Jungkir balik standar moralitas sedang terjadi di depan mata. Kebaikan dan keburukan bertukar tempat. Pahlawan dan penjahat bersalin rupa. Lalu kita bingung menentukan pilihan: siapa yang menjadi protagonis dan antagonis
Tersebutlah nama Victor Laiskodat. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat atau Nasdem di DPR itu dengan entengnya menghujat Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Bukan sekadar hujatan biasa, namun bernada kebencian akut. Keempatnya dituduh sebagai pendukung HTI dan khilafah. Lalu Viktor juga menyinggung soal peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 silam dengan menyebutkan 'kita bunuh pertama mereka, sebelum kita dibunuh'.
Pidato Laiskodat dikecam. Langkah hukum diambil keempat partai dengan melaporkannya ke kepolisian. Namun pembelaan juga berdatangan. Anggota Komisi III DPR RI Ahmad HM di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, Jumat (4/8), mengatakan pidato yang disampaikan Viktor Laiskodat merupakan fakta politik yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia dan bukan provokasi.
"Saya sudah menyimak isi pidato Pak Viktor secara utuh dan tidak ada provokasi di situ sebagaimana yang dituduhkan. Itu ekspresi keprihatinan Pak Viktor yang menjelaskan fakta politik hari ini, sebuah konfigurasi yang dijelaskan atas dasar-dasar empiris. Anda pasti mengenal sekali pesan yang digambarkan beliau sebagai peringatan untuk kehati-kehatian memilih haluan politik," sebut Ahmad.
Nasdem, sebagai tempat Laiskodat bernaung juga siap membela kadernya itu.Nasdem mendukung penuh langkah Viktor.
"Sanksi apa? Justru harus didukung oleh partai," kata Ketua DPP Partai Nasdem Johnny G Plate.
Kemudian muncul doa Tifatul Sembiring. Di Sidang Tahunan MPR, Rabu, 16 Agustus 2017, politisi PKS itu mendoakan agar Presiden Joko Widodo mendapakan hidayah dan jalan yang lurus. Juga agar para pemimin mampu amanah dan tidak berkhianat. Dan terselip doa yang membuat heboh.
"Gemukkanlah badan beliau karena kini terlihat semakin kurus. Padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil, makmur, sejahtera."
Tifatul dihujat. Termasuk oleh
Pendeta Gilbert Luiimondong. Dalam akun twitternya, Pendeta Gilbert menuliskan kritikannya.
@PastorGipbertL: #maaf emang doa boleh gitu ya?? #bingung; Doa @tifsembiring menit 04:50-06:10
Sekretaris Badan, Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari juga ikut berkomentar. Dia mengaku sedih.
"Aku sedih saja ya dipolitisasi. Menurut saya sesuatu yang sangat personal," kata Eva usai acara di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).
"Aku agak terganggu dan nggak rela lah. Karena itu presidenku. Dan itu pendidikan politik yang jelek untuk kita semua. Gunakan kesempatan untuk agenda pribadi dan politik. Politisasi doanya," tandas Eva.
Salahkah Tifatul mendoakan Jokowi gemuk? Bukankah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pernah meminta itu.
"Jokowi ini si krempeng, habis kolau disuruh makan susah baget, kalau disuruh makan banyak harus di depan saya," ujar Mega dalam Rapat Kerja Nasional Pemenangan Jokowi-JK, di Hotel Merdure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (27/5/2014).
Mega meminta Jokowi untuk menambah berat badannya ketika sudah menjadi presiden nanti, agar terlihat gagah. Bahkan Mega meminta Jokowi untuk menambah berat badan hingga 10 kilo gram. "Nanti kalau sudah jadi presiden agak gemuk ya, 10 kilolah."
Begitulah wajah negeri kita hari ini. Ujaran kebencian Laiskodat yang terang-benderang dibela dan diopinikan sebagai hal lumrah dan fakta. Sebaliknya, doa Tifatul yang sarat kebaikan dan soal gemuk yang masih bisa diperdebatkan justru dihujat.
Kita masih belum lupa dengan kasus Ahok. Menista agama secara jelas tapi dia dibela dan dicitrakan sebagai pahlawan. Pancasilais sekaligus ikon kebhinekaan. Lalu umat Islam yang menuntut keadilan diopinikan sebagai kaum radikalis dan anti NKRI.
Juga kasus Elly Risman yang mengkritisi rencana kehadiran girl's band asal Korea Selatan bernama SNSD. Pakar parenting itu dibully habis oleh Ahoker dan sejenisnya. Menyedihkan.
Di usia negeri ini yang ke-72 tahun, potret buram seperti inilah yang sedang terjadi. Mereka, yang menghujat doa Tifatul, Elly Risman dan tokoh serta ulama memiliki agenda dahsyat: menjungkirbalikkan standar moralitas di Indonesia tercinta.
Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada
0 komentar:
Post a Comment