karena alasan politik akan memperburuk citra mereka sendiri. Namanya akan tertulis buruk dalam sejarah jurnalisme.
Jokowi hendaknya ‘berguru’ pada Thomas Jefferson. Ketika memimpin AS, banyak media massa partisan milik lawan-lawan politiknya yang ‘menyerang’ dan berusaha merusak citranya. Namun dia tidak pernah membredel media-media tersebut. Jefferson adalah pelopor presiden yang tidak menekan media, meskipun dia sendiri mampu menggunakan kekuasaannya untuk hak itu (Tebbel, 2000).
Namun jika pertanyaan rakyat salah. Maka Jokowi perlu menegur menkominfonya. Karena ‘kreativitas’ menkominfo, citra Jokowi menjadi buruk akibat pemblokiran situs-situs Islam tersebut. Wallahua’lam.
0 komentar:
Post a Comment