Pembatalan 3.143 Perda tak Punya Legal Standing
Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dinilai tidak memiliki dasar. Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM) Rozaq Asyhari menilai Presiden tidak memiliki dasar untuk membatalkan 3.143 Perda tersebut.
“Secara yuridis Presiden tidak memiliki legal standing untuk melakukan perubahan Perda, karena batas waktunya sudah terlewat," ungkap Rozaq dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (15/6).
Lebih lanjut Rozaq menjelaskan mengenai kewenangan pencabutan perda oleh Presiden. Ia menerangkan kewenangan ini termasuk pada fungsi pengawasan pemerintah, tepatnya executive review. "Karena ini merupakan tindakan hukum, tentunya harus dilakukan dengan prosedur dan aturan main yang berlaku. Jadi tidak bisa asal dilakukan, semua memiliki syarat dan ketentuan," papar dia.
Rozaq menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah untuk melakukan pembatalan Perda. Pertama, dalam melakukan evaluasi Mendagri harus menemukan unsur Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Kedua, papar Rozaq, pembatalan harus dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden, sehingga tidak dapat dilakukan dengan instrumen hukum lainnya. "Ketiga, pembatalan Perda oleh Presiden ini hanya dapat dilakukan 60 hari sejak diterimanya pemberitahuan dari Pemerintah daerah,” ungkap dia.
Ia menuturkan karena persoalan jangka waktu yang tidak dapat dipenuhi, maka Presiden tidak memiliki legal standing dalam pembatalan Perda tersebut. “Pada undang-undang sudah jelas, Presiden hanya memiliki waktu 60 hari untuk membatalkan Perda sejak diterima. Bila dilihat, hampir semua Perda yang dicabut adalah Perda yang diundangkan lebih dari 60 hari,” tukasnya.
0 komentar:
Post a Comment