Al Aqsa Telah Ditinggalkan Mereka yang Mengaku Pemimpin Dunia Islam
Sering dikatakan bahwa dalam kesulitan sering menunjukkan karakter manusia sesungguhnya. Hanya saja, insiden di Masjid Al Aqsa gagal membangkitkan kekuatan moral para pemuka agama di Mesir dan Arab Saudi. Ketidakpedulian mereka atas nasib tempat suci ketiga umat Islam sama sekali merendahkan derajat lembaga dan para ulama di seluruh dunia.
Pada saat Organisasi Konferensi Islam, Arab Liga dan Dewan Kerjasama Teluk diam atas blokade Qatar, pada saat bersamaan, lembaga agama di Mekkah, Madinah dan Kairo tidak kedengaran sikap mereka atas situasi yang menburuk di Masjid Suci Al Aqsa yang diduduki Israel.
Secara kesejarahan, institusi ini telah bekerja seirama dengan para pemimpin politik mereka. Jarang mereka berbicara tanpa persetujuan para tuan mereka, yang secara bersamaan juga tidak akan bertindak tanpa persetujuan tuan sesungguhnya, AS. Dukungan Washington dalam pandangan mereka tidak hanya untuk keamanan mereka, namun juga keberlangsungan hidup mereka.
Namun, ini hanya merupakan setengah penjelasan atas bungkamnya mereka terhadap insiden di Yerusalem. Sebagian penjelasan lainnya ada dalam fakta bahwa mereka sekarang sedang menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel. Keyakinan dan alasan mereka adalah bahwa dengan menjalin hubungan baik dengan Israel merupakan garansi terbaik untuk mendapatkan dukungan AS bagi kekuasaannya.
Seperti orang-orang Amerika katakan,” Tidak ada namanya makan siang gratis,” maka segala sesuatunya harus ada harganya, dan persyaratan yang ditetapkan AS tidak akan berakhir.
Arab Saudi telah dilihat Barat sebagai eksportir utama dan sponsor Salafisme diseluruh dunia. Benar, bahwa pemerintah di Riyadh sekarang sedang berupaya keras untuk menghindarkan diri dari pemberlakuan UU AS yang mewajibkan mereka membayar kompensasi kepada korban 9/11.
Atas alasan ini, KTT Negara-Negara Muslim di Riyadh Mei lalu memberikan Arab Saudi kesempatan akhir untuk menetapkan arah baru perjalanan mereka. Donald Trump yang memilih AS sebagai negara pertama dalam kunjungan luar negerinya menekankan pentingnya keterlibatan dirinya dalam politik Saudi. Hasilnya, 2 negara tadi kemudian menandatangani deklarasi bersama pembentukan komisi khusus dalam mengordinasikan perang melawan ekstrimisme.
Mereka hendak membentuk Pusat Global Perang Melawan Ideologi Ekstrimis. Salah satu misinya adalah melakukan revisi bagaimana Islam diajarkan dan disebarkan. Buku-buku agama baru akan ditulis bekerjasama dengan AS, dan mereka yang terlibat akan dikumpulkan untuk kepentingan tersebut.
Meskipun tidak secara resmi diwakili dalam KTT, Israel muncul sebagai pengambil manfaat terbesarnya KTT tersebut. Israel cukup puas dengan pidato Presiden AS dalam KTT tersebut yang menyamakan Hamas dengan organisasi teroris seperti ISIS dan Al Qaeda. Semuanya bukan suatu kebetulan muncul dari mulut Donald Trump. Jelas, tujuannya adalah dalam rangka mendelegitimasi gerakan perlawanan Palestina yang sedang menghadapi kebrutalan penjajahan militer Israel.
Masuk dalam kereta perang melawan terorisme AS, maka para pemimpin Arab Saudi dan Mesir berupaya keras menutup semua lubang dan inisiatif perlawanan terhadap Israel. Baik itu melalui penutupan perbatasan, penahanan aktivis atau penutupan laman berita mereka, maka maksuda dan tujuannya sama. Mereka sedang menciptakan kondisi yang positif bagi Israel untuk mengejar ambisinya, yakni Yahudisasi Yerusalem dan Masjid Al Aqsa dengan penentangan yang minimum.
Dengan mengadopsi pandangan AS bahwa perlawanan terhadap penjajahan adalah “terorisme”, sekalipun mengabaikan fakta bahwa hukum dan konvensi internasional – maka tindakan politik Saudi dan Mesir bukanlah suatu kejutan. Bagaimana jika kemudian Amerika pada akhirnya menuntut Saudi dan Mesir untuk memutus segala keterkaitan Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Haram di Yerusalem?
Pada era 1980-an, negara-negara tersebut didesak Washington untuk memoblisasi pemuda Muslim untuk menghadapi penduduk Soviet di Afghanistan, dan kita tahu apa yang terjadi, setidaknya kemudian muncullah Al Qaeda. Apakah mereka juga sedang menanti ijin AS untuk memoblisasi kembali pada pemudanya kali untuk melawan saudara Muslimnya sendiri? Semoga ini tidak pernah terjadi.
Dunia Muslim sedang menanti dengan sedih para pemimpin baik agama dan politik yang berani berbicara lantang kepada Israel dan mengungkap praktik bobrok kolonialisme mereka. Muslim sekarang sedang membutuhkan pemimpin yang mampu memahami cara bermain politik yang tidak ambigu dan ikut-ikutan seperti yang diinginkan Washington.
Lebih dari itu, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang memahami perbedaan prinsip negara nasional dengan aturan neo kolonial. Pemimpin yang dapat dipercaya karena kemampuannya. Seorang pemimpin yang memahami bahwa berteman dengan Israel dan menormalisasi hubungan dengan negara Zionis tersebut merefleksikan kepentingan konsolidasi penjajahan dan tetap berlangsungnya kezaliman.
Muslim membutuhkan pemimpin agama yang dapat menjadi kompas moral dan kesadaran jiwa bangsa mereka, meluruskan para pemimpin politik mereka saat menyeleweng dan kehilangan fokus karena mereka juga manusia. Lebih dari itu, mereka membutuhkan kepemimpinan yang bertindak atas isu strategis dan substantif ketimbang remeh temeh, seperti mengukur panjang pakaian bawah perempuan.
Tanpa pemimpin seperti itu, tidak diragukan lagi bahwa Yerusalem dan Masjid Al Aqsa akan tetap dalam penjajahan Israel. Kenyataannya, jika Israel tidak dihalangi maka masjid tersebut akan hancur digantikan dengan kuil. Sungguh bencana tidak terhindarkan lagi, jika lembaga-lembaga politik dan agama yang mengklaim sebagai pemimpin dunia Islam terlilit dalam kebinasaan dan perilaku menyimpang. Al Aqsa telah ditinggalkkan oleh para pemimpin seperti itu sekarang. Maka, sungguh memalukan.
*MiddleEastMonitor
0 komentar:
Post a Comment