[Survivor Story] Tsunami Aceh "in Memories"
25 Desember 2015, kira-kira pukul 20.00 wib, salah seorang member di grup Whatsapp yang saya admini berbagi kisah mendebarkan sekaligus mengharukan tentang pengalamannya diterjang Tsunami Aceh 10 tahun yang lalu.
Saya memanggilnya Kak Ila, nama lengkap beliau adalah Baznila, Ganuzia Bashry, yang sekarang berprofesi sebagai Bidan di Puskesmas Lampupok Kabupaten Aceh Besar.
Berikut kutipan pengalaman beliau pada 26 Desember 2004
***********
Jam 7 pagi saya siap siap pulang ke Indrapuri, tempat tugas sebagai bidan. Karena kebetulan saya kuliah Jumat-Ahad di Banda Aceh. Saya kuliah di Akbid Muhammadiyah. Sedang bersiap-siap suami mengingatkan kalau kita ada undangan walimahan. Jadinya rencana pulang diundur. Saat saya masukkan baju ke mesin cuci, tiba-tiba terjadi gempa. Spontan saya mengingatkan adik sepupu suami untuk keluar rumah. Dia sedang memasang gorden. Kami baru Kamis pindah ke komplek panti asuhan Muhammadiyah Punge Blang Cut tempat suami mengasuh anak-anak yatim.
Sepupu bilang," ah kakak..mana ada gempa..(ga percaya).
Kemudian gempa berlanjut kuat. Dia kaget dan berlari keluar. Sedang berlari dia jatuh. Bangun lagi dan jatuh lagi. Saya langsung duduk dan memeluk anak ke dua saya. Goyangan tidak berhenti dalam sekejap. Orang-orang di komplek semua duduk dan bergoyang seperti dalam truk lewat jalan jelek. Kubah musholla panti berayun-ayun. Kemudian gempa berhenti.
Kami masuk kembali ke rumah memeriksa keadaan.
Alhamdulillah hanya beberapa kobokan yang jatuh dan satu pecah. Saya memakai pakaian lengkap dan memakaikan anak sulung saya lengkap dengan jilbab. Karena saya melihat bebek angda mondar-mandir di depan rumah. Teringat..biasanya ada apa apa kalo bebek seperti itu. Saya masukkan handphone dan Quran di saku. Siap-siap kalau terjadi apa-apa saya sudah bawa hp untuk penghubung dan Quran penghubung dengan Allah.
Saya lantas keluar dengan anak, sembari menelpon si abi yglang sedang bermain badminton dengan teman-teman liqo-nya. Saya juga menanyakan gedung apa yang rusak dan lain-lain.
Terus datang adik bungsu saya pakai motor. "Kak ditanya ama Du (ayah), apakah kalian baik baik aja," katanya.
"Alhamdulillah kami baik-baik aja. Ga ada yang rusak," jawabku.
Adik saya terus bilang, " tadi Mami(adik Ibu) ketemu di Blang Padang. Beliau ketakutan karena melihat hotel rubuh didepan matanya. Beliau sedang memandu acara gerak jalan. Jd ni mo kesana dulu nenangin beliau terus ke tempat kak Yanti (adik ke 3)," jelasnya.
Begitu adik saya keluar gerbang tiba-tiba terdengar suara seperti deru pesawat terbang. Kami saling bertanya-tanya suara apa itu (kebayang kayak kiamat, kita saling bertanya��).
Terus kelihatan dari kejauhan bunyi itu beserta putih-putih di atas pepohonan. Suara seperti pesawat menabrak gedung-gedung gemuruhnya. Terus ada yang teriak, "air laut naik..air laut naik..".
Kami serentak berbalik berlari kocar-kacir. Sebagian besar lari naik ke kampus Akbid berlantai 4. Saya lari ke belakang rumah dengan si adek. Trus sepupu ngambil si adek, "sini kak adeknya..," ujarnya.
Saya tinggal sendiri dan terus berlari. Melihat orang-orang berebut masuk ke Akbid, saya cari alternatif lain. Karena air naik, saya pikir kayu akan melampung jadi saya pegang balok teras setinggi 1 meter rumah tetangga yang setengah permanen. Dengan harapan air tidak lebih tinggi.
Bersama saya ada sepasang suami-istri (ustadz di panti) yang sedang menunggu hari bersama anaknya usia 5 tahun. Ustadz itu terus mencari tempat berlindung sambil bertakbir.. "Allaahu Akbar..Allaaahu Akbar...".
Ya Allaah...ternyata tiba-tiba datang air hitam tegak seperti dinding setinggi kira kira 2-3 meter. Ya Allah...saya berserah diri pada Allaah dengan mengucap syahadat..mengharapkan husnul khootimah.
Saya cuma bisa pasrah sambil mengucap, "Bismillaahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syaiun fil ardhi wala fissamaai wahuwassamii'ul 'aaliim". Dan... Blaar..air hangat menerjang saya.
Terus air tadi setinggi leher saya semakin meninggi. Rumah yang saya pegangi baloknya sudah penuh air. Saya lihat air naik ..naik..naik..dan terus naik mendekati asbes atap rumah kira-kira kurang dari sejengkal lagi. Saya sudah pasrah saat air sudah naik setinggi telinga saya. Saya bersiap tenggelam..bersyahadat tapi tetap memegang balok yang saya harap adalah syahid.
Tiba tiba terasa ada gelombang kuat..mengangkat rumah yang saya pegang..dan saya terbawa air..alhamdulillah mata dan hidung saya masih di atas air.
Balok tetap terpegang. Saya lihat papan rumah dan dindingnya tidak ada lagi lepas semua kecuali atap dan satu tiang yang saya pegang. Allaahu Akbar. Kiri kanan saya mobil lewat, saya terus terbawa arus hingga tiba-tiba mentok dan atap tadi menutupi saya. Saya lihat dalam gelap barang-barang disisi kanan kiri depan dan belakang saya. Hanya kosong di tempat saya tegak mengapung.
Saya bergegas mencoba keluar dari air. Di sisi atap seng ada sedikit celah dan saya keluar dari bawah atap itu.
Ternyata saya berdiri diatas tumpukan barang-barang kira kira setinggi 4 meter. Saya lihat semuanya air. Saya lihat matahari memancar dengan baik. Saya pikir..ooh..ini bukan kiamat..ini bencana alam. Tapi siapa yg bisa bantu kita di sudut rumah begini. Saya pikir ajal saya bukan tadi, mungkin sebentar lagi. Atau beberapa detik ke depan.
Saya lihat ada balok ukuran 5,5 di lobang angin rumah yang tidak ada plesternya. Masya Allah seperti di kirim untuk saya. Saya pikir, ya Allah..kalau air naik lagi saya harus bergantung disitu. Saya harus berusaha. Saya terus melihat mobil bahkan atap atap rumah lewat. Tapi sekarang berbalik arah ke arah laut. Dan saya melihat binatang seperti kepala ular yqng berenang ke arah laut sebesar ukuran A4. Saya perkirakan air setinggi 3 meter. Sewaktu saya mencoba beranjak, saya menoleh ke kiri.
Ya Rabb, ada ular kecil warna kuning, saya sangat ketakutan. Saya pikir, mungkin ajal saya bukan di air..tapi dipatok ular. Saya ambil kayu dengan gemetar, saya lihat ular itu sudah tegak kepalanya siap mematuk. Saya bilang. Kalau bukan saya yang mati karena kamu patuk kamu yang mati karena saya pukul. Saya hamba Allah, kamu pun hamba Allah.
Saya siap memukul seperti mengayun kayu pemukul bola kasti sambil teriak.."Asyhaadu an laa Ilaaha illaallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah"..kuat kuat. Eh..tiba-tiba ularnya melengos pergi. Alhamdulillah ya Rabb.
Saya melihat sekelilingnya, saya pikir cuma sendiri yang sementara selamat. Saya sudah pasrah..Du dan Mu tidak selamat. Saya sudah pasrah anak-anak dan suami saya tidak ada lagi. Semuanya sepiiiii sekali. Tidak ada lagi kehidupan.
Tak lama..saya dengar suara suara ramai minta tolong..Toloong.toloong..suara teriakan teriakan ..suara..suara zikir..suara-suara menangis..beragam suara yang menurut saya sepertinya dari arah pabrik jamu. Saya pikir alhamdulillah masih ada orang lain yang selamat. Saya jadi tambah semangat.
Sementara dari kejauhan saya lihat ke arah Akbid ada seorang gadis menggendong balita. Ke sebelah kanan atas atap rumah ada seorang laki-laki dan ada juga seorang bapak di atap yang lewat mengikuti arus, berzikir Lailaha illallaah..terus dia berzikir.
Saya melihat kiri kanan, apa yang bisa saya manfaatkan untuk mencari pertolongan. Saya teriak berusaha memanggil orang di atas gedung Akbid..
Hooooiiiii..!!!
Alhamdulillah saya masih berpakaian lengkap dengan kaus kaki. Tidak ada yang terlepas. Apa saya buka aja jilbab untuk cari perhatian dengan dikibar-kibarkan??
Ah..tidak, saya tidak mau mati dalam keadaan terbuka.
Rupanya pemuda yang diatas atap tadi melihat saya yang jingkrak-jingkrak sambil berteriak tadi. Dan dia pun semangat dan berusaha memanggil orang-orang di atas gedung Akbid yang rupanya berjumlah kurang lebih seratusan.
Tiba-tiba nampak suami saya di atap dekat Akbid. Saya teriak sekuat tenaga..abaaaaangg!! Abaaang!! Saya jingkrak-jingkrak biar kelihatan. Rupanya beliau sudah diberitahu oleh pemuda tadi kalau ada satu lagi yang selamat. Rupanya beliau dari tadi sambil berurai airmata bertanya ke anak-anak panti.
"mana ummi..mana ummi," ujarnya sambil naik turun dari tingkat kedua sampai keempat. Turun lagi..naik lagi membuka mayat-mayat yang sempat diangkat anak-anak mencari saya. Dan ketemu dengab pemuda tadi. Beliau melompat dari atap ke atap mencari tempat terdekat dengann saya.
Saya bertanya sambil teriak, "Anak anak2??
Beliau mengacungkan jempol.
Alhamdulillah ternyata adik sepupu juga ada dialah yang mencari pohon terdekat sambil mengikat diri dan berenang melawan arus balik mendekati saya. Saya turun ke air dengan memegang tangga yang dia bawa. Kaki tidak menyentuh tanah.
Naik ke atap rumah itu dan lompat dari atap ke atap terus ke lantai 2 Akbid.
Di atas lantai 4 Akbid bukannya aman karena gempa terus menerus mengguncang. Setiap gempa, setiap kali itu pula suara raungan, zikir, tangisan bercampur-aduk. Dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Khawatir Akbid runtuh, saya temui ustaz-ustaz disitu supaya kita harus keluar dari sini. Mereka setuju. Anak 2 yang besar membuka jalan. Air sudah semakin surut. Sekitar jam 12.30 dari kejauhan azan bergema. Ya Allaah..berarti ada mesjid yang masih berfungsi. Artinya tidak semua kena air.
Akhirnya kami pun keluar dari Akbid. Jalan tidak nampak, tidak tahu kemana arah karena rumah-rumah tidak ada, semua telah rata. Yang ada hanya tumpukan barang dan mayat bergelimpangan. Ada yang dalam kulkas. Ada yang tersuruk dalam sampah dan ada pula yang nampak kaki dan tangan aja. Rata-rata semua telanjang.
Kami panik. Berlari serabutan menuju mesjid terdekat. Berebutan naik ke lantai 2 mesjid. Rupanya disana sudah ramai orang-orang. Saya juga melihat teman SMA saya yang non muslim disitu. Dan Allaahu Akbar..ada anak-anaknya Ustadz Raihan Iskandar yakni Syifa, Yasin dan Fida. Saya peluk mereka. Saya tau ustadz sedang du luar kota begitu juga dengan bu Rita. Begitu keadaan aman, saya ajak anak-anak bu Rita. "Ayo..kalian sama amah aja kita mengungsi. InsyaAllah Allah akan pertemukan kita lagi ama Ummi dan Abi kalian," ujarku.
Tangan kiri gendong Suhail tangan kanan memapah Fida
Kami terus berjalan mulai dari air setinggi lutut sampai semata kaki. Hingga akhirnya ketemu jalan kering yang tidak tersentuh air.
***********
Beliau belum sanggup melanjutkan cerita karena kejadian itu masih lekat di fikiran, sambil mengetik pengalaman ini beliau terjeda dengan air mata yang terus mengalir.
"Masih banyak kisah yang lebih mengharukan daripada kisah saya ini," pungkasnya.
By : Fitria SR
Follow @onlyfitri on Twitter
0 komentar:
Post a Comment