Apakah Upaya Riyadh akan Berhasil ?
Ismail Numan Telci
Selama 5 hari lalu, kawasan Teluk menghadapi salah satu krisis politik paling serius dalam sejarah modern. Senin pagi, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar sebagai upaya isolasi negara itu.
Disamping itu, ada 3 negara lainnya, Mesir, Libya, Yaman, negara kecil Maladewa dan Mauritius. Sementara negara-negara lain, seperti Yordania, Mauritania, Djibuti dan Senegal juga bergabung menentang Qatar, salah satu negara paling makmur di kawasan Teluk. Keputusan yang tidak bijaksana ini tidak pelak dalam membahayakan persatuan diantara negara-negara Teluk dan menyebabkan tekanan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Sejak awal krisis, para analis mencoba memahami motif dibalik manuver ini, yang dipimpin oleh Riyadh dan Abu Dhabi. Meskipun mereka juga tidak bersepakat dalam sejumlah isu kebijakan luar negeri mereka, dua negara ini bersatu dalam melawan Qatar. Saya yakin ada setidaknya 3 alasan dibalik kampanye anti Qatar oleh Riyadh dan Abu Dhabi.
Mendukung Revolusi Arab
Pertama, mereka merasa terancam oleh komitmen Qatar yang mendukung perubahan demokratis rakyatArab sejak awal Arab Spring di Tunisia pada 2010. Baik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) menganggap Revolusi Arab sebagai ancaman langsung keberlangsungan dinasti mereka.
Kedua negara menganggap dukungan demokratis Qatar di kawasan merupakan serangan langsung terhadap rejim mereka. Sentimen ini menjadi tampak menyusul perubahan kepemimpinan di Qatar pada 2013. Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad al Thani yang semakin meningkatkan perlawanan revolusioner di Timur Tengah membuat marah istana di Riyadh dan Abu Dhabi.
Mendukung Ikhwanul Muslimin
Alasan kedua dibalik permusuhan Abu Dhabi dan Riyadh melawan Qatar adalah dukungan Doha untuk Ikhwanul Muslimin. Doha telah lama mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir dan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan gerakan Islam moderat ini. Dukungahn ini semakin meningkat setelah Muhammad Mursi terpilih menjadi presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis pada 2012.
Presiden Mursi adalah sebab kekhawatiran utama Arab Saudi dan UEA karena mereka takut naiknya Ikhwan di Mesir akan memberikan dampak kawasan. Baik Riyadh dan Abu Dhabi bekerja keras menjatuhkan pemerintahan Mursi. Mereka bahkan berpartisipasi dalam upaya kudeta militer Juli 2013 yang mengakhiri pemerintahan Mursi dengan dukungan para tokoh anti Ikhwanul Muslimin dalam militer Mesir. Oleh karena itu, langkah terakhir Riyadh dan Abu Dhabi dapat dilihat sebagai upaya untuk memaksa pemerintah Doha memutus hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin.
Mencari Independensi
Alasan ketiga dibalik krisis ini adalah kecenderungan pemerintah Doha yang menjalankan kebijakan luar negerinya yang independen dari negara-negara Teluk lainnya, khususnya Arab Saudi. Sikap ini secara perlahan diadopsi oleh anggota-anggota lainnya di Dewan Kerjasama Teluk, terutama Kuwait dan Oman, yang menyebabkan Arab Saudi marah karena kehilangan posisi kepemimpinannya di Dewan. Ini menyebabkan Raja Salman yang ingin menjalankan kebijakan luar negerinya yang lebih aktif di kawasan ini ketimbang pendahulunya, Raja Abdullah mulai mengambil sikap tegas kepada Doha.
Kebijakan lunak Qatar terhadap Iran dan hubungan dekatnya dengan Turki dianggap sebagai tanda perpisahan Doha dari pengaruh Saudi. Riyadh sangat khawatir dengan dekatnya Doha dan Teheran karena ini dianggap sebagai tantangan terbuka bagi Arab Saudi yang memimpin negara-negara Teluk.
Bagaimana Krisis ini Berdampak Terhadap Teluk?
Keputusan Arab Saudi, UEA dan Bahrani untuk membekukan hubungan diplomatiknya dengan Qatar akan memberikan konsekuensi langsung atas aliansi regional Teluk (GCC). Dengan memaksa Qatar untuk menimbangkan menarik diri dari organisasi itu, para pemimpin di Riyadh dan Abu Dhabi beresiko memecah persatuan negara-negara Teluk. Akibat perselisihan ini, negara-negara seperti Kuwait dan Oman juga akan mempertanyakan komitmen mereka atas GCC dan mempertimbangkan aliansi regional baru. Ini jelas akan membahayakan aliansi regional tersebut dan menciptakan perpecahan aliansi Arab ini dalam jangka panjang.
Pengambil manfaat utama dari skenario ini jelas Iran, negara yang telah meningkatkan pengaruhnya di kawasan secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, langkah terakhir Saudi, Emirat dan Bahrain jelas merusak diri mereka sendiri. Dengan menghukum pemerintah Qatar, Arab Saudi mencoba memberikan pesan kuat kepada Oman dan Kuwait, negara yang secara relatif memiliki hubungan yang lebih baik dengan Iran. Namun, cara yang Arab Saudi lakukan untuk mencapai tujuannya ini jelas tidak dewasa dan tidak profesional.
Keputusan untuk menghentikan semua hubungan diplomatik, membekukan semua penerbangan, melarang penggunaan wilayah udaranya, menutup perbatasan darat dan meminta warga Qatar meninggalkan Arab Saudi adalah model yang jarang ditempuh dalam krisis diplomatik, bahkan atas musuh-musuh yang paling dibenci sekalipun. Dengan mengambil langkah seperti itu, Arab Saudi kehilangan kredibilirasnya tidak hanya di mata warga Qatar, namun juga di mata warga Arab di seluruh Timur Tengah. Dengan menghukum tetangganya seperti itu, Riyadh justru memaksa sekutunya untuk mendekat ke aktor regional dan internasional lainnya, bahkan mungkin juga ke Iran. Oleh karena itu, upaya untuk menahan laju Iran, maka pendekatan yang tidak realistik kepemimpinan Saudi akan berakibat sebaliknya.
Mengapa Upaya Saudi akan Gagal?
Keputusan yang diambil terhadap Qatar hanya menempatkan Doha mengambil keputusan sulit di tingkat internasional, namun pada saat bersamaan Arab Saudi dan sekutunya juga tidak akan nyaman karena hasilnya yang akan berbeda. Kenyataannya, blok yang mendukung Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dalam krisis tidaklah cukup kuat. Mesir, Libya, Yaman, Bahrain dan Maladewa bergabung melawan Qatar bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Namun, beberapa negara yang terlibat adalah negara-negara gagal, sementara negara-negara lainnya telah diketahui kebijakan luar negerinya dikendalikan oleh Arab Saudi.
Bahrain, misalnya, adalah negara yang independen dalam urusan diplomatiknya, namun kebijakan luar negerinya dikendalikan oleh Arab Saudi. Oleh karena itu, Manama berada di sisi Riyadh dalam krisis ini bukan karena pilihan namun karena kewajiban. Sebagai negara kecil dengan kemampuan terbatas, sumbangan Bahrain terhadap Riyadh dan Abu Dhabi jelas terbatas.
Disisi lain, negara pulau Maladewa sedang menghadapi instabilitas politik dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai akibat kudeta militer pada 2012, negara kecil ini dituduh berpaling dari demokrasi dan masuk dalam pengaruh Arab Saudi.
Misalnya, beberapa bulan lalu, pihak oposisi Maladewa mengkritik pemerintah karena menjual 19 pulau ke Arab Saudi. Mereka mengklaim bahwa pemerintah telah menjual legitimasinya kepada Arab Saudi untuk milyaran dollar investasi. Hubungan negara itu dengan Arab Saudi dapat menjelaskan motif dibalik dukungan negara kecil itu terhadap Raja Salman dalam krisis Qatar.
Faktor Mesir
Pendukung lainnya, Arab Saudi adalah Mesir, negara yang tengah bergelut secara ekonomi dan politik. Menyusul kudeta militer pada 2013, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sangat kuat mendukung rejim baru di Kairo ini. Namun hubungan keduanya memburuk ketika Abdel Fattah al Sisi berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan Iran. Karena itu, Mesir dan Arab Saudi mengalami ketegangan hubungan pada 2016.
Namun, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS mengubah arah. Trump memprakarsai pembentukan front Arab bersatu, termasuk Arab Saudi dan Mesir melawan Iran. Kunjungan Trump ke Arab Saudi merupakan bentuk konsolidasi aliansi ini.
Namun mengingat hubungan pasang surut kedua negara, komitmen Kairo untuk rencana Saudi untuk mengisolasi Qatar di kawasan ini patut dipertanyakan. Bahkan jika Mesir memilih untuk tetap di pihak Riyadh, pertanyaanya seberapa efektif dan kuat dukungan Mesir tersebut. Ekonomi Mesir berada di jurang kejatuhan, negara ini gagal mengatasi ancaman teror, khususnya di kawasan Sinai dan tidak juga mampu menjalankan stabilitas politik dan kedamaian masyarakat.
Libya adalah negara lain yang bergabung dalam blok anti Qatar. Namun patut dicatat bahwa pengumuman dukungannya mereka untuk Riyadh dibuat oleh pemerintahan separatis di Tobruk yang diciptakan Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang jelas tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah Libya.
Dukungan Yaman
Akhirnya, Yaman juga memberikan dukungan kepada Saudi dan Emirat untuk mengisolasi Qatar. Namun, pemerintah Yaman ini hanya dapat mengendalikan sebagian wilayah saja. Negara ini terpecah antara pemerintahan Abd Rabbu Mansour Hadi yang didukung Saudi, pasukan Al Zubaidi yang didukung Uni Emirat Arab dan milisi Houthi yang didukung Iran. Jadi hampir tidak mungkin adalah satu kekuatan yang dapat mendukung keputusan tersebut dan merefleksikan pandangan seluruh rakyat.
Disisi lain, pernyatan politik dimana pemerintah Hadi menuding Qatar mendukung kelompok teroris di negara itu jelas dibuat berdasarkan arahan Arab Saudi karena pernyataan tersebut mengabaikan fakta bahwa pada Maret 2015, Hadi diselematkan dari tahanan milisi Houthi dalam operasi yang melibatkan Qatar.
Juga Arab Saudi dan UEA sendiri memiliki pendekatan yang berseberangan dalam konflik di Yaman. Mereka melakukan kebijakannya sendiri-sendiri serta memiliki orang dan kepentingan yang berbeda di negara tersebut. Meskipun mereka bekerjasama dalam memusuhi Qatar, namun sangat mungkin kedua negara memiliki perbedaan serius di masa depan yang berkaitan dengan masalah Yaman. Pemerintah Hadi di Yaman yang didukung Saudi sedang berhadapan dengan kekuatan Zubaidi yang didukung emirat.
Maret lalu, menyusul keputusan Hadi untuk memecat Aidarous al Zubaidi sebagai gubernur Aden, selanjutnya Al Zubaidi mengumumkan dirinya sebagai presiden Dewan Politik Transisi di Yaman selatan. Zubaidi, yang mencoba meningkatkan kendalinya di kawasan itu telah membentuk pemerintahan alternatif dengan dukungan Uni Emirat Arab. Ini dilihat sebagai langkah pertama untuk negara Yaman selatan merdeka. Dengan langkah ini, kemungkinan Yaman terpecah menjadi dua semakin dekat, hal yang ditentang keras Arab Saudi. Oleh karena itu, dapat dikatakan kerjasama antara Riyadh dan Abu Dhabi rentan gagal karena Yaman.
Dukungan Turki untuk Qatar
Negara-negara seperti Turki, Jerman dan dalam derajat tertentu Iran mengkritik langkah memusuhi Qatar. Pada saat Menlu Sigamar Gabriel menentang keputusan Saudi dan Emirat yang membekukan hubungan diplomatiknya dengan Qatar, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan malah jelas menyatakan dukungannya kepada Qatar.
Sebagai tanda solidaritas tersebut, pada 7 Juni parlemen Turki menyetujui UU yang mengijinkan pasukan Turki ditempatkan di Qatar. Dan Ankara juga menyatakan kesediaannya untuk memasok makanan kepada Qatar.
Dengan menunjukkan dukungan itu, Turki telah mengirim pesan langsung kepada pemerintah Saudi bahwa negara itu beresiko merusak hubungan baikknya dengan Turki, negara paling kuat di kawasan, karena mencoba mengisolasi negara kecil, namun sangat berpengaruh. Sebagai sekutu strategis, Arab Saudi dan Turki pada dasarnya memiliki kepentingan yang sama dalam politik regional, dan aliansi keduanya menjadi kunci stabilitas dan perdamaian kawasan.
Apalagi, pemimpin Saudi seharusnya juga mempertimbangkan secara seksama apakah mereka dapat sepenuhnya mempercayai pemerintah AS, khususnya dalam hubungan yang tidak bagus dengan AS selama pemerintahan Obama. Setahun lalu, Konggres AS telah meratifikasi UU Keadilan terhadap Sponsor Tindak Terorisme yang memungkinkan pengadilan AS untuk memulai proses hukum terhadap pemerintah Saudi karena dianggap bertanggung jawab dalam serangan teror 11 September. Oleh karena itu, pemerintah Riyadh seharusnya ingat faktaa bahwa dukungan pemerintah AS sekarang ini untuk kerajaan dapat dengan mudah berbalik tuduhan besok.
Masa depan Teluk suram karena permusuhan diantara negara-negara bertetangga. Upaya Riyadh dan Abu Dhabi untuk menundukkan Doha secara politik lebih tampak merupakan isolasi bagi Riyadh sendiri ketimbang menekuk Qatar. Oleh karena itu, ketimbang bermusuhan satu sama lain, negara-negara Teluk seharusnya mencari cara untuk bersatu karena ancaman bersama seperti terorisme, ekstrimisme dan tantangan ekonomi.
*Wakil Direktur Middle East Institute (ORMER) di Universitas Sakarya University.
Sumber : Permatafm.com
0 komentar:
Post a Comment