Mengapa Kampanye Anti Qatar Akan Gagal?
David Hearst
Tampak jelas bahwa perang melawan ISIS dan Al Qaeda hanya pertunjukan saja. Memang kenyataannya, dalam banyak hal, perang atas teror hanya pertunjukan sampingan.
Upaya untuk menekuk Qatar dan pengepungannya hanya menunjukkan pertarungan untuk memperebutkan dominasi kawasan di dunia pos Barat seperti sekarang ini.
Ada 3 blok yang tengah berebut kontrol.
Pertama, blok yang dipimpin Iran -dengan aktor pendukungnya, Irak, Suriah dan sekutu milisi Syiah dari Irak, Hizbullah dan Houthi.
Kedua adalah rejim-rejim tua, negara monarki absolut, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain, termasuk didalamnya Yordania dan Mesir.
Blok ketiga dipimpin Turki, Qatar, Ikhwanul Muslimin dan beberapa kekuatan lainnya yang tumbuh setelah Arab Spring.
Sesaat setelah wilayah perbatasan Qatar ditutup pada 5 Juni, Pentagon justru memuji “peran dan komitmen Qatar dalam menjaga keamanan kawasan”.
Dalam pertarungan tiga kelompok ini, para sekutu AS tengah mendestabilisasi tata kawasan, sama seperti halnya para musuh Amerika dan kampanye anti Qatar menjadi contohnya.
Arab Saudi membuat kesalahan kalkulasi karena mencoba memaksakan keinginannya atas negara Qatar yang dianggap kecil. Tapi yang terjadi, Arab Saudi justru tengah menciptakan kekacauan dalam tata kawasan yang pada ada, yang pada awalnya berupaya melawan dominasi Iran di negara-negara sekitar kerajaan.
Dengan kata lain, jika dalam perang Suriah, Saudi bekerjasama dengan Saudi, namun dalam konflik Qatar, Turki mengambil langkah berlawanan dengan Saudi. Akibatnya hal sebaliknya yang justru terjadi, kini terbangun kesamaan kepentingan antara Iran, Turki dan gerakan Islam politik karena tindakan tersebut, hal yang sebenarnya aneh.
Dua kekuatan besar yang berseberangan kini justru bergandengan karena kebijakan Arab Saudi ceroboh dan berakal pendek. Menlu Iran Javad Zarif berada di Ankara kemarin Rabu.
Pentagon Berseberangan dengan Twit Trump
Dua pengubah permainan dalam kampanye anti Qatar adalah keputusan parlemen Turki untuk menyelesaikan secara cepat UU yang mengijinkan pasukan Turki ditempatkan di pangkalannya di Qatar dan pernyataan oleh Garda Revolusi Iran yang menuduh Arab Saudi bertanggung jawab atas serangan terhadap parlemen dan makam Ayatollah Khomeini yang menewaskan 12 orang.
2 peristiwa ini justru menjadikan Arab Saudi terisolasi. Arab Saudi boleh jadi membully negara kecil itu, namun dia tidak dapat mempertahankan dirinya tanpa dukungan militer asing.
Apapun twit yang dikirim panglima tertinggi angkatan bersenjatanya (presiden Trump), tampaknya militer AS di Teluk melakukan hal sebaliknya. Inilah salah satu alasan mengapa Gedung Putih dengan Pentagon mengatakan hal-hal yang berseberangan tentang Qatar pekan ini.
Sesaat setelah perbatasan Qatar dengan Saudi ditutup pada pukul 5 sore, Pentagon justru memuji Qatar karena komitmennya atas keamanan kawasan.
Pernyataan Pentagon ini mengacu kepada pangkalan udara AS Udeid yang menjadi pusat komando angkatan udara AS, dimana semua operasi penerbangan direncanakan disana dan 10 ribu pasukan AS tinggal disana.
Pernyataan tersebut muncul setelah twit Trump yang mengklaim menjadi otak dari langkah istimewa melawan Qatar dan bahwa hal ini merupakan buah dari pidatonya di Riyadh di depan 50 kepala negara Muslim. Setelah twit itu, keluar lagi pernyataan Pentagon yang kedua, kembali mengulangi pujianya atas Qatar karena menjadi tuan rumah pasukan AS.
Pandangan Pentagon ini didukung oleh Eropa, setidaknya oleh Menlu Jerman, Sigmar Gabriel yang mengatakan,“Tampaknya, Qatar akan diisolasi baik berhasil atau tidak namun tindakan itu dapat dianggap sebagai ancaman eksistensialnya.”
“Perlakuan Trumpifikasi seperti itu sangat berbahaya di kawasan yang sebelumnya telah dihantam krisis,” ungkapnya.
Segera setelah keputusan Turki ini, Trump menelpon Amir Qatar menawarkan mediasi: 24 jam setelah twitnya yang kontroversial. Hal ini menandakan “pesan” dari militer telah mengubah dirinya.
Kesalahan Kalkulasi
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah melakukan manuver diluar kemampuannya.
Kesalahan kalkulasi pertama adalah terjebak menyantap narasi Trump. Ketika anda membeli produk Trump, anda harus sadar efek sampingannya. Salah satunya adalah adanya kemarahan besar dan perlawanan terhadap Trump di dalam negerinya sendiri.
Anda harus tahu siapa yang marah kepada Trump: CIA, Pentagon, Deplu, para senator dari kedua kubu dan para hakim. Mereka tidak hanya deep state AS, namun juga marah dengan manuver Trump.
Duta besar Emirat di Washington Yousef Al Otaiba juga membuat kesalahan klasik karena menganggap jika mantan Menhan AS mengamininya berarti seluruh departemen pertahanan akan ikut dia. Yang terjadi justru tidak.
Duta besar AS untuk Rusia Sergey Kslyak kini dianggap sebagai diplomat Washington yang paling berbahaya karena melakukan hal yang sama. Semua duta besar sejenis ini bingung membedakan kesuksesan lobi mereka dengan kebijakan luar negeri. Kedua hal itu berbeda.
Kesalahan kedua adalah menganggap Qatar hanya negara kecil yang tidak mampu mempertahankan dirinya. Baik Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki investasi besar di Turki, sehingga Emirat merasa dapat menurunkan Recep Erdogan melalui kudeta. Kedua negara itu berpikir Erdogan dapat dibeli.
Hal yang terjadi justru sebaliknya. Erdogan menyadari bahwa jika Qatar dilumat, dia akan menjadi satu-satunya orang di bloknya yang tertinggal.
Kesalahan kalkulasi ketiga adalah karena terungkapnya niat sebenarnya memusuhi Qatar. Ini tidak ada kaitannya dengan pendanaan terorisme atau karena bersahabat dengan Iran. Dalam kenyataannya, perdagangan Emirat dengan Iran sangat bagus, namun negara ini justru menjadi bagian koalisi yang menuduh Qatar berpihak Teheran.
Maksud mereka sebenarnya seperti yang disampaikan Emir Kuwait yang bertindak sebagai penengah adalah penutupan Al Jazeera, berhenti mendanai Al Arabi al Jadid, Al Quds al Arabi dan edisi Arab Huffington Post serta mengusir intelektual Palestina Azmi Bishara.
Ini adalah media bahasa Arab yang mengungkap kisah para diktator Arab yang menginginkan rakyatnya untuk sedikit membaca. Tidak senang dengan media mereka sendiri, mereka ingin menutup semua media dimanapun berada, yang dianggap mengungkapkan kebenaran pahit tentang rejim mereka yang despotik dan korup.
Israel Turut Serta
Hamas dan Ikhwanul Muslimin hanya ada di nomer 7 dari daftar tuntutan mereka. Masuknya Hamas dalam daftar ini menjadi kesalahan kalkulasi lain, karena apapun AS yang pikirkan tentang gerakan Palestina ini, gerakan ini sebenarnya populer di Teluk.
Ini adalah dimana Israel kemudian bergabung dengan pihak-pihak yang tidak suka ini. Ketika email Otaiba yang telah diretas diungkap ke publik, Emirat dan pemerintah Benjamin Netanyahu dianggap tidak lebih dari pencuri.
PM Israel benar ketika berpikir bahwa dia sedang mendapatkan dukungan negara-negara Arab dalam menghambat semua langkah maju dalam pendirian negara Palestina. Ini berkaitan dengan hal terakhir yang diinginkan Mesir, Yordania, UEA atau Arab Saudi. Kerajaan-kerajaan itu begitu yakin dengan normalisasi hubungan dengan Israel sehingga seorang pengamat Saudi bersedia diwawancarai untuk pertama kalinya dengan Channel 2 Israel.
Penyair Palestina Mesir Tamim al Barghouti memberikan komentar yang cocok tentang ini. Dia menulis di halaman Facebook-nya:
“Dalam peringatan 50 tahun pendudukan Israel atas Yerusalem Timur, aliansi Mesir, Saudi, UEA, Bahrain dan Israelmelakukan pengepungan darat dan udara sebuah negara Arab untuk alasan karena mendukung perlawanan Palestina dan Lebanon serta revolusi Arab selama 2 dekade, khususnya revolusi Mesir yang menjatuhkan sekutu Israel dan mengancam otoritas militer Camp David di Kairo. Mereka tidak menghukum Doha karena masalah Suriah, Libya, Yaman dan pangkalan Amerika.
Mereka menghukum pernyataan Aljazeera dalam perang Irak, Lebanon dan Gaza dan karena mendukung perlawanan Palestina pada 2009, 2012, dan 2014 serta perlawanan Lebanon pada 2000 dan 2006. Mereka menghukumnya karena kejatuhan Mubarak pada 2011.
Pejabat militer yang bangkrut dan ketakutan yang menderita sindrom Macbeth dan hendak mencuci tangannya yang berdarah dengan sosok baru yang sedang menginjak remaja dan ingin segera menjadi raja. Dia berambisi untuk menyalip sepupunya dalam mendapatkan tahta berapapun harga yang dibutuhkan. Oleh karena itu, mereka memilih tanggal 5 Juni untuk mengumumkan bahwa negara mereka baru saja bergabung dengan kepentingan strategis Israel.”
Kesalahan terakhir? Qatar bukan Qaza. Negara ini bersahabat dengan negara-negara yang memiliki pasukan kuat. Negara dengan penduduk yang lebih kecil dari Houston ini memiliki dana kekayaan 335 milyar dollar. Negara itu juga menjadi produsen gas alam terbesar di Timur Tengah. Memiliki hubungan dengan Exxon. Keluarga Saud dan Emirat bukanlah satu-satunya pemain dalam urusan lobi melobi. Dan karena itu, Gaza hingga sekarang masih selamat meskipun dikepung.
0 komentar:
Post a Comment