FaceTime Kalahkan WhatsApp Dalam Kudeta yang gagal di Turki
*Emre Kizilkaya
Pada malam itu, 15 Juli, saya harus membatalkan rencana saya untuk keluar Karena saya harus sembunyi dari sekelompok tentara bandit yang menyerang kantor saya.
Dua kapten dan 10 prajurit, yang menjadi bagian pasukan kudeta, mendaratkan helokopternya di halaman Koran independen Hurriyet dimana saya menjadi kordinator konten digital. Dengan bersenjatakan senapan serbu G3 dan granat tangan, mereka segera meringkus para satpam dan masuk ke gedung di tengah malam.
“Tembak saja, jangan khawatir,” perintah kapten kepada pasukannya dan segera naik ke lantai atas menangkapi para karyawan. Mereka segera bergegas menuju lantai kedua, dimana ruang saya berada. Ketimbang menyerahkan diri, saya berlari menuju lantai lima, yang kosong dan gelap pada waktu itu. Itu akan menjadi tempat persembunyian yang pas agar saya dapat mengabarkan kepada dunia apa yang telah terjadi.
Untungnya, saya tahu bagaimana menyiarkan video live dari akun facebook Hurriyet, yang mempunyai 2,6 juta penggemar. Tidak lama, saya membroadcast 3 video yang ditonton tidak kurang 500 ribu kali, yang menunjukkan bagaimana para prajurit memperlakukan para jurnalis, termasuk menodongkan senjata kepada mereka.
Ini adalah malam yang luar biasa. Sekelompok tentara bandit membom gedung parlemen Turki dengan F-16, menembaki warag sipil pro demokrasi di jembatan Bhosporus dengan peluru riil dari helicopter perang. Menurut laporan awal, para pemimpin kudeta adalah anggota gerakan Gulen, sahabat berubah musuh Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Saya masih tetap tenang, sebagiannya karena koneksi internet yang tak putus dengan dunia lewat social media. “Maaf gambar yang jelek, tapi sulit (dapat gambarnya) jika anda ditahan selama kudeta berlangsung,” tweet saya. Kemudian, saya bilang kepada sakah seorang prajurit dan menyarankan,”Letakkan senjata anda dan pulang saja ke rumah karena anda melanggar konstitusi.” Dia hanya tersenyum.
Melihat sikap cuek dari parjurit itu, saya memberanikan diri berjalan berkeliling gedung, ketimbang bergegas meninggalkannya. Kemudian, saya mengendap-endap masuk gedung melalui pintu garasi. Namun, seorang polisi yang berada di luar gedung sedang menunggu bala bantuan memberi tahu saya bahwa ada sandera di dalam dan pasukan SWAT sedang dalam perjalanan (kontak senjata akan segera terjadi). Saya segera meninggalkan tempat, dan sejenak melihat apakah ada orang ditahan di kantin. Dari Selandia Baru hingga Brazil, banyak orang di seluruh dunia yang mendoakan keselamatan saya.
Tidak semua tanggapan positif. “Jangan jadi pahlawan, pelacur,” pengguna twitter memperingatkan saya ketika mengabarkan sedang meninggalkan gedung Hurriyet. Seorang pendukung Donald Trump dari AS, bahkan, mengatakan bahwa dirinya bias memberitahukan posisi saya saat itu kepada tentara.
Tim SWAT, yang mendekati gedung menanyai saya “apakah saya prajurit atau bukan”, kemudian membebaskan saya setelah melihat kartu pers saya.
Sementara para jurnalis digital tetap mengupdate website melalui server jarak jauh, menginformasikan kepada para pembaca dengan berita baru dan sikap yang tegas menentang serangan yang menarget demokrasi. Tanpa tidur, kita kembali berkerja pada pukul 5.30 setelah 11 tentara menyerah. Kapten tentara pemberontak ditembak di pahanya. Kita juga masih mencium bau gas air mata di gedung.
Untungnya, percobaan kudeta gagal, terima kasih kepada aksi protes di jalanan. Dan orang yang turun ke jalan layak berterima kasih kepada media-media dengan garis editorial yang independen, seperti website kita dan perusahaan induk kita, CNN Turk yang mempublikasikan pidato anti kudeta Erdogan pertama kalinya pada malam itu melalui FaceTime. Selanjutnya, media social mengabarkan berita itu, sehingga mendorong semakin banyak orang turun ke jalan.
Jika seandainya kudeta terjadi pada 1970-an, para pelakunya cukup mengirim beberapa tentara menyerang beberapa TV atau media besar untuk mengendalikan arus informasi. Terima kasih kepada kemajuan teknologi yang dicapai sekarang ini.
Mereka juga dikabarkan menggunakan teknologi ini untuk berkomunikasi. Menurut media-media Turki, para komandan pemberontak menghapus grup wahtsapp mereka, yang sebelumnya mereka gunakan untuk berkomunikasi. Mereka tidak memahami hal ikhwal komunikasi modern. Seorang kolenel bertanya, “Apakah internet dapat dihentikan?” dan sementara lainnya mengusulkan mengebom tower TV di Istanbul.
Pada akirnya, kudeta gagal karena para democrat di FaceTime dan Facebook mengalahkan whatsapp para junta. Kini saatnya, bagi Erdogan apakah dia akan menghormati pers bebas dan media social sebagai penjamin perwakilan politik dan kehendak rakyat.
Reaksi keras pasca kudeta, seperti penerapan keadaan darurat, penahanan dan pemecatan ribuan orang dapat dipahami sebagai respon awal atas tindakan (brutal) yang mengejutkan dalam percobaan kudeta yang sama sekali tidak diduga. Hanya selanjutnya, kita akan melihat kemana arah demokrasi Turki dalam minggu dan bulan berikutnya.
*Editor Digital content Hurriyet/permatafm
0 komentar:
Post a Comment