Dimensia Akut Sang Penerima Nobel dan Diplomasi Indonesia
Berita
,
Berita Dunia
,
Opini
Edit
Oleh : Ahmad Dzakirin
Tidak ada yang baru dari pernyataan Aung San Suu Kyi. Pernyataan terbarunya sekedar merefleksikan sosok pemimpin yang semakin tua dan mengidap dementia akut.
Dia menyatakan:
1. Operasi militer sebagai bagian operasi keamanan untuk menumpas teroris dan oleh karena itu, keprihatinan dunia atas praktik genosida dianggap sebagai bagian kampanye penyesatan informasi yang menguntungkan teroris. Untuk itu, dia mengusir semua para pekerja dan lembaga kemanusiaan internasional karena dianggap mendukung kampanye terorisme.
2. Bagian dari kerusakan otak akut ini, dia menolak fakta adanya pembunuhan dan pengusiran massal Muslim Rohingya. Sekalipun data PBB sekarang menunjukkan 123 ribu pengungsi telah menyeberang ke Bangladesh hanya dalam dua pekan konflik. Alih-alih berhalusinasi sedang melindungi demokrasi dan HAM.
Seperti disimpulkan Judah Jacob, terlampau banyak data dan kesaksian otentik dari ribuan korban selamat yang bertutur kisah serupa tentang kebrutalan militer sehingga sulit untuk dibantah. Dan bagi jurnalis New York Times, kondisi ini sudah cukup memberikan alasan untuk mencopot titel nobel perdamaian yang disandangnya.
Pernyataan Aung San Suu Kyi tidak lebih dari kampanye PR terbaik untuk menyembunyikan wajah kleptokratik junta militer yang sesungguhnya. Dan yang lebih buruk lagi, dia sendiri bermetamorfosis sebagai sosok rasis dan kejam dibalik penampilan yang tampak keibuan dan humanis.
Dengan demikian, diplomasi Indonesia tidak berarti apa-apa, jika tidak diikuti dengan langkah simultan dan tegas untuk membawa isu ini ke dunia internasional bersama negara-negara Muslim lainnya, seperti Turki dengan dua target: pertama, penyelesaian permanen Muslim Rohingya sebagai warga negara dengan hak dan status yang sama dan kedua, menyeret para pelaku kejahatan sistematis ke pengadilan internasional.
Pernyataan terbaru Suu Kyi membawa pesan penting bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan politik dan keamanan junta militer di Burma. Operasi militer sekarang ini bagi banyak pihak dibaca sebagai kelanjutan proyek pengusiran yang belum tuntas sejak merdeka. Hal ini dapat dilihat jelas dalam pola operasi yang melibatkan para warga sipil dan milisi Budha.
Oleh karena itu, saya tidak menghiraukan pernyataan Dubes Ito Sumardi yang di mata saya, lebih tampak sebagai duta besar Burma (ketimbang wakil Indonesia), yang dibayar dengan pajak rakyat.
Ada dua pernyataannya yang patut disoroti:
Pertama, perlawanan Muslim Rohingya (ARSA) merupakan implikasi tidak terelakkan (spillover) dari persekusi panjang mereka sejak 1970-an. Gerakan gerilyawan ini baru diidentifikasi sebagai gerakan nasionalis keagamaan yang dibentuk pada 2016 untuk melawan penindasan dan menuntut otonomi atau kemerdekaan. Jadi tidak perlu berlebihan mengaitkan dengan ekstrimisme ISIS atau sejenisnya, apalagi mendramatisasi dirinya dilatih Taliban. Semua pernyataan Ito masih belum dapat diverifikasi kebenarannya (unconfirmed report).
Namun yang pasti, membiarkan kekejian atas Muslim Rohingya berarti memberikan tiket gratis bangkitnya ekstrimisme dan kekerasan yang sulit dipadamkan (protracted conflict) di kawasan ini.
Kedua, saya tidak tahu agamanya Pak Dubes, namun menganggap pembunuhan massal tidak ada kaitannya dengan urusan agama adalah sebuah cara pandang yang keliru, apalagi seolah tampak gagah mengritik negara tetangga, Malaysia karena menurunkan status hubungan diplomatik dan menuduh mengeksploitasi agama dalam isu Rohingya. Dalam Islam, membunuh satu nyawa tanpa hak sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia dan menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. (Al Maidah:32)
Ada dua alasan perang yang diijinkan agama, pertama, jihad melawan orang-orang yang memerangi karena agama, dan kedua, berjihad membela orang-orang yang dianiaya dan diusir dari kampung halamannya. Dan sayangnya, kedua alasan itu ada dalam tragedi kemanusiaan di Rohingya.
Jadi dalam konteks yang lebih aktual, keprihatinan dan pembelaan kita atas tragedi Muslim Rohingya merefleksikan keyakinan dan sekaligus ekspresi keagamaan yang absah sekalipun Pak Dubes dan boleh jadi pemerintah tidak menyukai.
0 komentar:
Post a Comment