Penanganan yang dilakukan pemerintah terkait dengan isu TKA ilegal dicap jauh dari kata ideal. Padahal, beragam solusi jelas di depan mata. Salah satunya, mengawasi proyek-proyek dengan modal asing di daerah-daerah seluruh Indonesia.
“TKA boleh ilegal, tapi tidak ada proyek yang ilegal. Kemenaker bisa bekerja sama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di setiap daerah untuk memetakan proyek apa saja yang dikerjakan asing dan bisa diawasi ketat,” ujar Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar kepada Jawa Pos.
Namun, hal tersebut tampaknya belum dilakukan secara maksimal. Kemenaker selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan masyarakat untuk melacak TKA ilegal. Padahal, kondisi itu akan membuat penindakan sangat terbatas.
Belum lagi risiko adanya pengawas di lapangan yang akhirnya main di bawah meja dengan pihak perusahaan. “Koordinasi sepertinya tetap menjadi ‘barang mahal’ di negara kita,” kritiknya.
Timboel mengatakan secara pribadi pernah memergoki pekerja perusahaan asal Tiongkok yang sedang beristirahat dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan pun tenaga ahli sebagaimana diharuskan. Penggunaan bahasa asing di lingkungan kerja juga mudah ditemukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.
Padahal, mengacu pada UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, TKA tersebut masuk kategori ilegal karena melanggar aturan. Sesuai aturan, pekerja asing harus didampingi pekerja lokal. Selain itu, mereka wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja.
“Bahkan, kartu identitas pekerjaannya juga dalam huruf Tiongkok. Kalau mengacu secara tegas ke UU itu (ketenagakerjaan), sudah bisa dikategorikan TKA ilegal. Tetapi, mungkin definisi TKA ilegal dari pemerintah hanya dibatasi sebagai TKA yang tidak punya izin kerja,” sindirnya.
Di sisi lain, para TKA di kompleks industri Morosi tidak hanya menggeser pekerja lokal. Mereka juga beberapa kali membagi-bagikan mata uang yuan kepada warga sekitar. Menurut pengakuan warga setempat, tidak sedikit TKA yang melakukan jual beli dengan menggunakan uang asing itu.
Hal tersebut tentu menyalahi SE Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI. Sungkowo, 50, warga setempat, mengaku pernah mendapatkan uang yuan dan dolar Hongkong dari pekerja asing asal Tiongkok. “Kalau kehabisan uang Indonesia, mereka memakai yuan. Nanti pedagang yang akan menukarkan,” bebernya.
Uang asing tersebut juga sering dibagikan pekerja asing kepada anak-anak yang tinggal di sekitar proyek. Uang itu biasanya menjadi hadiah dari TKA ketika mendapat rezeki lebih atau setelah gajian.
Secara terpisah, Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Agung Sabar Santoso menuturkan, memang banyak pekerja asing dari Tiongkok di Kendari. Namun, sebenarnya jumlah pekerja lokal juga banyak. “Saya sudah cek ke lokasi secara langsung, pekerja lokal cukup banyak,” paparnya.
Namun, memang posisi Kendari yang menjadi transit ke Morowali menyebabkan seakan-akan terlihat banyak TKA dari Tiongkok. Padahal, sebagian pekerja asing tersebut juga pergi ke Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). “Di Morowali ada pengolahan (smelter) juga,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (2/1).
Polda Sultra, kata Agung, akan membantu imigrasi bila ada rencana operasi TKA di Kendari. “Kami siap terjun untuk membantu imigrasi. Kita kan partner dengan Dirjen Imigrasi Pak Ronny F. Sompie,” ungkapnya.
Bahkan, beberapa kali operasi TKA yang dilakukan imigrasi dibantu kepolisian. Beberapa waktu lalu, ada sejumlah TKA yang ketahuan bekerja, namun dengan visa kunjungan. “Banyak yang sudah dideportasi,” tegasnya. (fg/jppn)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment