Jokowi Hanya Seorang Pemimpin Paradok


Jokowi benar-benar paradok. Selama ini rakyat meyakini, pemimpin baru itu, bisa memahami kehidupan rakyat jelata yang melarat dengan 'blusukannya', dan ternyata tidak.
Ternyata 'blusukan' tak membuat Jokowi bisa memahami dan merasakan denyut kehidupan rakyat dibawah. Belum dilantik sebagai presiden, rakyat sudah dibikin geger dengan rancananya menghadiahi rakyat dengan rencananya menaikan BMM.
Bahkan, lebih menyakitkan lagi, 'Daeng' Ucu alias JK, mengatakan, siap tidak populer dengan langkah yang akan diambil menaikan BBM, tukasnya.
Jika mendengar dan menyerapkan kehidupan rakyat jelata, di pasar-pasar tradisional, betapa beratnya dengan kondisi kehidupan sekarang. Beban yang mereka pikul sangat berat, terutama menyangkut kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan berbagai kenaikan kebutuhan pokok mereka. Sementara itu, penghasilan mereka tetap, tidak berubah. Rakyat jelata sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka yang paling dasar, seperti makan.
Seperti dikatakan oleh Ihsanuddin Nursi, seorang pengamat ekonomi, di mana ekonomi Indonesia menganut sistem kapitalis alias Neo-Lib (Neo-Liberal), semua diserahkan kepada mekanisme pasar, dan negara tidak melakukan intervensi kepada pasar.
Akibatnya, semua harga barang ditentukan oleh pasar. Negara tidak boleh iku campur. Maka, para pengusaha dan spekulan yang menguasai pasar, bisa bertindak apa saja dalam menentukan harga.
Bagiamana kalau BBM naik? Sedangkan rakyat jelata tidak ada yang melindungi mereka. Apakah Jokowi yang katanya merakyat itu bisa melindungi mereka?
Tetapi, Jokowi saat melakukan kunjungan ke pesantrennya Hasyim Muzadi, di Depok mengatakan, “Menjadi pemimpin itu bukan hanya duduk di ruangan ber-AC dengan kursi empuk, tanda tangan. Jika hanya itu semua orang bisa, hanya tanda tangan aja. Tanda tanggan juga kajiannya telah diberikan dari bawah,” ujar Jokowi saat bersilaturahmi dengan tokoh dan kiai Nahdatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/82014).
Jokowi mengatakan pekerjaan pemimpin itu sulit karena mesti mendengarkan, memahami, dan memecahkan persoalan rakyat. Hal tersebut dapat dilakukan apabila pemimpin dapat bertemu dan bersentuhan dengan rakyat.
“Yang sulit adalah memahami, melihat mendengarkan persoalan yang ada di bawah, apa yang disampaikian rakyat kepada pemimpinnya, apa yang di keluhkan rakyat oleh pemimpinnya, apa yang pemimpin lakukan terhadap masalah dilapangan itu yang hrus dikerjakan,” ujar Jokowi.
Jadi Jokowi menjadi pribadi yang paradok, dan tidak mungkin akan menjadi pembela rakyat jelata yang miskin dan papa. Karena, Jokowi pasti akan mengabdi pada sistem ekonomi Indonesia yang Neo-lib,  bukan bersifat populis (merakyat).
Apalagi, Jokowi dan JK keduanya berlatar belakang pengusaha, ditambah dibelakang Jokowi, para 'cukong' atau konglomerat cina, yang sudah memberikan dukungan politik. Pasti tidak akan membela kepentingan rakyat.
Seperti yang sudah pernah terjadi di era Megawati. Sekalipun, Mega mengatakan pemimpin 'wong cilik', tapi faktanya Mega bukanlah pembela 'wong cilik'. Jokowi jauh-jauh datang ke Bali bertemu dengan SBY, hanya membawa agenda, minta SBY menaikan BBM.
Selama ini, di era SBY selalu Mega menolak kenaikan BBM, tetapi begitu akan berkuasa, langkah awal yang akan dijalankan justru akan menggilas rakyat jelata dengan menaikan BBM. Dengan alasan kondisi APBN, sangat gawat. Apakah ini bukan sebuah tontonan paradok dari Mega dan Jokowi?
(jj/dbs/voa-islam.com) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment