Kemunafikan Terminologi Islam Moderat: Celakalah Ikhwan dan Beruntunglah Gulenis
Dalam dunia gerakan Islam, Ikhwanul Muslimin atau Hizmet merujuk gerakan yang didirikan ulama yang berdomisili di Pennsylvania AS, adalah dua gerakan internasional yang dikenal sebagai gerakan Islam yang mengedepankan prinsip dan pendekatan gerakan yang damai. Setidaknya, itu prinsip yang mereka sampaikan dan persepsi yang diterima masyarakat internasional.
Ikhwanul Muslimin diperlakukan zalim oleh pelbagai rejim diktator Mesir, mulai dari Gamal Abdel Nasser, Anwar Saddat hingga Husni Mubarak. Tidak ada perlawanan bersenjata atau gerakan revolusioner untuk menggulingkan rejim yang tidak manusiawi ini. Sebaliknya, Ikhwan menempatkan diri sebagai oposisi kritis pemerintahan dan sejak 90-an menawarkan diri untuk terlibat dalam kontestasi demokrasi sebagai partai politik Islam. Namun tawaran tersebut ditolak rejim untuk alasan yang sama sekali tidak fair. Rejim Mubarak takut dengan Ikhwan karena dua hal, pertama, gerakan ini menjadi antitesis praktik korup rejim dan kedua, Ikhwan adalah gerakan popular yang memiliki basis massa yang kuat. Walhasil, proses partisipasi politik Ikhwan secara formal tidak pernah diakui negara.
Namun, diskriminasi sama sekali tidak menghasilkan perlawanan dan kekerasan. Gerakan ini tetap terlibat dalam aktivisme politik dibawah regulasi diskriminatif rejim di sepanjang lebih tiga dekade. Ikhwan berpartisipasi dalam politik melalui koalisi, memberikan dukungan kepada partai politik tertentu yang diakui negara atau melalui jalur independen yang direstui negara. Disepanjang itu pula, pelbagai praktik kecurangan dan tindak kekerasan yang sering berujung hilangnya nyawa terjadi dalam rangka menyingkirkan hak politik Ikhwan. Namun, Ikhwan tidak bergeming untuk membalas praktik curang rejim hingga Mubarak pada akhirnya ditumbangkan rakyat pada 2011.
Namun perilaku diskriminatif dan tindakan brutal atas Ikhwan tidak juga berhenti. Pasca revolusi, Ikhwan memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang menyakinkan. Namun setahun berkuasa, Pemerintahan Muhammad Mursi digulingkan oleh junta militer Abdel Fattah al Sisi dalam kudeta berdarah. Sebagian factor kudeta boleh jadi beranjak dari kelemahan Ikhwanul Muslimin sendiri, namun hal itu tidak sama sekali dapat menjadi jalan justifikasi kudeta,tindakan inkonstitusional militer dan penumpahan darah rakyat. Ribuan rakyat, mayoritasnya para simpatisan Ikhwanul Muslimin dibunuh dengan cara yang paling brutal dan puluhan ribu lainnya dipenjara. Ini menjadi aksi kudeta paling berdarah dalam sejarah modern, yang dapat diiikuti dan disaksikan secara langsung oleh masyarakat dunia.
Tiga tahun kudeta telah berjalan, Ikhwan hingga kini tidak membalas dengan cara yang curang dan aksi kekerasan. Ikhwan tetap menyerukan perlawanan kepada rejim brutal melalui aksi damai dan diplomasi. Wakil Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin, Ibrahim Munir menegaskan karakter dan prinsip Ikhwan itu: “Kami akan tetap damai. Ikhwan menjadi (gerakan) damai sejak 1948. Meninggalkan jalan (perjuangan) ini sama halnya menjatuhkan hukuman mati pada jamaah ini.” Diantara pelbagai pilihan jalan perjuangan, Ikhwan tetap konsisten dengan jalur perjuangan secara damai dan menolak seruan kekerasan dan jalan revolusioner kelompok-kelompok militan lainnya.
Disepanjang 8 dekade pergulatan Ikhwan, ada memang faksi-faksi dalam tubuh Ikhwan yang menyerukan revolusi dan aksi kekerasan sebagai tindak balasan kekejian rejim, namun mereka pada akhirnya terpental karena demikian kokohnya jalan moderasi dan konsistensi prinsip damai dalam merealisasikan cita-cita perjuangan.
Hanya saja, pilihan dan sikap politik tidak banyak menarik simpati dan dukungan AS dan Barat. Jalan mulia Ikhwan untuk menuntut dikembalikannya demokrasi dan menghindari pertumpahan darah sesama anak bangsa menjadi contoh diskrepansi Barat yang terburuk dalam sejarah umat manusia. Mendemonisasi atau setidaknya menganggap tidak ada Ikhwan, sementara menyambut dengan bantuan militer dan karpet merah Al Sisi yang berlumuran darah. Dalam pandangan Menblu AS John Kerry misalnya, kudeta di Mesir adalah bentuk normalisasi kehidupan demokrasi di Mesir.
Lain Ikhwan, lain pula gerakan Hizmet atau Gulenis, ini. Gerakan Fetullah Gulen ini sukses dicitrakan masyarakat dunia sebagai gerakan Islam damai dan dalam kepentingan strategis Barat dapat menjadi antithesis radikalisme Islam. Gerakan ini mampu menyentuh jantung persepsi Barat, yang menjadi ikon persepsi dunia, kendati memiliki banyak diskrepansi antara prinsip yang diajarkan dan praktik yang dijalankannya. Gerkan ini memiliki ribuan jaringan sekolah di dunia, termasuk ratusan di Amerika dan aktif menyelenggarakan program dialog antar agama di AS dan Eropa. Setiap tahunnya, gerakan ini juga memberangkatkan ratusan politisi, jurnalis dan tokoh masyarakat dari pelbagai negara ke Turki untuk untuk menghadiri konperensi-konperensi internasional yang mereka selenggarakan atau sekedar mengunjungi pelbagai institusi jejaring mereka, baik pendidikan, media, perbankan dan asosiasi bisnis mereka.
Mencitrakan dirinya sebagai gerakan apolitik dan menjadi antithesis politik Islam, namun sepak terjang mereka secara intrusif dan agitatif. Pelbagai aksi illegal “state wihin state” atau “parallel yapi” telah dilakukan kelompok ini sejak 2008, mulai aksi penyadapan pembicaraan para tokoh politik, percobaan penangkapan Hakan Fidan, operasi anti Suap yang menyasar orang-orang dekat Erdogan hingga puncaknya kudeta 15 Juli lalu yang menawaskan tidak kurang 250 warga Turki.
Pasca kudeta, kendati rakyat Turki dari pelbagai lapisan politik secara konsensual menuding Fetullah Gulen berada di balik kudeta. Selain itu, ada permintaan resmi bagi ekstradisi tokoh ini ke Turki. Hanya saja, AS dan Barat tampak tidak bergeming. Dalam perspektif mereka, Fethullah Gulen dan skondannya adalah korban politik Erdogan. Untuk itu, hampir semua pers Barat memberikan pengkondisian dan rasionlisasi kudeta karena Erdogan pantas dikudeta.
Mengapa perlakuan untuk dua kasus yang sama ini sama sekali berbeda. Jika sikap dan prinsip mulia Ikhwan ditanggapi dingin oleh Barat, sekalipun ribuan nyawa meregang karena kebrutalan rejim, mengapa prinsip dalam kertas Gulen dibela habis-habisan Barat sehingga berpotensi kehilangan Turki sebagai sekutu tradisionalnya? Mengapa Erdogan, pemimpin yang dipilih secara demokratis sedemikian didemonisasi Barat sehingga media mereka menjustifikasi logika kudeta, sementara di pihak lain, As Sisi, rejim yang brutal dan tidak dipilih oleh rakyat justru mendapatkan karpet merah Barat?
Jawabannya bukan karena Ikhwanul Muslimin otoriter dan sebaliknya As Sisi hendak memulihkan demokrasi. Atau juga bukan karena Gulen demokratis dan sebaliknya Erdogan otoritarian. Too good to be true. Terlalu naïf juntuk mempercayai semua itu.
Yang terjadi karena prinsip dan kepentingan Ikhwan tidak simetris dengan Barat, sebagaimana pada sisi lain, Gulenis dipandang sebaliknya. Ikhwan adalah gerakan keagamaan yang dibangun dari prinsip independensi dan semangat anti imperialisme. Bagi gerakan Ikhwan, tata dunia harus dibangun dari prinsip kesederajatan dan saling menghormati, tidak kurang dan tidak lebih. Sebaliknya tata dunia yang berlaku kini didirikan atas semangat eksploitatif Barat atas Timur (Baca: Dunia Islam) pada satu sisi dan di sisi lain, ketidaksederajatan kasta. Barat secara tidak adil memaksakan pandangan dan gaya hidupnya kepada kasta yang lebih rendah di Timur sehingga memantik bencana kemanusiaan.
Sebaliknya, eksistensi Gulen hampir merepresentasikan 100 persen kepentingan Barat. Gulen adalah karakter dan model keagamaan yang dikehendaki Barat di dunia Islam. Gulenisme adalah proxy Barat secara politik dan agama sehingga pendirinya mendapat status extraordinary resident di AS. Oleh karena itu, mereka menutup mata ada praktik tax fraud, penyuapan dan instrusi politik di beberapa negara, termasuk AS yang dilakukan kelompok ini. Untuk kepentingan yang lebih besar (dalam perspektif kepentingan Barat). Maka tidak ada alasan bagi Barat untuk tidak membelanya.
Sebagai gerakan moderat, baik Gulenis dan Ikhwan sama-sama anti radikalisme agama. Hanya bedanya, tidak seperti Gulenis yang hanya melihat dalam perspektif pelaku dan tindak kekerasannya saja atau lebih jauh minus dari sikap kritis terhadap Barat, sebaliknya Ikhwan memandang bahwa sebagian pemicu radikalisme adalah karena faktor ketidakadilan dan sikap ignorant para pemimpin dunia yang berlangsung lama.
Dalam konteks ini, sangat dipahami jika tindakan diskriminatif Barat itu terjadi. Dalam perspektif Machivellian, tindakan ini juga dipandang sah dan dibenarkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan, “Sungguh beruntung Gulen dan celakalah Ikhwan.”(PERMATAFM)
0 komentar:
Post a Comment