Jokowi Cabut Subsidi Rakyat, tapi Bayar Bunga BLBI, Sejak Mega Rp600T
Ketua Lembaga Penyidikan Ekonomi dan Keuangan Negara, Sasmito Hadinegoro tantang Presiden Joko Widodo juga mencabut subsidi bunga obligasi rekap (OR) BLBI yang diberlakukan sejak pemerintahan Megawati SP.
"Kenapa Jokowi beraninya cabut subsidi BBM, berani gak, Jokowi cabut subsidi bunga OR kepada bankir-bankir bandit kroni pengemplang BLBI seperti Sjamsul Nursalim dan lain-lain,” tegasnya Sasmito geram.
Menurut hitungan Sasmito, jika dihitung sejak 2003 sehingga negara telah mengeluarkan subsidi bunga OR senilai Rp 600 triliun yang dinikmati bankir-bankir konglomerat itu. Angka subsidi bunga OR BLBI yang dibayarkan Rp 60 triliun tiap tahunnya sejak 2003 yang hingga kini belum juga distop.
Seperti diketahui pemberian bunga OR Rp 60 triliun per tahun dimulai sejak jaman pemerintahan Megawati. Saat itu pula, Mega memberikan SKL (Surat Keterangan Lunas) pada bankir-bankir yang sangat merugikan keuangan negara yang patut diduga ada permainan di dalamnya.
Karena itu, Sasmito menegaskan, Jokowi jangan hanya menyerukan revolusi mental yang tidak jelas tolak ukurannya. "Serukanlah revolusi keuangan negara juga revolusi hukum. Hukum jangan hanya tajam ke bawah tapi majal ke atas. Ayo tuntaskan Century Gate dan BLBI Gate yang merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah," jelasnya.
Gatra menulis, debitor yang telah menjalani pemeriksaan dalam penyidikan akhirnya mendapatkan tanda lulus bebas dari kasus ini karena langsung dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung yang mengusut kasus ini.
Adapun sejumlah nama yang 'ijazah' SP3 penerima SKL BLBI di antaranya Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI), pengusaha The Nin King, dan Salim Group. Salim Group saat menerima SKL memiliki jumlah utang lebih dari Rp 55 triliun. Selang 2 tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan ternyata hanya senilai Rp 30 triliun.
Selain nama di atas, masih ada sejumlah nama yang mendapt SKL, yakni James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban bayar sebesar Rp 303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian Rp 424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara Rp 189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa Rp 790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara Rp 159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira Rp 155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat Rp 577,812 miliar).
Sebagai gambaran, BLBI di era Presiden BJ Habibie dana yang digelontorkan berjumlah Rp 210 triliun tapi melalui BPPN agar sejumlah bank tersebut tidak collapse. Entah mengapa, pada masa pemerintahan Megawati praktik penyehatan perbankan nasional sedikit berbeda. Jika diawal prosesnya adalah pengambil alihan aset lalu baru pengucuran dana sesuai aset yang diambil alih, di era Mega dibalik dana dikucurkan baru aset dievaluasi. Kemudian ternyata diketahui belakangan setelah terbit SKL, banyak aset bank yang busuk. Tidak tanggung-tanggung dana yang dikucurkan senilai Rp 430 triliun, sehingga total Rp 640 triliun.
Namun, ketika dilanjutkan oleh Mega, program BLBI ditambah dengan program, penerbitan obligasi rekap. Permasalahan baru muncul setelah penerbitan obligasi rekap. Negara seolah-olah berutang kepada bank karena abligasi rekap ini. Total nilai obligasi rekap yang diberikan kepada bank-bank adalah senilai Rp 430 triliun. Sehingga diberlakukan pengenaan bunga dengan besaran bunga tiap tahun dengan kisaran 13-14%, dengan masa jatuh tempo selama 10 tahun. Jadi apabila total obligasi rekap Rp 430 triliun dengan jangka waktu 10 tahun, maka bunga yang harus dibayar APBN adalah sejumlah Rp 600 triliun.(FN-04)
0 komentar:
Post a Comment