Membahas 15 poin keterangan di Facebook Mentan soal beras
*Uni Lubis
Pemerintah perlu belajar dari slogan Perum Pegadaian, “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Ini pendapat saya setelah selama enam hari mengamati kontroversi pasca penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) pada hari Kamis, 20 Juli 2017.
Saat melakukan penggerebekan di gudang yang terletak di kawasan Bekasi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp 15 triliun. Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian yang memimpin langsung penggerebekan yang dilakukan Satuan Tugas Pangan itu menduga perusahaan tersebut telah rugikan negara ratusan triliun.
Media memuat keterangan Satgas Pangan saat penggerebekan. Menteri Pertanian mengatakan PT IBU dianggap memonopoli harga. Dua produk yang dijual dengan merek Cap Ayam Jago dan Makyuss dituding menjual dengan disparitas harga tinggi lebih dari 100% dibanding harga beli ke petani.
Tim Satgas Pangan yang melibatkan antara lain Polri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Bulog menemukan, beras yang dikemas dengan merk premium kemudian dibanderol dengan harga berkisar Rp 13.700 untuk merek Maknyuss hingga Rp. 20.400 per kilogram untuk merek Cap Ayam Jago.
Dalam penggerebekan itu disita 1.162 ton beras di gudang PT IBU. Polisi mengklaim beras tersebut adalah beras jenis IR 64 yang sebagian telah dikemas ulang menggunakan kemasan beras premium, sehingga dapat dijual hingga tiga kali lipat dibanding harga beras jenis IR 64.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigjen Agung Setya mengatakan PT IBU telah berbuat curang karena mengemas beras bersubsidi dengan bungkus beras premium bermerek Makyuss dan Ayam Jago. Selain itu, PT IBU juga dianggap menipu konsumen dengan mencantumkan nilai gizi beras yang tidak sesuai dengan fakta.
Di jajaran pemerintahan, klarifikasi pertama datang dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Mensos mengecek ke Badan Urusan Logistik (Bulog) dan mendapat informasi bahwa beras yang dibeli oleh PT IBU bukan jenis rastra atau beras sejahtera. Rastra adalah nama baru untuk raskin alias beras untuk rakyat miskin.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang saya kontak pada 25 Juli 2017 menjawab bahwa Peraturan Menteri Perdagangan No 47 tahun 2017 belum berlaku. Sekretaris Jenderal Kemendag Karyanto Suprih mengatakan bahwa selama belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM aturan belum berlaku. Jadi, yang berlaku adalah Permendag No 27 tahun 2017.
Di dalam Permendag 47 tahun 2017, harga acuan beras turun dari Rp9.500 menjadi Rp9.000 per kilogram. Peraturan yang akan diterbitkan itu pun serupa dengan Permendag 27/2017, yakni tidak mencantumkan jenis beras pada harga acuan. Juga tidak mencantumkan sanksi.
PT IBU jelas membantah tudingan manipulasi beras dan harganya. Bantahan pertama datang dari Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk, induk PT IBU, Anton Apriyantono. Mantan menteri pertanian itu membantah tudingan polisi soal manipulasi mutu dan harga.
Sehari setelah penggerebekan, saham PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk yang melantai di bursa saham dengan kode AISA, anjlok 25%.
Niat baik, narasi simpang siur
Menurut saya, niat pemerintah melalui Satgas Pangan untuk memberantas mafia pangan, terutama beras, patut didukung. Kondisi idealnya adalah, harga pangan terjangkau oleh konsumen, dalam hal ini rakyat Indonesia kebanyakan, petani produsen juga mendapat untung yang layak.
Dalam sejarah, kita mengenal peran Bulog sebagai stabilisasi harga. Saat panen, ketika harga anjlok, Bulog membeli dengan harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga harga tidak ambrol, dan petani gigit jari.
Ketika harga pangan beras naik, Bulog terjun melakukan operasi pasar. Menggelontorkan beras cadangan yang jumlahnya 8% dari total stok nasional. Agak riskan sebenarnya untuk mampu mengendalikan harga. Sudah sering diusulkan Bulog memiliki kemampuan dan kewenangan stok sampai 40%. Tapi itu soal lain.
Jadi, saya sepakat dengan Kapolri Tito yang mengatakan, “Jangan seolah-olah petani itu menjadi second class citizen, low class. Presiden juga mengharapkan pedagang, juga mendapat untung. Tapi, jangan sampai untung terlalu besar yang memberatkan konsumen,” ujar Tito sebagaimana dikutip media.
Masalahnya, alasan yang disampaikan sebagai pembenar penggerebekan terhadap dua merek itu, justru menimbulkan kontroversi. Harusnya, publik sepakat 100% mendukung penggerebekan. Mengapa kali ini banyak kritik? Kalau jawabannya, “haters gonna hate”, ini menyederhanakan masalah, dan bisa membuat citra pemerintah kian terpuruk. Narasi simpang-siur, menutup niat baik yang ada.
Karena itu, di sini saya membahas satu per satu keterangan tertulis Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang dipasang di dinding akun Facebook-nya, Selasa 25 Juli 2017.
Berikut keterangan Menteri Amran, yang juga dikutip media massa.
Pasca penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Kamis pekan lalu, tak sedikit kalangan yang masih bertanya, menyangsikan, bahkan mendiskusikan masalah ini di ruang terbuka, grup-grup perbincangan serta media sosial. Karena itulah, perlu saya jelaskan, sebagai berikut:
1.Masalah hukum PT IBU diserahkan pada penegak hukum, produksi pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian dengan seluruh stakeholdersnya, dan disparitas harga ditangani oleh Satgas Pangan (Polri, Kemendag, Kementan, Kemendagri, Kemen BUMN/ BULOG, KPPU).
Di sini saya setuju. Nasi sudah menjadi bubur. Harga saham sudah anjlok, sebagai perusahaan PT TPS dan anak perusahaannya termasuk PT IBU pastilah punya motif keuntungan. Saya lebih prihatin kepada pemegang saham publiknya, apalagi kalau di antara mereka ada ibu-ibu rumah tangga yang belakangan mulai menjadi investor ritel di pasar modal kita.
2. Ada dua jenis subsidi terkait beras, yaitu subsidi input dan subsidi output. Subsidi output berupa subsidi harga beras atau biasa disebut beras sejahtera (Rastra) untuk rumah tangga sasaran (pra sejahtera) yang besarannya sekitar Rp 19,8 triliun yang pendistribusiannya satu pintu melalui Bulog.
No comment.
3. Subsidi input terkait beras, berupa subsidi benih sekitar Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun. Selain subsidi input, pemerintah juga memberikan bantuan pupuk, benih, pestisida, asuransi pertanian, alat mesin pertanian dan jaringan irigasi kepada petani yang besarnya puluhan triliun.
No comment.
4. Beras yang ditemukan di Bekasi berasal dari gabah Varietas Unggul Baru (VUB), di antara varietas IR 64 yang turunannya antara lain: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung dan Cibogo. Total VUB yang digunakan petani sekitar 90% dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.
No comment. Terima kasih informasinya, Pak Mentan.
5. Kesukaan petani terhadap varietas ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan “IR 64” baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggul baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya, petani umumnya menyebutnya benih jenis IR.
Sepanjang petani senang, apalagi cuma soal istilah, menurut saya baik saja.
6. Hampir seluruh beras kelas medium dan premium itu berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yang diproduksi dan dijual petani kisaran Rp 3.500-4.700/kg gabah. Gabah diolah/digiling menjadi beras di petani berkisar Rp 6.800-7.000/kg dan petani menjual beras berkisar Rp 7.000/kg dan penggilingan/Pedagang kecil menjual Rp. 7.300/kg ke Bulog (HPP Beras).
Ini juga informasi. Terima kasih.
7. Terkait dengan perusahaan yang diperkirakan membeli gabah/beras jenis varietas VUB dari petani, penggilingan, pedagang, selanjutnya dengan prosessing/ diolah menjadi beras premium dan dijual dalam kemasan 5 kg atau 10 kg ke konsumen harga Rp 23.000-26.000/kg. Menurut hitungan Kementan terdapat disparitas harga beras premium antara harga ditingkat petani dan konsumen berkisar 300%.
Di sini muncul pertanyaan. Aturan mana yang mengatur harga bagi beras premium? Sebagaimana disampaikan Mendag Enggar dan sekjennya, Permendag No 47 tahun 2017 belum berlaku. Jadi, yang berlaku harga acuan sesuai Permendag No 27 tahun 2017, di mana ditetapkan Harga Eceran Tertinggi beras di tingkat konsumen adalah Rp 9.500, sedangkan harga acuan jual di tingkat petani Rp 7.300 per kilogram beras.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan dalam Permendag, tidak disertai jenis beras, entah medium ataupun premium. Permendag hanya memuat jenis gabah kering panen, gabah kering giling, dan beras semua jenis.
“Selain itu, HET hanya berfungsi untuk mencegah supaya harga jual tidak terlalu murah ataupun terlalu mahal sehingga merugikan konsumen. Jarang ada pedagang yang menjual sesuai dengan harga tersebut,” kata Bayu, yang pernah menjabat wakil menteri pertanian dan wakil menteri perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bayu juga mengatakan, tuduhan manipulasi mutu beras yang dikenakan kepada PT IBU masih sumir. “Di dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) juga tidak ada masalah varietas,” kata dia. Maka bila sebuah perusahaan mampu mengolah beras dengan baik dan memenuhi standar, kemudian dilabeli premium dan konsumen puas, hal tersebut sah-sah saja.
8. Berdasarkan temuan di beberapa supermarket harga beras, cap Ayam Jago jenis pulen wangi super dan pulen wangi Giant Cilandak, Jakarta Selatan masing-masing Rp 25.380 per kg dan Rp 21.678 per kg. Supermarket Kemayoran, Jakarta Utara Rp 23.180 per kg. Kemudian di Malang Town Square, ayam jago beras pulen wangi super mencapai Rp 26.305 per kg.
Saya makin heran dengan argumentasi berdasarkan temuan ini. Pertama, di supermarket mana yang menjadi acuan temuan harga? Soalnya beda lokasi supermarket atau ritel modern harganya bisa berbeda untuk produk yang sama. Pengelola juga melihat taraf hidup dan kemampuan ekonomi di sekitar lokasi ritel modern itu.
Praktik yang normal, produsen memiliki harga pokok produksi, mendapatkan marjin, lantas menjual ke ritel/pasar.
Berapa sebenarnya harga jual di tingkat produsen yang sudah meliputi produksi, kemasan, pengantaran sampai pemasaran, dengan harga jual yang dipatok distributor dan dipasang oleh ritel modern? Biaya-biaya operasional dan karyawan alias overhead cost?
Kedua, kalau yang menjual beras jauh di atas harga acuan yang ditetapkan Permendag dianggap melanggar, mengapa cuma dua merek dari satu perusahaan yang digerebek?
Selasa, 25 Juli 2017, saya ke supermarket Giant di kawasan Kalimalang, Jakarta. Harga beras merek IR 64 Rp 86.900 per 5 kilogram, atau Rp 17.380 per kilogram. Jauh di atas HET.
Bahkan semua beras kemasan 5 kilogram di situ harganya di atas HET. Pindah ke Transmart Kalimalang, beras Maknyuss diijual dengan harga Rp Rp 92.150 per 5 kilogram. Menggunakan kartu kredit tertentu diskon 10%, harga per kilogram setelah diskon adalah Rp 16.587. Masih jauh di atas HET menurut Permendag 27/2017, Rp 9.500.
Rabu pagi, 26 Juli 2017, saya ke pasar tradisional di kawasan Jati Cempaka, Bekasi. Pedagang beras curah menjual beras dengan kualitas seperti IR 64 (sebagaimana dikatakan pemerintah saat ini kebanyakan varietas Ciherang dan lain-lain), Rp 8.500 per liter. Sesuai HET.
Pedagang juga menyediakan beras pandan wangi seharga Rp 12.000 per liter. Di atas HET, tapi ini aromatik, bukan?
Pedagang yang sama juga menjual beras dalam kemasan 5 kilogram, seharga Rp 55.000. Persis di mulut komplek rumah saya, toko kelontong menjual beras Sentra Ramos seharga Rp 62.000 per 5 kilogram.
Yang ingin saya sampaikan di sini, konsumen punya pilihan. Kelas menengah yang mengutamakan kenyamanan berbelanja, suka dengan kemasan bagus, tertarik dengan jargon pemasaran seperti, “tanpa pemutih”, “tanpa zat kimia,” “ditambahi vitamin A” dan segala macam itu, silakan membeli dengan harga lebih mahal di ritel modern atau belanja via online.
Proses transaksinya sukarela dan dengan kesadaran penuh. Bayar sesuai harga yang tertera. Kalau sampai di rumah rasanya tidak enak, tidak sebanding dengan harga, pasti tidak akan beli lagi merek tersebut. Gitu aja kog, repot? Ini pengalaman saya sebagai konsumen, ibu rumah tangga.
Mengutip pendapat ekonom INDEF Dradjad Wibowo, ini kan bisa-bisanya produsen. Melakukan inovasi atau strategi pemasaran untuk menarik konsumen. Siapa yang tidak melakukan?
Dulu saat kecil susu formula yang saya minum sama dengan yang dikonsumsi orang tua saya. Sama dengan yang dikonsumsi adik-adik saya. Sekarang, ada susu khusus untuk usia di bawah tiga tahun.
Ada untuk di bawah lima tahun. Saya meminum susu untuk usia 19-50 tahun. Ada yang diberi kandungan madu. Vitamin ini-itu. Susu rasa buah. Harganya jauh lebih mahal, padahal isinya ya sama: susu. Bedanya sebenarnya adalah susu susu yang berlemak dan sudah dikurangi lemaknya.
Toh, dibeli juga. Satu keluarga membeli beberapa jenis susu, sesuai usia dengan marketing gimmick-nya.
Saya teringat wawancara dengan seorang konglomerat yang antara lain memproduksi minyak goreng. Perusahaannya memproduksi setidaknya dua merek populer dengan harga berbeda. “Bedanya cuma yang lebih murah warnanya lebih keruh. Kandungan sama. Ini pricing strategy saja,” kata dia.
Perusahaan memanfaatkan psikologi konsumen yang makin penasaran dan membeli produk yang dianggap lebih sehat, membuat lebih cerdas, dan lebih keren. Dibeli meskipun harganya mahal.
Sejak wawancara yang saya lakukan hampir 25 tahun lalu, saya membeli minyak goreng yang lebih murah. Toh kandungannya sama. Dua bulan ini, saya membeli minyak goreng dengan kemasan sederhana Rp 11.000 per liter dan gula pasir kemasan Rp 12.500. Produk premium yang dipajang di samping kemasan sederhana tadi tidak lagi saya beli. Tapi saya enggak keberatan penjual tetap memajang produk-produk premium dengan harga lebih mahal itu. Tidak ada aturan yang dilanggar. Ada pilihan.
Soal subsidi? Bukankah pemerintah memberikan subsidi ke beberapa produk pertanian? Subsidi ke petani justru bertujuan agar petani dibantu ongkos produksi, sehingga tidak memberatkan hidupnya. Manakala ada yang mau membeli produk dengan harga lebih mahal ketimbang HET, mengapa dicegah?
Monopoli harga? Bagaimana bisa? Merayu petani agar menjual ke perusahaan tertentu? Memangnya petani bisa dirayu kalau harganya kurang menarik? Ujungnya mau menyejahterakan petani, kan?
Jadi, Pak Mentan, kalau niatnya adalah memaksa produsen menurunkan harga beras premium, untuk menurunkan laba produsen, bukankah seharusnya pemerintah bisa melanjutkan cara yang sudah ditempuh Kemendag saat menurunkan harga gula pasir dan minyak goreng jelang Lebaran 2017?
9. Sementara dijumpai perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang relatif sama, diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal medium rerata Rp 10.519/kg beras. Kementan memperkirakan disparitas harga beras medium ini di tingkat petani dan konsumen Rp3.219/kg atau 44 persen.
Harga Rp 10.519 per kilogram ini produksi perusahaan mana ya Pak Mentan? Dijual di mana? Ritel modern? Pasar? Warung? Kalau beras medium, ya memang ada. Tapi coba Pak Mentan datang ke ritel modern yang saya sebutkan di atas. Merek lain yang diproduksi perusahaan lain dari yang digerebek menjual dengan harga yang mirip-mirip, bahkan ada yang lebih mahal. Sama-sama premium.
Kalau kita mau memberantas mafia, maka sekalian kita perlu transparan. Masyarakat perlu tahu semua informasi yang dikumpulkan pemerintah dan dari mana sumbernya.
10. Untuk diketahui nilai ekonomi bisnis beras ini secara nasional Rp 10.519/kg x 46,1 juta ton (atau setara 41,6 miliar kg) mencapai Rp 484 triliun. Diperhitungkan untuk memproduksi beras tersebut biaya petani Rp 278 triliun dan memperoleh marjin Rp 65,7 triliun. Sedangkan pada sisi hilir, konsumen membeli beras kelas medium rerata saat ini Rp 10.519/kg setara Rp 484 triliun, dan bila konsumen membeli beras premium maka angkanya jauh lebih tinggi lagi. Sementara pedagang perantara atau middleman setelah dikurangi biaya proses, pengemasan, gudang, angkutan dan lainnya Kementan memperkirakan memperoleh marjin Rp 133 triliun.
Lagi-lagi saya tidak tahu angka Rp 10.519 per kilogram beras muncul dari mana? Data rata-rata harga di daerah mana? Semuanya beras yang petaninya disubsidi?
Pak Mentan, cerita memelas tentang petani yang mendapatkan marjin keuntungan (bahkan seringkali malah rugi saat harga jatuh), adalah cerita klasik yang saya ikuti sejak saya masih menjadi mahasiswa di fakultas pertanian. Marjin terbesar memang diperoleh pedagang atau middleman. Makanya banyak yang memilih menjadi pedagang produk pertanian, ketimbang menjadi petaninya. Pak Menteri pasti lebih paham soal ini.
Cara mengurangi keuntungan mereka? Kembali ke komentar di atas. Pola gula pasir dan minyak goreng sudah terbukti berhasil menstabilkan harga jelang Ramadan dan Lebaran 2017, sehingga, mengutip Mendag Enggar, ”Ibu-ibu bisa tersenyum menyambut Lebaran.”
Bukankah, pemerintah baru saja menepuk dada karena keberhasilan mengendalikan harga bahan pokok selama Ramadan dan Lebaran lalu? Termasuk beras? Lalu, mengapa situasinya seolah menjadi seperti genting begini?
10. Melihat kesenjangan profit marjin antara pelaku ini tidak adil, dimana keuntungan produsen petani sebesar Rp 65,7 triliun ini bila dibagi kepada 56,6 juta anggota petani padi (data BPS diolah), maka setiap petani hanya memperoleh marjin Rp 1 juta-2 juta per tahun, sementara setiap pedagang/middleman secara rata-rata memperoleh Rp 133 triliun dibagi estimasi jumlah pedagang 400 ribu orang, sehingga rata-rata per orang 300-an juta per pedagang. Keuntungan tersebut adalah rata-rata, ada yang mendapat keuntungan sangat besar ada yang mendapat keuntungan sangat kecil. Satgas pangan menginginkan keuntungan terdistribusi secara adil dan proporsional kepada petani, pedagang beras kecil dan melindungi konsumen.
Saya sepakat dengan niat baik ini. Tolong diterapkan secara adil dan transparan ke semua produsen, semua pedagang dan middleman. Di media saya membaca bahwa ada sedikitnya lima sampai tujuh pelaku bisnis beras yang menguasai pasokan, menjadi semacam kartel. Ditunggu nama-namanya. Semua.
Kalau tidak transparan, maka narasi tebang pilih akan muncul. Padahal di satu sisi pemerintah juga tengah membangun iklim bisnis dan investasi yang semakin baik. Pemerintah juga tengah menggenjot penerimaan pajak terutama dari perusahaan-perusahaan besar.
12. Hitungan keekonomian secara nasional dari bisnis beras premium/khusus: bila diketahui marjin minimal Rp 10.000/kg dikalikan total beras premium yang beredar diperkirakan 1,0 juta ton (atau 1 miliar kg), ditaksir 2,2% dari produksi beras nasional sebesar 45 juta ton setahun, maka disparitas keekonomian sekitar Rp 10 triliun. Bagaimana kalau hal ini terjadi selama beberapa tahun yang lalu?
Pertama, aturan harga untuk beras premium tidak ada. Kedua, niat memangkas keuntungan pedagang dan pengusaha bisa dilakukan dengan cara sebagaimana gula pasir dan minyak orang. Memberikan pilihan. Berlakukan kepada semua pelaku.
13. Pemerintah membeli gabah sesuai HPP untuk melindungi petani saat harga jatuh dan membeli gabah di atas HPP oleh BULOG dengan pola komersial. Pemerintah mendorong agar harga lebih bagus sehingga menguntungkan petani.
Setuju.
14. Komoditas beras termasuk barang pokok yang diatur dan diawasi pemerintah berdasarkan Perpres No. 71/2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting. Permendag 63/2016, Permendag No. 27/2017 dan Permendag No. 47/2017 mengatur harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen.
Perpres No 71/2015 tidak mengatur batasan jumlah stok yang disimpan. Permendag 63/2016, tidak mengatur beras premium. Permendag No 47/2017 sebagaimana kata Mendag, belum berlaku karena belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
15. Terkait dengan kasus PT.IBU saat ini sedang dalam proses penyidikan aparat hukum, marilah kita menghormati proses hukum tersebut. Kita berharap penanganan permasalahan ini berdampak positif menciptakan ekonomi yang berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan petani, tidak merugikan konsumen dan kondusif bagi kestabilan ekonomi nasional.
Niat baik ini bisa dicapai dengan tanpa menimbulkan masalah baru. Pemerintah perlu membuat aturan mengenai beras dan atau produk premium. Kalau perlu membuat aturan seperti rice estate sebagaimana yang diberlakukan di produk sawit.
Boleh jadi KPPU pada awalnya melihat ada potensi monopoli dalam perdagangan beras. Kalau kita buka datanya, Bulog sebagai pemain paling besar hanya menguasai 8% dari stok nasional.
Perusahaan-perusahaan swasta? Kurang atau sekitar 1%. Jadi di mana monopolinya?
Tinggal sekarang apakah perusahaan yang produknya tengah diselidiki bisa membuktikan bahwa beras premium yang dijual di atas HET adalah beras dengan pecahan bulir di bawah 5%. Kena pasal penipuan kandungan zat? Ini pun tidak mudah membuktikan karena namanya hasil alam, secara alami kandungan zat akan berubah-ubah setiap musim tanam. Kandungan zat dalam bulir yang satu ke bulir lainnya dalam satu malai padi pun bisa berbeda.
Saya teringat ucapan Kapolri Tito bahwa bagaimana masyarakat mengukur kinerja lembaganya saat ini? 60% karena opini media, termasuk media sosial. Sisanya, masing-masing 20% adalah dari hasil kerja dan mengubah paradigma dan budaya.
Kontroversi pasca penggerebekan gudang beras itu jelas mempengaruhi opini sebagian publik atas upaya yang tengah dilakukan pemerintah. Narasi yang menimbulkan kegaduhan. Mencoba mengatasi masalah dan menimbulkan masalah baru.
Sayang, padahal belum lama kita bertepuk-tangan atas keberhasilan stabilisasi harga pangan jelang Lebaran. – Rappler.com***
*)Uni Lubis, alumni Jurusan Sosial Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Wartawan senior.
http://www.rappler.com/indonesia/opini/176853-15-poin-keterangan-mentan-soal-beras
0 komentar:
Post a Comment