Mengapa Rejim Assad yang Minoritas Sulit Jatuh?
Cukup menarik membaca analisis pakar militer dan mantan perwira Rusia, Kolonel Michail Khodarenok dalam Koran popular Gazeta baru-baru ini.
Pertanyaannya, mengapa rejim Bashar al Assad masih sulit dijatuhkan? Jawabannya bukan karena pasukan rejim ini memiliki militansi dan semangat bertempur yang tinggi atau kecakapan secara militer sehingga bisa menangkis pelbagai gempuran kelompok oposisi, namun justru karena kehadiran para milisi Syiah, terutama dari Lebanon, Iran dan Irak.
Yang benar, pasukan Assad sendiri sebenarnya sejak lama telah mengalami demoralisasi. Mereka digambarkan oleh Khodarenok tidak lebih dari sekumpulan pasukan yang pekerjaannya hanya memeras dan mengutip suap di setiap checkpoint. Perang yang sesungguhnya di Suriah dilakukan oleh para milisi Hizbullah, Iran dan Irak yang memiliki semangat tempur yang tinggi. Meskipun demikian, rejim Assad tetap tidak bisa mengendalikan mayoritas desa maupun kota di Suriah.
Kembali menurut Khodarenok, kelemahan militer Suriah terletak kepada dua faktor: pertama, para jenderal Suriah pada dasarnya tidak memiliki rencana strategis jangka pendek dan menengah yang dapat diterapkan dalam menundukkan para pemberontak. Para komandan militer Suriah itu sangat khawatir jika mereka kalah dalam pertempuran karena mereka menganggap kelompok oposisi memiliki semangat dan kemampuan tempur yang tinggi. Sekali kekalahan dialami akan berdampak besar karena posisi mereka yang minoritas.
Kedua, demoralisasi para petinggi militer ini diperburuk oleh fakta bahwa secara kesejarahan militer Assad berada dalam posisi underdog dan tidak ada kebanggaan karena tidak pernah menang dalam perang.
Memang ada upaya Assad untuk mengangkat moral pasukannya dengan mengepung Aleppo. Kemarin, pasukan Assad berhasil merebut kembali Ramousa di Selatan Aleppo yang sempat diambil alih oleh pasukan oposisi, namun itupun terjadi setelah dikirimnya bala bantuan besar-besaran pasukan milisi Syiah Iran yang didukung gempuran pesawat udara Rusia. Jatuhnya Ramousa akan memperkuat pengepungan Aleppo yang masih diduduki pasukan oposisi. Hanya saja, analisis mantan perwira Rusia ini, sekalipun Aleppo jatuh, rejim Assad dipastikan sulit mengalahkan para pemberontak.
Perspektif Ideologi dibalik Dukungan Iran
Jadi dalam konteks ini, berlarut-larutnya perang di Suriah dapat dilihat karena keterlibatan para milisi Syiah diorganisir Iran dari seluruh dunia dan para pejuang Hizbullah yang memiliki semangat dan kemampuan perang yang tinggi. Pada 2006, Hizbullah mampu menahan gempuran Israel dan sukses membangun reputasi sebagai kelompok perlawanan yang kuat.
Iran uniknya memandang perang di Suriah sebagai doubled coin strategy, pada satu sisi koin,sebagai perang eksistensial melawan isolasi kelompok mayoritas Sunni, karena jatuhnya Suriah dari genggaman minoritas Alawi tidak hanya berarti berakhirnya kekuasaan minoritas Syiah selama lebih dari lima dasawarsa, namun juga berdampak kepada jatuhnya Hizbullah di Lebanon karena terputusnya jalur logistik dan dukungan politik (atau sering disebut sea line of commnunication) Iran atas milisi yang menjadi kepanjangan tangan mereka. Dalam konteks ini, maka dapat dipahami logika rekrutmen dan pengerahan besar-besaran milisi Syiah dari pelbagai dunia oleh Iran untuk mencegah kejatuhan Assad. Iran membangun persepsi: Suriah jatuh atau tidak ada lagi Syiah yang kuat dan berpengaruh.
Hanya saja uniknya, pasca Arab Spring, menyingkap sisi koin lainnya, berupa terbukanya jendela kesempatan berikutnya bagi Iran untuk mengembangkan pengaruhnya (baca: ekspor ideologi) di Timur Tengah. Iran sukses membangun poros baru Teheran, Baghdad dan Damaskus sebelum terganggu oleh perlawanan kelompok mayoritas di Suriah. Sementara di Yaman, Iran mendukung kelompok Syiah Houthi yang mampu mengusir Presiden Yaman Abdu Rabbu Mansur Hadi dukungan Saudi dari ibukota Sanaa.
0 komentar:
Post a Comment