PKS, Partainya Balita, Contohkan Model Demokrasi
Oleh: M. R. Aulia
Di penghujung tahun 2013 lalu, sebuah partai yang mayoritas digawangi oleh anak-anak muda berusia balita, di bawah 50 tahun, mencoba mengenalkan model pemilihan calon pemimpin di antara mereka. Mereka memberi nama Pemira. Pemilihan raya yang menetapkan beberapa calon kuat yang akan dijagokan menjadi calon presiden RI.
Ratusan ribu kader yang tergabung dengan sistem kaderisasi partai balita di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, serentak menggunakan suara mereka. Dari 22 calon yang diusungkan, akhirnya mengerucut menjadi limabesar nama bakal calon. Mereka adalah Anis Matta, presiden partai, Hidayat Nur Wahid, Mantan Ketua MPR RI, Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, Tifatul Sembiring, Menkominfo RI, Nurmahmudi Ismail, Walikota Depok.
Model dan sistem unik diprakarsai oleh para anak balita di partai ini. Seandainya publik umum memperhatikan cara mereka, banyak hal yang tidak dilakukan lembaga penghasil pemimpin lain di negeri ini, yaitu partai politik. Sang presiden partai @anismatta. Tidak serta-merta jumawa mencalonkan dirinya sebagai calon presiden RI. Seperti partai politik kebanyakan. Yang lebih diutamakan dan mencalonkan diri sebagai presiden adalah mereka yang sedang menduduki jabatan ketua umum suatu partai.
Jika mau jujur melihat dinamika dan pergolakan menuju kursi pimpinan. Banyak kisruh dan kejadian yang tidak seharusnya terjadi. Gontok-gontokan dan saling sikut demi pencapaian kursi pimpinan di suatu partai. Tidak hanya di level nasional. Tingkat daerah saja, para calon dan pendukungnya jarang sekali terlihat santun dalam berdemokrasi. Dan ujung-ujungnya, kursi pimpinan di suatu partai, hanya menjadi batu lompatan (Jumping Stone) agar dicalonkan sebagai bupati, walikota, gubernur bahkan presiden.
Meskipun belum semua dan tidak sesempurna yang diharapkan. Partai balita ini telah mencoba memberikan contoh demokrasi ala mereka. Pucuk pimpinan suatu partai biasanya tidak otomatis dicalonkan sebagai pimpinan di negeri ini. Menterikah, atau presiden. Anis Matta yang masuk dalam dua besar pilihan internal partai, merasa tidak tinggi hati. Ia lebih mempersilakan Hidayat Nur Wahid untuk mencalonkan diri sebagai presiden RI.
Sementara itu, HNW pun tidak mudah dan tidak refleks berbangga ria. Ia malah melemparkan kesempatan itu kepada Anis Matta. Saling melemparkan tawaran dan posisi emas. Dan keputusannya tetap berada di majelis syuro. Bukti tak ada ambisi mereka sebagai pribadi. Sebuah model keterpilihan pemimpin yang masih jarang dilakukan banyak politisi di negeri ini. Meskipun dua figur tertinggi hasil pemira internal partai banyak diragukan publik.
Jauh sebelum itu, ada hal lain yang luput dari perhatian banyak orang. Publik tidak melihat model dan cara lain berpolitik yang ditunjukan partai balita tersebut. Proses pergantian nahkoda puncak partai tidak berlangsung lama pasca penahanan LHI. Hanya berselang dua hari saja, Anis Matta naik menjadi ketua umum atau presiden sebagaimana partai balita mengistilahkannya.
Tidak ada keributan dan perebutan kursi kepemimpinan. Seperti halnya munaslub atau rapat-rapat tegang lainnya dalam menentukan pucuk pimpinan, sebagaimana yang sering terjadi di lembaga politik lainnya. Hampir semua kader menerima putusan tersebut dan kader se-Indonesia merelakannya.
Saya melihat banyak yang pesimis. Tidak percaya bahwa partai politik dapat menjadi salah satu lembaga penghasil pemimpin yang legal di negeri ini. Sepertinya, hampir tidak ada, manusia sekelas dewapun yang bisa menduduki kursi puncak dalam jabatan politis tanpa menumpang sebuah kendaraan politik, apalagi jabatan sekelas RI 1.
___________
Partai politik masih sangat dibutuhkan. Meski banyak catatan yang harus diperhatikan fungsionaris dan kader suatu partai. Mereka banyak mendapatkan masukan dan kritikan. Baik model kritikan yang bersifat membangun ataupun hanya sekedar melampiaskan nada kekecewaan dan sebagainya. Sehingga suara yang menyatakan agar parpol dihilangkan dari muka negeri ini, seringkali terdengar meski setengah berbisik. Sungguh kekecewaan yang tidak beralasan.
Sejatinya, yang menjadi persoalannya bukanlah parpol sebagai institusi, melainkan aktor-aktor dibalik institusi tersebut. Bukan juga menyalahkan dan mencitrakan bahwa politiknya yang kotor dan memabukan, melainkan man behind the gun-nya yang harus dipertanyakan.
Aneh sekali rasanya, Indonesia saat ini dianugerahi banyak tokoh-tokoh muda yang sangat brilian. Lulus dan mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai lintas regional maupun luar negeri, mengusulkan pembubaran parpol dan mendewakan kemampuan manusia secara personal saja. Lalu, jika personal yang terlanjur diagungkan mendapatkan kesalahan, rasa kecewa yang berlebih tak tertahankan keluar berhamburan.
Lebih dari itu, kebanyakan mereka menyalahkan politik dan menganggap politik itu sesuatu yang dirty, worse dan ungkapan kotor lainnya. Namun, secara bersamaan tidak mengusulkan formula baru tentang bagaimana cara memilih pemimpin tanpa menggunakan sistem politik yang dianggap melawan hati nurani publik. Menyalahkan, namun tidak mempersiapkan alasan jelas dan model pengganti aplikatif yang lebih menjanjikan.
Partai balita ini juga banyak mendapatkan sorotan. Terutama pasca kasus yang menimpa LHI. Berbagai tudingan miring banyak menghampiri partai tersebut. Seolah-olah partai yang dikenal relijius dan manusia yang berada di dalamnya dianggap bak malaikat. Padahal mereka juga tak lepas dari kemungkinan skandal yang membelit mereka.
Lagi-lagi, partai balita dituduh berlindung dibalik nilai-nilai relijius yang mereka pegang. Seakan-akan, di negeri ini, mereka yang selalu mencoba dan mengupayakan nilai relijius berada dalam keseharian mereka, tidak boleh sekalipun salah. Bahkan satu titik hitampun tidak boleh ada di baju mereka. Sungguh tidak adil rasanya. Mereka juga manusia.
Banyak publik yang tercengang dan kaget, seakan-akan kasus yang menimpa LHI bak langit biru di atas sana runtuh berkeping-keping. Tidak percaya dan sebagainya. Dan yang sedari dulu tidak suka, mempunyai peluang untuk memperkuat alasan tidak suka dengan sistem parpol, tanpa ada solusi jelas untuk membuat mereka suka dengan sistem lain.
Publik boleh tidak percaya dengan partai politik dan aktor di belakangnya yang lebih dikenal sebagai politisi. Tapi selama belum mampu memberikan formulasi penggantinya, sepertinya rasa tidak percaya itu tidak layak pakai.
Berbangga dengan golput dengan tidak memilih. Ya, itu sah-sah saja. Yang mungkin bisa dan layak dilakukan publik adalah menilai partai yang track record-nya agak lebih mendingan dari pada parpol lainnya. Masih ada partai yang membawa harapan. Buktinya adalah sebarapa banyak kader, hasil didikan yang ditempa suatu partai, sehingga harus dijebloskan di dalam sel tahanan atau tidak, dan sebagainya, berikut dengan alasannya. Terbukti atau tidak.
Akhirnya, sebagai warga negara yang baik, tak harus cepat-cepat dalam menilai suatu sistem. Apalagi sistem politik yang masih berlaku di negeri ini. Menganggap politik adalah kotor merupakan anggapan yang keliru. Namun, jika menganggap aktornya yang kadang masuk angin, bisa jadi hal tersebut dapat dibenarkan. Disinilah scenemengingatkan harus berperan.
Golput bukan solusi yang pantas. Bila demikian, politik akan selamanya dipenuhi oleh aktor kotor. Lalu, sampai kapan politik di negeri ini akan bersih dan kinclong. Ibarat lantai suatu rumah dan sapunya. Lantai ibarat politik dan lembaganya. Sementara sapunya adalah aktor atau politisi. Jika kita masih membiarkan sapu yang kotor untuk menyapu lantai rumah tersebut, jangan berharap lantai tersebut akan bersih.
Jika hanya mampu melihat dan menilai secara individu atau aktor di dalam sebuah entitas atau partai dan seketika mengeneralisir bahwa mereka adalah seperti apa yang dipikirkan. Coba tatap mata diri sendiri, betapa rendahnya selera kita sebagai makhluk hidup yang sempurna.
______
Partai balita hanya segelintir contoh kecil yang mungkin tidak atau belum terlihat jelas di big screen Indonesia oleh penonton atau publik Indonesia secara luas. Contoh kecil yang membutuhkan masukan yang besar dari pemikir Indonesia, tak terkecuali masukan dari orang awam sekalipun tentang model dan mau dibawa ke arah mana Indonesia di masa depan.
Sepertinya, partai balita ini tidak akan pernah bersedih jika terhempas dari pusaran perpolitikan di negeri ini dan juga tidak terlalu bersuka ria, ketika memenangkan pertarungan. Mereka hanya berusaha, tidak memaksa publik harus memilih seseorang di antara mereka. Semua ada pusarannya, yang tak bisa dipaksakan oleh manusia itu sendiri, tentang dimana mereka harus ditempatkan dan menempatkan diri.
Catatan kecil buat aktor di balik layar partai balita, semoga tetap mengejawantahkan nilai-nilai luhur demi kebaikan bersama. Tidak hanya internal partai, melainkan publik Indonesia secara luas.
Semoga partai lain pun demikian. Dapat menghasilkan pemimpin sukses, murni hasil didikan dari bawah. Sehingga peran partai politik benar-benar terasa, dapat menyingkap gelap gulita yang telah lama diderita mayoritas publik Indonesia. Partai mungkin boleh berbeda, akan tetapi persatuan sebagai bangsa Indonesia tentu lebih utama.
What about you PKS Lovers? What About you PKS Haters?Mari saling berbagi perspektif.
0 komentar:
Post a Comment