Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro) meminta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal hukum shalat Jum’at dan doa bersama di jalan raya.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI, Salahuddin Al-Ayubi, membenarkan adanya surat dari kepolisian yang meminta fatwa tersebut.
“Ya, ada surat dari Polda Metro yang mempertanyakan bagaimana pandangan hukum Islam dalam hal melaksanakan shalat Jumat dan dzikir di jalan raya”, ujarnya kepada wartawan di kantor MUI, Jl Proklamasi 51, Jakarta, Selasa (22/11), lansir JITU Islamic News Agency.
Salahuddin menjelaskan, saat itu surat tersebut langsung diserahkan ke Komisi Fatwa MUI dan akan segera dilakukan pengkajian.
“Dalam waktu dekat Komisi Fatwa akan menjawab surat tersebut”, ungkapnya.
“Karena SOP-nya seperti itu, akan dibawa terlebih dahulu ke sidang Komisi Fatwa”, tambah Salahuddin.
Diduga Terkait Maklumat Kapolri
Permintaan fatwa MUI dari kepolisian itu diduga kuat terkait maklumat Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang melarang pelaksanaan shalat Jum’at di jalan prokol sepanjang Jl Sudirman-Jl MH Thamrin.
Maklumat itu terkait rencana Aksi Bela Islam III, Jumat (02/12) pekan depan.
Diketahui, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI akan menggelar Aksi Bela Islam III dalam bentuk shalat Jumat dan berdoa bersama di sepanjang jalan protokol itu.
Aksi itu bertujuan mendesak penegak hukum agar segera menahan tersangka kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, serta menegakkan hukum yang berkeadilan. (JITU/Hidayatullah)
Hukumnya Sah
Mayoritas ulama (hanafiyah, syafiiyah, dan hambali) berpendapat, jumatan tidak harus dilakukan masjid. Jumatan boleh dilakukan di luar masjid, termasuk di jalanan. Hanya saja, Syafi’iyah mempersyaratkan, harus dilakukan di dalam kota atau di dalam kampung, yang kanan-kirinya ada bangunan. Dan tidak boleh dilakukan di tanah lapang di luar kampung, seperti shalat ‘id di lapangan.
Zainudin Al-Iraqi – ulama Syafiiyah – (w. 806 H) mengatakan,
مذهبنا [ أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية
“Madzhab kami (madzhab Syafiiyah), pelaksanaan shalat jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalat jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalat tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90).
Sementara dalam madzhab Hambali, jumatan bisa dilaksanakan di manapun, termasuk di lapangan sebagaimana shalat ‘id.
Al-Mardawi – ulama hambali – (w. 885 H) mengatakan,
قوله: ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في الجامع
Keterangan penulis: “Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab hambali, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama hambali. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh mengadakan shalat jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)
Ibnu Qudamah menjelaskan,
ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان ، و يجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء ، و بهذا قال أبو حنيفة
Bukan termasuk syarat sah jumatan harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (al-Mughni, 2/171)
Berbeda dengan madzhab Malikiyah. Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’.
Dalam At-Taj wal Iklil – kitab madzhab Maliki – disebutkan beberapa pendapat ulama Malikiyah,
ابْنُ بَشِيرٍ : الْجَامِعُ مِنْ شُرُوطِ الْأَدَاءِ
Ibnu Basyir mengatakan, “Masjid jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalat jumat.”
Ibnu Rusyd mengatakan,
ابْنُ رُشْدٍ : لَا يَصِحُّ أَنْ تُقَامَ الْجُمُعَةُ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ ( مَبْنِيٍّ ) الْبَاجِيُّ : مِنْ شُرُوطِ الْمَسْجِدِ الْبُنْيَانُ الْمَخْصُوصُ عَلَى صِفَةِ الْمَسَاجِدِ، فَإِنْ انْهَدَمَ سَقْفُهُ صَلَّوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا
‘Tidak sah pelaksanaan shalat jumat di selain masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur maka diganti shalat dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj wal Iklil, 2/237)
Dan pendapaat yang lebih mendekati dalam hal ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. jumatan tidak harus dilakukan di masjid. Sehingga jumatan yang dilaksanakan di jalan, dikelilingi dengan gedung-gedung di sekitarnya, sah menurut pendapat mayoritas ulama. (konsultasisyariah)
Allahu a’lam.
Home
Berita
Kajian Feqih
Tahukah Anda
Polisi minta fatwa MUI soal shalat Jum’at di jalan, Mayoritas Ulama berpendapat shalat jum’at di jalan hukumnya Sah!
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment