Berhenti Tulis Buku karena Pajak, Tere Liye: Selalu Ada Jalan Keluarnya
Penulis Novel Tere Liye memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku karena perihal pajak.
Lewat Fan Page Facebooknya, selain mengumumkan akan keputusannya, ia pun mengutarakan secara panjang lebar perihal perpajakan seorang penulis (buku). Di samping itu, iapun memang mengomersialkan sebagian karyanya. Berikut pemaparan Tere Liye, Selasa (05/09/2017):
*Selalu Ada Jalan Keluarnya
Kalian harus tahu, penulis buku adalah orang paling dermawan kepada negara. Kalian harus sopan sekali kepada penulis buku, karena dia membayar pajak lebih banyak dibanding kalian semua. Eh, saya serius loh, tidak sedang bergurau.
Di sebuah komplek misalnya, ada 10 rumah. Rumah A adalah dokter, Rumah B adalah akuntan, Rumah C adalah arsitek, Rumah D adalah pengusaha, Rumah E adalah pengacara, Rumah F adalah karyawan swasta, Rumah G adalah PNS, Rumah H adalah artis terkenal, Rumah I adalah motivator, dan Rumah J adalah Penulis Buku. Maka penulis buku adalah orang yang membayar pajak paling banyak.
Kita anggap saja 10 rumah ini semuanya sama penghasilannya: Rp 1 Miliar per tahun. Dan kita anggap saja PTKP (penghasilan tidak kena pajak) rumah ini sama — jadi kita anggap PTKP-nya nol saja, untuk memudahkan ilustrasi.
Maka dokter (A), akuntan (B), arsitek (C), artis terkenal (H), motivator (I), pajaknya dihitung sbb: Rp 1 Miliar x 50 persen (rasio NPPN, kurang lebih demikian rasionya, biar sederhana), dapatlah Rp 500 juta penghasilan netto. Lantas dikalikan lapisan (layer) pajak penghasilan progresif, Rp 50 juta pertama tarifnya 5 persen, Rp 50 juta hingga Rp 250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Total pajak rumah-rumah ini adalah hanya: Rp 95 juta.
Sementara Rumah D, karena dia adalah pengusaha UMKM, maka tarif pajaknya hanya 1 persen dari omzet bruto. Rp 1 Miliar x 1 persen = Rp 10 juta. Selesai. Mudah menghitungnya. Tentu, mengingat sifatnya bisnis, belum tentu semua Rp 1 miliar tadi adalah penghasilan bersih, karena dia harus membeli bahan-bahan, dan lainya. Tapi tetap saja, pajak mereka murah sekali, hanya 1%.
Lantas penulis buku, berapa pajaknya? Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: Rp 1 miliar dikalikan layer tadi langsung. Rp 50 juta pertama tarifnya 5 persen, Rp 50 juta hingga Rp 250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas Rp 250 juta hinga Rp 500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Dan Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar berikutnya 30 persen. Maka total pajaknya adalah Rp 245 juta.
Lihat perhitungannya? Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan 2 kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya. Artis, pengusaha, lawyer, wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa, sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk dalam sistem.
Masih ada yang menyamai pajak penulis buku, yaitu karyawan swasta dan PNS. Dari angka Rp 1 milyar tadi, mereka dikurangi dulu biaya jabatan 5 persen, lantas dikalikan layer-layernya, pajak karyawan swasta/PNS kurang lebih 5 persen lebih rendah dibanding penulis. Tapi catat baik-baik, penulis adalah profesi pekerjaan bebas, dia bukan karyawan tetap.
Beda sekali sifatnya. Penulis bisa sukses, bisa gagal, bukunya bisa laku bisa tidak, penghasilannya bisa ada, lebih banyak tidaknya, tapi karyawan swasta dan PNS, gajinya pasti, tetap sifatnya, dan diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Nah, dengan ilustrasi tersebut, dari 10 rumah di komplek itu: penulis buku adalah yang paling dermawan kepada pemerintah (meski rumahnya paling kecil, mobilnya paling sederhana). Mereka ternyata membayar pajak dengan jumlah massif sekali.
Apakah pemerintah tahu permasalahan ini? Tahu. Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja.
Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progress yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu.
28 buku-buku saya tidak akan dicetak ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah di buku hingga Desember 2017. Minggu-minggu ini, kalau kalian ke toko, toko-toko buku Gramedia sedang massif menjualnya, membuat display khusus, dan lainnya, agar semakin cepat habis.
Per Januari 2018, kalian tidak akan lagi menemukan buku-buku itu di toko buku. Jika masih ada toko buku yg menjualnya, itu berarti bajakan, my friend. Lagi-lagi, sudah pajaknya besar, buku bajakannya juga banyak sekali.
Menghentikan menerbitkan buku, bukan berarti saya berhenti menulis. Tenang saja, penulis itu tugasnya menulis, jadi bahkan ketika tidak lagi diterbitkan, dia tetap bisa menulis. Naskah-naskah baru akan diposting lewat page Facebook ini, atau cara-cara lain agar pembaca tetap bisa menikmati buku tersebut tanpa harus berurusan dengan pajak yang berkali-kali lipat tingginya. Saya akan memikirkan model bisnis berbeda, atau pendekatan berbeda, sepanjang itu belum ditemukan, dibagikan gratis di page ini bisa jadi solusi yang baik.
Saya selalu percaya, selalu ada jalan keluarnya. Mungkin tidak ada solusinya di pajak sana–karena boleh jadi mereka tidak paham buku adalah kunci peradaban, mereka tetap akan mengotot penulis harus bayar pajak lebih tinggi dibanding artis, dkk; tapi selalu ada jalan keluar bagi saya untuk terus menulis, dan pembaca terus bisa menikmatinya. Kecuali jika besok lusa, bahkan menulis di page Facebook inipun juga kena pajak 🙂
Demikianlah. Salam literasi.
*Tere Liye
**ilustrasi di atas adalah penyederhanaan, karena PTKP, tanggungan, biaya jabatan maksimal, donasi wajib agama, dll bervariasi setiap orang, tapi kalaupun dimasukkan semuanya secara akurat, substansinya akan sama.
0 komentar:
Post a Comment