Industri industri Nasional yang telah di caplok Asing
Tak bisa dipungkiri bahwa dominasi asing telah merambah berbagai sektor industri Indonesia. UU tentang Penanaman Modal Asing yang diberlakukan tahun 2007 silam, semakin menyiratkan bahwa pemerintah tidak berdaya menolak intervensi dan kepentingan asing. Industri nasional dihadapkan kepada sebah sistem pasar bebas yang merupakan penjelmaan ekspansi kapitalisme neolib. Perusahaan yang mempunyai kekuatan besar dapat dengan mudah menyingkirkan kompetitornya.
Begitu pula dengan yang terjadi pada industri dalam negeri. Walaupun terdapat banyak produk lokal yang mampu menembus pasar global, tapi tidak sedikit pula industri nasional yang sahamnya diakuisisi oleh perusahaan multinasional. Hal tersebut ditandai dengan kebijakan pemerintah yang menggandeng 14 korporasi multinasional, di antaranya Unilever, Danone, Heinz, dan lain sebagainya.
Dengan kebijakan tersebut, pencaplokan korporasi nasional oleh MNC asing akan kian masif. Bukti paling menonjol adalah ketika 74% saham Aqua diakuisisi Danone pada 1998. Pengambilalihan itu sempat menggemparkan banyak pihak, pasalnya Aqua merupakan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang memiliki jumlah penjualan terbanyak dan paling terkenal.
Bagi Danone, Aqua jelas merupakan AMDK yang menguntungkan. Terbukti produksi Aqua langsung menyumbang sekitar 12% dari total volume produksi air minum Danone di seluruh dunia. Dengan pangsa 50 pesen, kini Aqua menjadi pemimpin pasar AMDK di Indonesia.
Agresivitas Danone tidak hanya di situ, pada 2007 Danone juga mengambil alih Royal Numico Global yang membawahi Sari Husada dan Nutricia Indonesia. Sari Husada dan Nutricia sendiri memproduksi berbagai merek susu bayi dan nutrisi bagi ibu menyusui dan hamil.
Unilever juga tidak mau ketinggalan, produsen kebutuhan rumah tangga asal Inggris ini juga memilih strategi akuisisi untuk mengembangkan bisnisnya. Setelah berhasil menguasai teh Sariwangi dan kecap Bango yang masing-masing merupakan merek terkemuka di pasarnya, Unilever juga mengakuisisi Sara Lee melalui dua brand unggulannya. Kedua brand Sara Lee itu adalah Switzal dan She. Praktis akuisisi ini semakin memperkuat posisi Unilever di produk perawatan kulit dan deodoran.
Selain itu, Unilever saat ini juga memiliki merek-merek barang konsumsi seperti Pepsodent, Lux, Sunsilk, Blue Band, Royco, Taro, Buavita, Gogo, dan alat rumah tangga lainnya.
Peningkatan variasi produk belakangan ini menjadi strategi Unilever. Saat ini Unilever memiliki 27 brand home and personal care. Brand tersebut mendominasi 75% produk yang dimiliki Unilever. Sisanya merupakan produk food and baverage dengan 16 brand.
Cara serupa juga dilakukan oleh HJ Heinz. Perusahaan multinasional asal AS ini masuk ke pasar Indonesia dengan mengambil alih 65% saham PT ABC Central Food. Saat ini produk kecap dan sirup merek ABC adalah penguasa di pasarnya masing-masing. Untuk produk kecap, ABC Central Food sendiri merupakan produsen kecap terbesar kedua di dunia. Sementara itu, Heinz adalah pemilik merek kecap terkemuka di dunia yang omzetnya mencapai US$1,5 miliar.
Pengambilalihan beberapa merek nasional juga dilakukan The Coca-Cola Company. Pada 2000, produsen minuman nomor satu dunia ini membeli empat merek AMDK milik PT Ades Alfindo Putra Setia. Empat merek itu adalah Ades, Desca, Desta, dan Vica. Pencaplokan AMDK nasional ini juga diikuti dengan keberhasilan mereka merebut pangsa pasar AMDK secara cepat. Saat diambil alih Coca-Cola, Ades menguasai 6% pangsa pasar minuman siap saji non-alkohol.
Dengan keberadaan perusahaan multinasional dengan beragam produknya, harus diakui mempunyai peranan dalam mengisi kekosongan atau kekurangan sumber daya antara tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah aktual “tabungan domestik” yang dapat dimobilisasikan.
Tapi karena Indonesia belum mempunyai keberanian untuk menolak kekuatan atau intervensi MNC, membuat perusahaan-perusahaan raksasa ini sangat leluasa menjalankan kepentingan ekonomi sesuai kepentingan mereka sendiri. Alih-alih perbaikan, yang terjadi malah sebaliknya, ekonomi nasional menjadi lebih memprihatinkan.
Masyarakat pun harus menyadari bahwa perusahaan mutinasional tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu negara. MNC lebih gemar mencari peluang ekonomi yang paling menguntungkan dan tidak bisa diharapkan untuk memberi perhatian kepada soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan lonjakan pengangguran. Karena faktanya, perusahaan tersebut hanya sedikit sekali memperkerjakan tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung terpusat di sektor modern yang mampu menghasilkan keuntungan maksimal.
Kemudian walau kelihatannya penanaman modal MNC ini dapat memperbaiki devisa negara, tapi dalam jangka panjang yang didapat adalah sebaliknya. Keberadaan MNC dinilai dapat mengurangi penghasilan devisa, baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal.
Neraca transaksi berjalan memburuk karena adanya impor besar-besaran atas barang setengah jadi dan barang modal oleh MNC itu. Hal tersebut juga diperburuk oleh adanya pengiriman kembali keuntungan hasil bunga, royalti, dan biaya-biaya jasa manajemen ke negara asalnya. Jadi, praktis Indonesia tidak mendapatkan keuntungan yang diharapkan. (sumber : membunuh indonesia)
Saya ingin mendengar pendapat para penguasa atau wakil rakyat ttg hal ini....Tks
ReplyDelete