MEIKARTA, Dalam Drama Pelecehan Kedulatan Negara
Beranjak sebentar dari genosida warga Rohingya di Myanmar untuk menengok “genosida” yang sedang melanda Indonesia. Yaitu, pelecehan hukum dan kedaluatan negara oleh proyek kota baru, Meikarta.
Sejak proyek yang merendahkan kedaulatan negara ini dikerjakan, seingat saya tidak ada sama sekali reaksi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, proyek ini telah menjadi kontroversi besar. Hanya Wagub Jawa Barat, Dedy Mizwar (Demiz), yang berteriak-teriak agar pembangunan dihentikan karena tidak memiliki izin yang lengkap. Meikarta baru memiliki izin pembangunan untuk lahan seluas 84 hektar.
Media nasional, terutama para pendukung Jokowi, yang biasanya kritis terhadap pelanggaran yang kecil-kecil sekalipun, juga tidak bersuara. Mereka membiarkan saja kesewenangan Lippo Group yang tidak mematuhi prosedur perizinan untuk pembangunan Meikarta.
Kekuatan politik yang biasanya tidak rela terhadap pelanggaran kedaulatan, dan juga tidak setuju dengan proyek kapitalisme, yaitu PDIP, kali ini pun tampak “malas” berkomentar. Bu Megawati diam saja. Mereka biarkan Lippo melakukan apa saja yang mereka inginkan. Budiman Sujatmiko, Adian Napitupulu, dll, yang biasanya ceplas-ceplos kalau ada kesalahan yang terjadi, kali ini cenderung tak banyak bicara. Entah mengapa.
Bisa jadi mereka mengalami proses kelunturan ideologi. Dulu tak suka kapitalis, tapi setelah merasakan enaknya mobil dinas mewah, ruangan ber-AC, café-café berkelas, dll, akhirnya mereka terbuai di atas sofa-sofa diskusi pragmatis. Diskusi yang membuat kehidupan semakin nyaman dan aman. Tanpa ada kekhawatiran kekurangan uang.
Baru terdengar beberapa anggota DPR, yaitu seorang dari PKS dan seorang dari PPP, yang “kelihatan” mempersoalkan izin pembangunan Meikarta. Para wakil rakyat dari partai-partai lain cenderung diam seribu bahasa.
Manajemen Lippo memang hebat, luar biasa! Tidak ada yang mampu menghadang. Wagub Dedy Mizwar (Demiz) yang meniupkan peluit tanda stop, tak digubris. Bahkan Meikarta seolah menantang. Ketika Demiz, pada 31 Juli 2017, mengeluarkan permintaan dengan rendah hati agar Meikarta menghentikan kegiatan pembangunan, dua hari kemudian (2 Agustus 2018) proyek Meikarta malah menjawabnya dengan iklan pemasaran besar-besaran di banyak media utama.
Imbauan Demiz yang menggunakan kata “mohon”, sedikit pun tak menggugah Lippo. Dan, bagaikan besekongkol mendukung proyek kapitalisme ini, koran-koran serta televisi besar bagaikan ikut berjemaah bersama Meikarta dalam melecehkan kedaulatan negara.
Kompas kebagian duit besar untuk 5 halaman iklan Meikarta. Di harian Tempo juga 5 halaman. Bisa dibayangkan berapa besar yang dinikmati kedua media ini. Kemudian, harian Sindo dan Busnis Indonesia juga masing-masing 5 halaman. Pastilah mantap duitnya! Tiga koran besar yang tidak memasang iklan Meikarta adalah Republika, Rakyat Merdeka dan Media Indonesia.
Media-media besar nasional yang ikut mempromosikan poyek tanpa izin ini, membuat semua kita hanya bisa urut dada. Sebegitu rakusnya mereka, sampai-sampai tidak lagi memikirkan dampak negatif pemasangan iklan produk yang status hukumnya masih belum jelas itu.
Mereka, media-media besar ini, ternyata siap menginjak-injak basis moralitas kejurnalistikan demi duit iklan. Sayang sekali! Mereka bukan media cetak sembarangan. Mereka dihormati. Disegani, dan menjadi acuan. Seharusnya, duit iklan Meikarta “tidak seberapa” bagi mereka ketika martabat dan kedaulatan negara, c.q. pengatur dan pemberi izin pembangunan, dianggap remeh oleh Lippo.
Tidak hanya izin bangunan, Meikarta juga belum mengantungi izin Amdal. Bisa jadi juga semua yang diperlukan untuk mewujudkan Meikarta, akan berhasil didapat oleh Lippo. Ombusdman RI, Alamsyah Saragih, pernah berkata bahwa Meikarta masih “on track”. Mungkin ini isyarat bahwa Pak Ombusdman bakal terhipnotis oleh “pendekatan” Meikarta.
Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) mengeluarkan peringatan agar masyarakat berhati-hati membeli properti Meikarta yang belum sepenuhnya memiliki izin. Peringatan ini mungkin tak berdampak. Karena konsumen yang memiliki uang, tidak begitu peduli. Iklan kolosal Meikarta yang masif dan intensif, telah terlanjur meyakinkan mereka.
Begitulah! Tampaknya bangsa, negara dan rakyat harus sabar melihat kesewenangan yang ditunjukkan oleh Lippo Group. Kita, rakyat biasa, masih punya kesempatan untuk menunjukkan kepada media cetak yang tergiur duit iklan, kepada para pejabat yang telah terkooptasi, bahwa rakyat akan berjuang tak henti-hentinya melawan kesewenangan.
Rakyat akan bangkit kembali. Rakyat akan menghukum Anda semua, walaupun Meikarta kini menjadi episode kesekian dalam drama pelecehan kedaulatan bangsa dan negara.(*)
teropongsenayan.com
0 komentar:
Post a Comment