Kisah Kiai As’ad Situbondo dengan Preman Pencuri Sandal Masjid
SALAH satu hal yang luar biasa dari sosok kiai adalah kearifannya dalam berdakwah. Sebagaimana yang dicontohkan oleh KHR As’ad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur saat menyuruh para preman di daerah Bondowoso untuk ikut shalat Jumat.
Cerita yang disampaikan oleh salah seorang santrinya, H Ikrom Hasan kepada penulis ini bermula dari kehebatan ilmu kanuragan Kiai As’ad. Tak hanya ilmu agama yang dikuasai oleh kiai yang baru saja ditetapkan sebagai pahlawan Nasional itu, tapi juga ilmu bela diri dan sejenisnya.
Berkat reputasinya dalam dunia persilatan tersebut, banyak preman, jawara, bromocorah wa alaa alihi wa ashabih yang segan kepada Kiai As’ad. Jadi, tidak heran jika apa yang diucapkan oleh Kiai As’ad menjadi semacam perintah yang wajib untuk dipatuhi. Bagi mereka, mematuhi perintah Kiai As’ad adalah suatu kebanggaan tersendiri.
Meski demikian, Kiai As’ad tidak serta merta memaksa mereka untuk melakukan shalat, misalnya. Pemaksaan dalam hal beragama, bagi Kiai As’ad, bukanlah cara yang tepat untuk diterapkan dalam berdakwah. Apalagi bagi kalangan yang awam dari ilmu agama.
Kiai As’ad punya cara tersendiri untuk mendakwahi mereka. Dalam suatu kesempatan, Kiai As’ad mengumpulkan para preman tersebut. Di pertemuan itu, Kiai As’ad minta tolong kepada kepala preman itu untuk menjagakan sandal para jamaah shalat Jumat yang kerap hilang.
“Sandal jamaah di maajid ini sering hilang kalau sholat Jumat, saya bisa minta tolong untuk menjagakannya agar tidak hilang?” pinta Kiai As’ad.
Seketika dedengkot para preman itu, menyanggupinya. “Gampang itu, Kiai. Paling yang mencuri ya anak buah saya. Biar saya yang akan menjaga,” tanggapnya dengan bangga.
Pertemuan pun diakhiri dengan kesepakatan sebagaimana di atas. Kiai As’ad berpamitan seraya mengucapkan terima kasih kepada para preman tersebut.
Hari Jumat pun tiba. Si dedengkot preman itu tampak berjaga di dekat masjid. Berkat pengawasannya tersebut, tak ada sepasang sandal pun yang hilang. Begitupun jumat berikutnya.
Hingga pada Jumat keempat, si dedengkot preman yang menjaga sandal itu merasa ada yang aneh. Sebagai sosok yang disegani dan ditakuti banyak orang, ia merasa tidak kelasnya untuk melakukan tugas tersebut.
“Masak sih saya menjaga sandal tukang becak, penjual kacang dan orang-orang remeh itu,” gugatnya. “Seharusnya saya juga sholat dan sandal saya yang dijaga,” imbuhnya.
Persoalan itu, lantas ia adukan ke Kiai As’ad. Dengan tenang Kiai As’ad balik bertanya. “Kalau sampean ikut sholat, lantas siapa yang menjaga sandalnya?”
“Tenang, Kiai,” jawab si dedengkot preman. “Saya punya banyak anak buah. Biar mereka yang menjaga, saya yang sholat,” tegasnya.
Kiai As’ad pun menyetujuinya sembari mengucap syukur dalam hati atas hidayah yang tak langsung diberikan kepada si preman tersebut.
Proses itu pun berlanjut ke preman lainnya. Saat disuruh menjaga sandal, ia pun merasa aneh. “Masak, preman suruh menjagakan sandal preman,” gugatnya balik. Akhirnya, mereka satu per satu pun ikut sholat Jumat.
Demikianlah cara Kiai As’ad mendakwahkan ajaran-ajaran Islam. Penuh kearifan, tanpa ada pemaksaan yang terkadang berujung pada pemberontakan.
Namun, lanjut H Ikrom, selama proses dakwah tersebut, Kiai As’ad tak pernah berhenti bertaqarub kepada Allah. Ia bermunajat meminta kepada Sang Kholik untuk memberikan hidayah kepada para preman tersebut. Berkat kekuatan doa Kiai As’ad itulah, para preman mendapatkan hidayah. []
Sumber: NU Online
0 komentar:
Post a Comment