Nasib Ikhwanul Muslimin Di bawah Pemerintahan Donald Trump
*Yvonne Redley
Berita dunia kali ini adalah AS memiliki presiden baru Donald Trump. Keterpilihannya menciptakan lanskap baru berita yang menggabungkan antara dunia fantasi dan realitas sehingga sulit memisahkan antara berita yang benar dan bohong.
Zona ambigu dimana tipuan terburuknya telah digunakan. Trump menyalahkan badan intelejen AS karena terpengaruh tentang catatan Rusia dari mantan mata-mata Inggris yang terang-terangnya menuduh Trump.
Meskipun dia menolak catatan tersebut dan menyebutnya sebagai berita palsu, namun Trump dan pemerintahannya sendiri bersikap selektif terhadap berita palsu yang pantas dipercaya atau sebaliknya layak dikecamnya. Pemerintahan baru Washington telah membangun dan mempercayai berita bohong tentang Ikhwanul Muslimin, misalnya. Apa yang dapat kita simpulkan ketika kita mendengar bahwa salah satu hal yang dia siapkan di Gedung Putih adalah melarang Ikhwanul Muslimin di AS karena dianggapnya sebagai “organisasi teroris“?
UU Penetapan Ikhwanul Muslimin sebagai Organisasi Teroris 2015-2016 telah dirancang oleh senator Republikan Ted Cruz yang menyebut Ikhwanul Muslimin dan 3 cabangnya, termasuk CAIR (Council on American-Islamic Relation) dan Islamic Society of North America (ISNA) sebagai kelompok teroris.
Setiap orang dengan pemahaman yang rata-rata tentang dunia Muslim pasti tahu bahwa ini sangat tidak masuk akal. Namun, ada upaya terstruktur untuk menyamakan Ikhwanul Muslimin dengan Taliban, Al Qaida dan bahkan Daesh. Mereka yang dapat membedakan pelbagai ideologi ini akan tahu perbedaan Ikhwanul Muslimin dengan Kandahar dan Raqqa. Keduanya menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok sesat sehingga dimusuhi oleh mereka.
Tidak ada keraguan sepanjang menyangkut kepentingan lobby pro Israel, bahwa cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina, Hamas dianggap sebagai benih setan. Ini hendaknya dilihat dari konteknya karena pada dasarnya para pelobi Zionis akan memusuhi siapapun yang memberi dukungan aktif kepada perjuangan rakyat Palestina, mulai dari keluarga yang memboikot produk Israel di supermarket hingga para aktivis perdamaian di garis depan yang menentang peluru dan gas air mata Israel untuk melindungi pohob-pohon zaitu yang dirobohkan Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Ketika orang-orang baik di Palestina melakukan pemilu dan kemudian memutuskan mendukung Hamas pada 2006, kemenangan gerakan ini membuat marah AS. AS bersama Israel mencoba mendanai percobaan kudeta oleh faksi dalam tubuh Fatah, namun gagal. Akibatnya, Israel melakukan pengepungan atas Gaza dengan persetujuan penuh dari Washington. Respon AS terhadap kemenangan Hamas dianggap sebagai peringatan bagi siapapun di kawasan ini, yang pada ujungnya memberikan energi kekuasaan kepada para diktator, disaat dunia Arab dan Palestina menghendaki kebebasan dan demokrasi.
Hal serupa akan tetap dapat terlihat pada diri Trump jika dia menganggap palsu pelbagai catatan dan briefing tentang Ikhwanul Muslimin atau sebaliknya dia akan berkolusi dengan para penguasa diktator dan tiran Arab yang memiliki agendanya sendiri demikian pula hubungan jangka panjang mereka kebenaran sesuai dengan kehendak media.
Bulan lalu, Ikhwanul Muslimin melakukan langkah yang tidak biasa dengan mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam berita-berita bohong yang diciptakan untuk mendemonisasi gerakan ini. Pernyataan ini keluar setelah beberapa media menciptakan berita yang mengatakan bahwa sisa-sisa kekuatan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah mengumumkan “militerisasi gerakannya untuk melawan kudeta militer dan telah memutuskan untuk mengambil jalan kekerasan.”
“Markas Pusat Ikhwanul Muslimin”, jelas kelompok ini, “Dan semua departemen yang berafiliasi dengannya akan kembali menegaskan posisi kelompok ini seperti yang diumumkan pada Februari 2014 dan yang diputuskan oleh Majelis Syura yang terpilih pada pertengahan Desember tahun lalu yang berpegang teguh kepada jalan revolusi untuk menggagalkan kudeta tidak berarti melakukan langkah militerisasi revolusi atau menuju kearah kekerasan.”
Ini semata berarti bahwa Ikhwanul Muslimin “berupaya memiliki semua sarana yang dibutuhkan untuk mencapai kemenangan, dengan definisinya yang menyeluruh berdasarkan perlawanan sipil yang didukung oleh semua masyarakat dunia dan oleh semua resolusi internasional yang diakui untuk menyingkirkan kediktatoran militer dan memenangkan kembali kebebasan dan kehormatan. Ini adalah jalan yang dapat ditempuh oleh bangsa-bangsa yang bebas dalam upayanya melindungi kepentingan mereka dan mengalahkan terorisme sesungguhnya yang dibesarkan oleh despotisme rejim represif.”
Komitmen Ikhwanul Muslimin untuk melakukan perubahan di kawasan yang bergejolak di Timur Tengah ini melalui aksi-aksi damai seharusnya dihormati dan disambut oleh semua orang yang berakal, termasuk mereka yang di Washington. Namun pernyataan tersebut tampaknya tidak diperdulikan oleh para penasehat Trump. Orang harus memberitahu kepada presiden baru AS ini bahwa orang-orang terdekatnya telah berbohong kepadanya tentang ancaman yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, baik di AS maupun di luar negeri.
Ketika kediktatoran dan negara-negara jahat tidak mendorong kebebasan berbicara, seperti di Suriah, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Rusia telah melarang Ikhwanul Muslimin, maka jelas bahwa ini menunjukkan bahwa gerakan ini berdiri diatas nilai-nilai yang dibenci oleh rejim-rejim tersebut, namun sebaliknya disambut baik oleh AS dan beberapa negara barat lainnya.
Setelah Ikhwanul Muslimin menang di Mesir dan Muhammad Mursi menjadi presiden pertama yang terpilih secara demokratis maka kemenangan tersebut menimbulkan guncangan di seluruh kawasan. Jika kebebasan dan demokrasi datang ke Mesir, maka dipercaya hal itu juga akan terjadi di manapun juga, maka wajar jika para pemimpin regional yang tidak dipilih oleh rakyatnya akan melakukan apapun juga, menggelontorkan milyaran dollar uang mereka untuk mendestabilisasi Arab Spring dan merusak pemerintah Mursi yang baru bangkit di Kairo.
Hasilnya, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis kini meringkuk dalam penjara di Kairo karena dihukum mati. Lebih dari tiga setengah tahun, dia mendekam dalam penjara bersama dengan ribuan tahanan lainnya sejak Ikhwanul Muslimin dilarang. Ekonomi Mesir kini dalam kehancuran dan pemerintah hasil kudeta Abdel Fattah al Sisi hanya mengandalkan bantuan asing.
UU Ted Cruz yang memerintahkan Departemen Luar Negeri AS menyatakan Ikhwanul Muslimin sebagai “organisasi teroris asing” akan menjadi hukum beberapa bulan kedepan setelah Presiden AS Barack Obama bertemu dengan beberapa anggota senior gerakan tersebut di Washington. Sebuah pers rilis dari senator Texas mengklaim bahwa Ikhwanul Muslimin “menyebarkan ideologi Islamis yang pro kekerasan dengan misi menghancurkan Barat” jelas bertentangan dengan pernyataan organisasi ini sendiri.
Jika Trump membenci berita palsu, dia juga harus melakukan apa yang dia katakan. Jika dia akan melarang segala sesuatunya, maka pernyataan Ted Cruz ini jelas merupakan penyebaran informasi palsu. Penyebaran informasi yang salah tentang Ikhwanul Muslimin pada satu sisi telah dieksploitasi oleh para diktator untuk kepentingan menangkapi rakyatnya sendiri, sekalipun mengorbankan kebebasan dan bahkan nyawa. Resiko atas isu ini jelas besar dan berita palsu dapat menjadi hal yang fatal. Saatnya kini mengakhiri kejahatan tersebut. Trump seharusnya melarang mereka sekarang dan mengabaikan para penyebar ketakutan terhadap Ikhwanul Muslimin seperti yang dilakukan Ted Cruz dan teman-temannya.
0 komentar:
Post a Comment