Ketika Turki Memerangi Teroris, Eropa Justru Menampung Mereka
Ankara. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan stasiun televisi Jerman ‘ARD’, Senin (25/07/2016) kemarin, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengatakan, “Kami telah memerangi terorisme sejak 30 atau 35 tahun. Saat ini sebagian besar teroris itu hidup di Jerman yang memberikan dukungan besar.”
“Saya telah menyampaikan permasalahan teroris ini kepada Kanselir (Angela Merkel), dan memberinya 4000 berkas. Saat saya menanyakan kepadanya lagi, Merkel mengatakan bahwa pengadilan sedang menindaklanjuti berkas-berkas itu. Jumlah berkas telah mencapai 4500,” tambah Erdogan.
Lebih lanjut Erdogan mengatakan, “Keadilan jika terlambat maka bukan lagi sebuah keadilan. Saat ini, para teroris hidup di Jerman, Perancis, Belanda dan Belgia. Negara-negara tersebut tidak kunjung menyerahkan teroris itu kepada kami. Bagi kami, perang melawan terorisme adalah pekerjaan bersama. Jika tidak seperti itu, maka Jerman, Perancis, Belanda, Belgia dan negara-negara Eropa dan dunia juga akan berada dalam bahaya.”
Erdogan juga menolak tuduhan bahwa ada hubungan antara serangan yang terjadi di Munchen dan Ansbach dengan Islam. Katanya, “Jika kalian selalu menghubungkan Islam dengan serangan terorisme, maka ini salah dan kalian tidak menghormati kaum muslimin. Bolehkah kita menyebut di sana ada teroris Kristen, atau teroris Yahudi? jika ada oknum dari dua agama tersebut melakukan tindak terorisme?”
Pada kesempatan ini, atas nama rakyat Turki Erdogan kembali menyampaikan belasungkawa kepada rakyat Jerman yang menjadi korban dari serangan yang terjadi beberapa hari lalu.
Pada Sabtu malam, telah terjadi serangan bersenjata di pusat perbelanjaan ‘Olympia’, Munchen. Menurut laporan kepolisian, serangan tersebut mengakibatkan beberapa orang tewas dan lainnya terluka.)
Sedangkan sebuah ledakan terjadi di kota Ansbach, pada Sabtu malam waktu setempat, yang mengakibatkan satu orang tewas dan beberapa lainnya terluka.
Selanjutnya Erdogan mengungkapkan, “Detik-detik upaya kudeta adalah yang paling genting dan menegangkan sepanjang karir politik saya. Ini belum pernah terjadi sejak 14 tahun lalu (sejak AKP menjadi partai penguasa di tahun 2002. Erdogan adalah salah satu pendirinya).”
Saat ditanya tentang keinginan Turki menerapkan lagi hukuman mati, Erdogan menjelaskan bahwa negaranya menunggu di masuk Uni Eropa sejak 53 tahun yang lalu. Turki sudah menghapus hukuman mati, tapi hal itu tidak mengubah apapun.
“Di negara-negara demokrasi, isu-isu seperti ini diputuskan oleh rakyat. Saat ini rakyat seluruh jalanan Turki menuntut diterapkannya lagi hukuman mati. Jika upaya kudeta itu berhasil, bisa dipastikan korban yang jatuh akan mencapai ribuan. Oleh karena itu, apa mungkin kami cukup berdiam menyaksikan hal itu terjadi?” lanjut Erdogan.
Terkait permasalahan pengungsi, Erdogan mengatakan, “Dalam permasalahan ini, Turki tetap berkomitmen dengan janji yang telah dibuatnya sendiri. Namun Eropa tidak demikian.” Hal ini merujuk pada kesepakatan ‘penerimaan kembali’ antara Turki dengan Uni Eropa pada bulan Maret lalu.
“Sampai saat ini, Turki telah menerima setidaknya 3 juta pengungsi dari Suriah dan Irak. Bila kami biarkan pengungsi sebanyak ini pergi ke Eropa, apa yang bisa Eropa lakukan?” lanjutnya.
Terkait pembebasan visa bagi rakyat Turki masuk ke negara-negara Eropa, Erdogan menyeru negara-negara Eropa untuk komitmen dengan janjinya. Katanya, “Turki sudah berkomitmen dengan janjinya, maka Uni Eropa pun hendaknya demikian.”
Untuk permasalahan ekonomi di negaranya, Erdogan mengatakan, “Ekonomi Turki dalam kondisi baik. Bahkan lebih baik daripada negara-negara Eropa, jika kita melihat dari sisi pertumbuhan ekonomi.”
Terkait penetapan status darurat pasca upaya kudeta, Erdogan menegaskan “Jika keadaan telah pulih seperti semula dalam 3 bulan ke depan, maka tidak ada alasan untuk memperpanjang. Tapi jika keadaan belum kembali membaik, maka kami punya hak untuk memperpanjangnya dari 3 atau 6 bulan lagi.” (msa/wili/dakwatuna)
0 komentar:
Post a Comment