4 Tahun Tragedi Rabaa: Mereka Bakar Hidup-Hidup
Dr. Hanan Al-Amin sedang bertugas jaga di rumah sakit lapangan ketika pasukan keamanan menyerbu ruangan dan memerintahkan dirinya dan dokter lainnya keluar. Seorang pasien sedang berada di meja operasi dengan perut terbuka karena ada 6 peluru ada di liver, perut bagian bawah dan rongga antara perut dan dada.
Dia memberitahu aparat keamanan tidak dapat meninggalkan pasien, sambil menunjukkan tiga pasien lainnya yang tergeletak membutuhkan bantuan media. Polisi itu kemudian mencabut pistolnya dan menembak ketiganya di jantung.
“Seketika itu juga saya seperti kehilangan akal sehat saya,” ingatnya. “Semua yang saya terpikir adalah bahwa orang-orang ini manusia, rakyat Mesir dan rakyat kita, ” kata Al Amin sambil menangis mengingat kejadian tersebut.
“Hidupku seperti berhenti pada 14 Agustus 2013,” lanjutnya. “Saya tidak bergerak lagi setelah tanggal 15, semuanya seperti terhenti.”
Kini 4 tahun telah berlalu ketika aparat keamanan menyerbu aksi demonstrasi damai di lapangan Rabaa memprotes kudeta atas presiden yang terpilih secara demokratis.
Selama 12 jam, penembak jitu menembak secara acak kerumunan, sementara buldoser menyerbu kemah-kemah para demonstran dan membakarnya.
Pembantaianpun terjadi dan 1000 orang lebih tewas pada hari itu.
Para demonstran telah berkumpul di lapangan satu setengah bulan sebelum pembantaian. Al Amin adalah salah satu dokter sukarelawan di rumah sakit darurat di lapangan Rabaa. Dia tinggal di dekat lapangan Rabaa dan bekerja di Universitas Zagazig sebagai dokter bedah. Sebelum berangkat kerja, dia meluangkan waktunya beberapa jam membantu merawat para demonstran yang sakit. Karena menurutnya, mereka sedang memperjuangkan kepentingan bangsa dan masa depan anak-anaknya.
“Saya ingin memberi contoh orang-orang untuk menjadi relawan,” katanya, “Demonstrasi damai untuk menyelamatkan bangsa dan kehidupan yang lebih baik untuk rakyat.”
Sebagai lulusan terbaik, Al Amin muda yakin dirinya dapat menjadi dokter yang baik. Namun yang dia pelajari selama di bangku kuliah serta merta hilang pada saat hari pembantaian terjadi.
“Saya melihat apa yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina di Nakba namun saya hampir tidak berpikir bahwa orang Mesir akan melakukan hal itu kepada rakyatnya sendiri.”
“Saya tidak pernah berpikir akan melihat orang-orang yang menuntut haknya dilukai oleh polisi dan tentara yang seharusnya melindungi mereka,” tambahnya.
Pada hari sebelum pembantaian, Al Amin berpartisipasi dalam aksi tersebut. Sore harinya, ketika kebanyakan orang beristirahat, mereka mengorganisir para perempuan untuk memberi motivasi kepada yang lainnya. Dia keluar selama satu jam kemudian kembali dan terus bekerja. “Semua itu adalah cara saya untuk membangkitkan kembali semangat,” ingatnya.
Banyak dokter di rumah sakit lapangan ini berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, namun tidak semuanya, katanya. Direktur rumah sakit misalnya bukan. Ada banyak kelompok dalam aksi demonstrasi ini yang yakin akan hak rakyat Mesir untuk hidup merdeka.
“Setiap orang yakin akan hak rakyat untuk menyampaikan pendapatnya dan hak menentukan nasibnya sendiri,” lanjutnya. “Kami yakin hak kami untuk menjalankan demokrasi, bahwa setiap rakyat Mesir yang mendukung revolusi mempunyai hak untuk hidup seperti yang dinginkannya.”
Namun hal ini tidak cukup untuk menyelamatkan orang-orang pada hari itu.
Pembantaian dimulai pada pukul 7 pagi dan dari awal Al Amin dan koleganya bekerja tidak kenal lelah mengobati mereka yang terluka. Sekitar pukul 3 sore, hampir tidak ada obat yang tersisa, sekalipun obat penghilang rasa sakit. “Saya berdiri disana tidak berdaya, saya tidak dapat melakukan apapun. Dalam keadaan itu, saya benci diri saya dan benci kedokteran. Saya membenci apapun,” katanya.
Anak-anak yang ketakutan berkumpul di masjid untuk menyelamatkan dirinya, namun mereka tercekik oleh gas air mata. Ambulan tidak diperbolehkan masuk. “Ini seperti zona perang. Dibalik itu semua, mereka ingin menimbulkan rasa ketakutan dan sebagai bentuk intimidasi terhadap orang-orang. Mereka mendeklarasikan genosida atas rakyatnya sendiri.”
Rumah-rumah sakit di sekitar Rabaa dilarang untuk merawat pasien dari lapangan Rabaa. Ambulan-ambulan dan obat-obatan dilarang masuk.
Al Amin sendiri digiring keluar oleh orang yang menembak pasiennya. Pasiennya, seorang anak laki-laki menangis meminta dirinya untuk tidak pergi. Dia ketakutan untuk melihatnya khawatir ditembaknya juga.
Dari luar, dia melihat rumah sakit lapangan itu terbakar hebat dengan banyak pasien yang terluka didalamnya. Aparat keamanan membakar mereka hidup-hidup,” teriaknya.
Al Amin tahu bahwa salah satu dokter koleganya ditembak di belakang dan kini lumpuh dan menggunakan kursi roda. Namun beberapa dokter selamat untuk dapat menceritakan kekejaman pada hari itu.
Beberapa hari setelah pembantaian, salah satu perwira mengakui bahwa mereka telah membersihkan sekitar 700 jasad di buldozer mereka dan membawanya ke Gebel Al Ahmar dekat Heliopolis dan menguburnya disana baik dalam keadaan hidup maupun mati. Itulah mengapa Al Amin yakin jumlah tewas jauh lebih tinggi.
Aparat keamanan mempunyai tiga tujuan pada 14 Agustus 2013. pertama, mereka ingin menyingkirkan siapapun yang ada disana, kedua, mereka ingin mengirim pesan ketakutan dan intimidasi kepada siapapun yang menentang rejim, ketiga, mereka ingin mendapatkan kemenangan militer.
Mereka berhasil dalam membagi rakyat Mesir dalam dua kelompok, satu kelompok dibunuh dan satu kelompok lainnya senang dengan pembunuhan tersebut. Akan butuh tahunan atau bahkan puluhan tahun untuk mengobatinya.
“Setiap orang yang terlibat harus dihukum. Hukuman bagi mereka adalah cara terbaik untuk menyembuhkannya“, katanya.
“Sementara masyarakat internasional hanya diam saja dari pukul 7 hingga 6, sesungguhnya yang dibakar mereka ini bukan semata Muslim, namun juga manusia. Hari itu adalah hari memalukan bagi umat manusia secara keseluruhan,” tegasnya.
“Sebagai seorang dokter bedah, saya tidak pernah mencintai atau membenci profesi saya lebih dari hari Rabaa. Saya merasa nilai sejati kedokteran hilang seketika itu juga karena saya tidak berdaya menolong mereka sekalipun didepan mata saya”.
Dampak pembantaian Rabaa dirasakan bertahun-tahun. Beberapa orang takut anak-anak mereka diperlukan setelah peristiwa itu. Beberapa anak kehilangan orang tua mereka. Banyak ayah mereka masih mendekam dalam penjara.
“Saya yakin bahwa anak-anak yang berada di Rabaa pada waktu adalah harta yang tak ternilai harganya, karena setelah peristiwa itu, mereka menolak hidup sebagi budak,” tandasnya.
permatafm
0 komentar:
Post a Comment