Netizen Menunggu Apakah Pembakar Vihara Diundang Ke Istana Seperti Pembakar Mushola Di Tolikara
Sabtu dini hari, wilayah Tanjung Balai, Sumatera Utara mencekam. Massa yang bergerak secara sporadis melakukan serangan ke berbagai tempat ibadah yang berhubungan dengan etnis Tionghoa.
Tak ada korban jiwa, namun kerugian ditaksir mencapai miliaran Rupiah. Beberapa Vihara Buddha dan Kelenteng dibakar atau dirusak. Mobil-mobil yang terparkir juga dihancurkan massa.
Peristiwa ini memancing komentar berbagai netizen agar pemerintah segera menyelesaikan konflik SARA.
Diantaranya ada yang meminta pemerintah pusat meniru kembali kebijakan penyelesaian kasus pembakaran tempat ibadah di Tolikara.
Saat itu pasca kerusuhan, Presiden Joko Widodo mengundang perwakilan kelompok GIDI (yang dinilai bertanggung jawab atas penyerangan kepada umat Muslim pada shalat Idul Fitri 2015) ke istana.
"Kita tunggu saja, apakah warga yang membakar kelenteng (dan Vihara) ini akan diundang ke istana Presiden sebagaimana pembakar mushalla di Tolikara", ujar seorang netizen bernama (Ustadz) Anshari Taslim.
Ustadz Anshari menilai penyerangan tempat ibadah oleh massa di Tanjung Balai adalah tindakan yang salah, namun ia berharap adanya sikap pemerintah pusat yang sama seperti kasus Tolikara (dalam meredam konflik SARA).
"Iya jelas ini salah (perusakan Vihara dan Kelenteng), sama dengan salahnya yang membakar (mushala) di Tolikara, cuma pengen lihat apakah ada perbedaan perlakuan apa tidak", katanya.
Perusakan berbagai tempat ibadah di Tanjung Balai berawal dari ketersinggungan warga Muslim terhadap seorang oknum penganut agama tertentu yang memprotes kegiatan keagamaan di sebuah Masjid di Jalan Karya, Tanjung Balai.
Perkara SARA dimulai ketika Meliana/Erlina, seorang perempuan keturunan etnis Tionghoa, memprotes kegiatan di Masjid al-Maksum pada Jum'at malam, yaitu pengguanaan pengeras suara Masjid untuk azan dan sebagainya.
Atas protes tersebut, pengurus Masjid lalu mendatangi rumah Meliana untuk menanyakan alasan perempuan itu terganggu. Saat itu keadaan sudah mulai tegang dengan kemarahan penduduk setempat.
Masalah tersebut kemudian difasilitasi oleh aparat kelurahan setempat untuk diselesaikan, namun tidak ada kesepakatan dari kedua pihak. Kasus itu dan masalah ketegangannya, kemudian ditangani oleh pihak polsek Tanjung Balai Selatan.
Namun informasi yang menyebar di media sosial memicu kemarahan massa lebih besar di Tanjung Balai, sehingga menjadikan berbagai tempat ibadah (yang berhubungan dengan etnis Tionghoa) menjadi sasaran kemarahan.
Keadaan dilaporkan mulai mereda jelang waktu Shubuh.
Sumber : perawangpos
0 komentar:
Post a Comment