Surat Wartawan Aljazirah dari Balik Penjara di Mesir
Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sejak Presiden Muhammad Mursi digulingkan pada 3 Juli 2013, Mesir terus bergolak. Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi menyebut penggulingan itu sebagai kudeta militer terhadap presiden terpilih secara demokratis. Mereka hampir setiap hari berdemo menolak pemerintahan Presiden Adli Mansur yang didukung militer. Sebelumnya, Kepala Angkatan Bersenjata/Menteri Pertahanan Mesir, Jenderal Abdul Fatah Sisi, telah menunjuk Ketua Mahkamah Konstitusi, Adli Mansur, sebagai presiden sementara menggantikan Mursi.
Hingga kini sudah ratusan pendukung Mursi yang tewas (wafat) di tangan aparat rezim penguasa baru. Ribuan orang terluka. Tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin ditangkap dan dipenjarakan. Juga sejumlah aktivis pembela demokrasi yang lain. Bahkan pemerintah Adli Mansur juga telah mengumumkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan sekaligus terlarang di Mesir.
Bukan hanya oposisi, media massa yang berani mengkritik pemerintahan baru pun diberangus. Para wartawannya dijebloskan ke penjara. Termasuk media Aljazirah yang berbasis di Doha, Qatar, yang hingga sekarang menyebut penggulingan Mursi sebagai kudeta militer. Sejumlah wartawannya kini meringkuk di penjara.Meskipun pemerintahan Presiden Adli Mansur sekarang sedang menjalankan a road map (khorithoh at toriq) masa depan Mesir yang lebih demokratis, namun sejumlah analis pesimis. Mereka memperkirakan Mesir akan kembali pada masa rezim Mubarak. Demokrasi hanya slogan. Sedangkan pemerintahannya, siapa pun presidennya, harus yang mendapat restu militer.
Berikut kutipan surat dari wartawan Aljazirah, Peter Greste, yang ditulis dari pernjara Turrah, selatan Kairo. Greste ditangkap bersama dua koleganya dari Aljazira, Muhammad Adil Fahmi dan Bahir Muhammad, pada 29 Desember lalu. Jurnalis dari Australia dan pemenang Peabody Award untuk karya dokomenternya tentang Somalia ini sebelum bergabung dengan Aljazirah sudah pernah malang melintang sebagai wartawan Reuters, CNN, WTN, dan BBC.Surat Peter Greste yang kemudian dimuat Aljazeera.net edisi 26 Januari 2014 sedikit banyak menggambarkan tentang kondisi Mesir kini. Terutama yang menyangkut kebebasan pers di negeri itu.
Ketika menulis surat ini saya sedang stres di dalam penjara yang dingin. Saya hanya diperbolehkan keluar dari bilik penjara empat jam sehari yang saya manfaatkan untuk olahraga di taman belakang penjara. Sebelumnya, selama sepuluh hari pertama di penjara, saya hanya diperbolehkan keluar bilik selama sejam. Saya dilarang keluar kecuali untuk menemui penyidik.
Karena itu, kesempatan santai di bawah cahaya matahari musim dingin seperti ini sungguh sangat berharga. Sama berharganya dengan buku-buku sejarah, bahasa Arab, dan buku-buku fiksi yang ada di sel saya. Juga buku tulis dan pulpen yang saya gunakan menulis surat ini.
Saya perlu menyebut hal-hal kecil tersebut karena hanya itulah yang membuat saya sedikit gembira. Karenanya, saya sangat menjaga sikap agar penguasa penjara tidak menghukum saya dengan menarik semua itu. Saya akan terus berusaha menjaga semua itu seperti halnya saya ingin mendapatkan kembali kebebasan saya.Hingga sekarang saya terus mencoba berdamai dengan diri sendiri sebagai upaya mengurangi kemarahan kenapa saya dipenjara. Saya juga terus mencoba menyadarkan penguasa bahwa memenjarakan saya adalah kesalahan fatal. Bahwa saya ditangkap lantaran sengketa politik (perebutan kekuasaan) di mana saya tak terlibat sama sekali di dalamnya. Memenjarakan orang-orang seperti saya jelas sangat bahaya. Bukan hanya bagi saya pribadi dan dua teman saya, tapi juga bagi kebebasan berekpresi di seluruh negeri.Hanya dua pekan setelah bertugas di Kairo, suatu hari tiba-tiba aparat keamanan mendobrak kamar hotel saya. Saat itu saya tinggal bersama teman saya produser Muhammad Fahmi. Mereka ternyata juga mendobrak sebuah rumah lain yang ditinggali oleh kru Aljazirah, Bahir Mohammad.
Selama di Kairo kami melakukan liputan sebagaimana lazimnya jurnalis profesional. Kami melakukan wawancara, merekam, dan menganalisa dengan teliti, berimbang, dan tanpa memihak sebagaimana dituntut oleh profesi kami. Pada awalnya kami bisa bergerak dengan leluasa, hingga pemerintah Mesir mengumumkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris. Ketika satu pihak menganggap pihak lain – entah itu politik ataupun lainnya – sebagai teroris, maka tidak akan ada lagi yang namanya sikap moderat dan adil. Persis seperti tindakan mantan Presiden Amerika George W Bush, setelah peristiwa serangan 11 September, yang mengumumkan Anda harus memilih ‘bersama kami atau bersama teroris’. Sejak itu berbicara tentang Ikhwanul Muslimin sudah bisa dianggap sebagai pengkhianat, apalagi menyiarkan berita tentang mereka, apapun beritanya.
Apalagi, sehari setelah pengumuman Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris, pemerintah memberi definisi yang lebih detil. Yaitu siapa saja yang ketahuan membawa dan menyiarkan brosur-brosur tentang Ikhwanul Muslimn atau ikut aksi-aksi unjuk rasa menentang pemerintah, bisa terancam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan 'menyiarkan pemikiran/ide teroris'.
Lalu bagaimana dengan jurnalis yang berusaha melakukan liputan yang berimbang, tanpa syak wasangka, dan teliti? Bagaimana Anda bisa membuat laporan mengenai perebutan kekuasaan di Mesir dengan jernih dan teliti tanpa bicara dengan pihak-pihak yang berkepentiangan? Kami sangat khawatir dengan hal ini. Namun, pilihan kami jelas, dan kami harus membayar mahal pilihan kami.
Kami bertiga saat ini dituduh telah bekerja sama dengan organisasi teroris (Ikhwanul Muslimin). Kami pun dituduh menggunakan peralatan tak berizin untuk menyiarkan berita-berita bohong untuk memperburuk imej negara Mesir. Namun, mereka tidak pernah menunjukkan bukti atas tuduhan kepada kami itu. Yang jelas masa penahanan kami diperpanjang 15 hari lagi setelah 15 hari sebelumnya habis masanya. Konon, perpanjangan masa penahanan itu untuk memberi waktu tambahan kepada para penyidik untuk menemukan bukti baru kesalahan kami. Bisa jadi masa penahanan kami akan diperpanjang dan diperpanjang lagi hingga waktu lama, seperti halnya yang dialami seorang teman saya yang dijebloskan ke penjara sejak enam bulan lalu tanpa tuduhan yang jelas.Tampaknya semua ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi semua wartawan yang sedang dan akan meliput di Mesir. Baik wartawan asing maupun lokal. Bukan hanya para wartawan, tapi juga mereka yang berbeda dengan suara pemerintahan.
Para penguasa saat ini tampaknya sangat alergi terhadap Ikhwanul Muslimin dan siapa pun yang bersuara berbeda. Penjara siap menampung mereka yang menentang penguasa/pemerintah. Sejumlah aktivis liberal telah dihukum penjara tiga tahun karena dianggap melanggar undang-undang unjuk rasa. Juga para aktivis yang mengkampanyekan kata 'tidak' terhadap konstitusi baru sebelum dilakukan referendum. Mereka langsung ditahan tanpa diadili.
Kondisi seperti inilah yang sekarang ini menjadi fokus perhatian saya. Saya tidak bisa berpura-pura terus diam. Saya tidak mempunyai musuh siapa pun di pemerintahan Mesir, seperti halnya saya tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk mendukung Ikhwanul Muslimin atau pihak mana pun di negeri ini. Namun, sebagai jurnalis profesional, saya berkewajiban untuk membela kebebasan dasar media massa. Inilah tugas media di negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, seperti halnya Mesir dalam konstitusi barunya.
Kami akan terus membela kebebasan pers, termasuk wartawan, dari balik penjara dan melalui peraturan perundangan-undangan di sini. Namun, kebebasan kami dan yang lebih pentinga lagi kebebasan pers, tidak akan terwujud tanpa tekanan terus menerus dan dengan suara lantang dari lembaga-lembaga HAM, masyarakat madani (civil society), dan para pemimpin dunia. Tekanan dari mereka-mereka yang anti kekerasan. Kami yakin kebebasan pasti akan datang. Kami percaya akan mendapat dukungan. Kami akan terus berjuang.
Tertanda, Peter Greste, dari pernjara Turrah.
0 komentar:
Post a Comment