MENGENAL SOSOK PENGGAGAS LONG MARCH CIAMIS PADA AKSI 212
KH Nonop Hanafi (42 tahun), tak pernah menyangka seruannya kepada para santri membakar semangat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya Ciamis, Jawa Barat. Peran Kiai Nonop tak bisa terpisahkan dari cerita semangat berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta pada Aksi Bela Alquran Jilid III, atau yang dikenal dengan aksi 212.
Apa yang digagasnya kini membawa kisah tersendiri. Aksi jalan kaki tersebut dianggap sebagai salah satu pemicu meledaknya jumlah peserta aksi yang digelar pada 2 Desember lalu. Setelah aksi jalan kaki para santri itu, Muslim di wilayah lain pun mengikuti jalan kaki untuk mencapai Jakarta.
Tak kenal kasta usia, jabatan dan status, aksi jalan kaki yang mulanya hanya seribuan orang mampu mendongkrak peserta aksi bela Islam di Jakarta hingga mencapai sekitar tujuh juta orang. Republika berkesempatan menemuinya di kediamannya di kompleks Ponpes Miftahul Huda 2, Bayasari, Kabupaten Ciamis.
Saat ditemui, KH Nonop terkesan berbeda dengan kiai Ponpes lainnya. Ia hanya berpakaian santai dengan sarung, baju koko dan kopiah. Tak ada yang mengira bahwa dialah motor penggerak aksi jalan kaki Ciamis yang menghebohkan Indonesia.
Keberanian Kiai Nonop menginisasi aksi jalan kaki dilandasi berbagai faktor. Salah satunya, diakuinya, karena tak ada operator bus yang bersedia mengantarkan santrinya menunaikan 'jihad' di Jakarta menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipenjarakan usai berstatus tersangka. Meskipun, ia mengakui aksi jalan kaki ternyata tak sesederhana itu alasannya.
Secara garis besar, ia memandang aksi 212 sebagai upaya membangkitkan Islam di Indonesia yang sebenarnya mayoritas berpenduduk Muslim. Sebab menurutnya, Islam kini asing dari pemeluknya dengan adanya citra negatif terhadap Islam itu sendiri.
"Islam padahal mayoritas di Indonesia tapi laksana buih, segala sesuatu tentang Islam itu disudutkan. Jadi sebenarnya perlu sesuatu sebagai pemicu bagi kebangkitan Islam di Indonesia," katanya, Rabu (7/12).
Dia juga menilai telah terjadi kriminalisasi dan pemberian stigma negatif terhadap Islam. Sebab, kasus teror selalu dicitrakan sebagai tindakan ekstremis Muslim. "Terjadi kriminalisasi simbol dan ajaran Islam. Misalnya tiap ledakan selalu dikaitkan dengan Islam dan unsurnya seperti celana comprang, kaum berjenggot dan berbaju koko serta teriakan Allahuakbar. Padahal saat ada ledakan yang dilakukan non-Muslim kok itu tidak di blow up?" ujarnya.
Ditekan sejumlah pihak
Saat menginisasi aksi jalan kaki Ciamis, lanjutnya, ia merasakan tekanan dari berbagai pihak. Pertama, aksi yang hendak dilakukannya dianggap gerakan 'makar'. Bahkan Kapolri pun sempat mengunjungi Kota Tasik mengundang pemuka agama di wilayah Priangan Timur untuk meredam suasana lewat acara doa bersama.
Kedua, tegasnya, adanya pembingkaian negatif dari media, seolah mencitrakan negatif tentang aksi tersebut. "Landasan aksi jalan kaki itu karena umat tertekan lewat teror psikologis baik lewat media sekuler atau media sosial. Sehingga kami pun gagas solusinya untuk mematahkan citra negatif," ucapnya.
Kiai Nonop tak butuh banyak waktu untuk mulai menggagas hingga merealisasikan aksi jalan kaki Ciamis. Ide itu terlontar dalam rapat pada malam Ahad (27/11). Selajutnya ia pun menghubungi pesantren lainnya di lingkungan Ciamis dan Kabupaten Tasik guna menanyakan keikutsertaan mereka.
Hasilnya, kata dia, cukup mengagetkan. Ini karena banyak yang meragukan rencananya. Bahkan tak sedikit yang mencerca idenya sebagai suatu khayalan saja. "Sempat diragukan karena aksinya spontan cuma dua hari persiapan. Ada Ponpes dan kiai yang kaget bahkan aksi ini dianggap khalayan saja," kenangnya.
Akibat spontanitas aksi tersebut, ia mengakui belum sempat meminta restu kiai-kiai di lingkungan Ciamis. Namun ternyata di luar dugaan, ketika sudah dijalankan aksi ini justru memperoleh apresiasi para kiai karena sanggup menunjukkan kebesaran Islam. Tercatat Ponpes Manhajul Ulumm, Sabilunnajat, Miftahul Huda Usmaniyah, Banyulana, Alhasan, Aljohar dan Nurul Huda yang ikut menyumbangkan santrinya.
KH Nonop Hanafi (42 tahun), tak pernah menyangka seruannya kepada para santri membakar semangat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya Ciamis, Jawa Barat. Peran Kiai Nonop tak bisa terpisahkan dari cerita semangat berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta pada Aksi Bela Alquran Jilid III, atau yang dikenal dengan aksi 212.
Ditemui di komplek Ponpes Miftahul Huda 2, Bayasari, Kabupaten Ciamis, KH Nonop menceritakan kembali ihwal seputar long march tersebut. Mengenai pemilihan peserta aksi jalan kaki adalah para santri, hal itu tak terlepas dari ingin menunjukkan kekuatan Islam. Ia mengajak seribuan santrinya yang masih berusia muda agar bisa menginspirasi wilayah lain.
Selain itu, ia menolak mengajak ormas atau kelompok lain di luar lingkungan Ponpes karena khawatir akan menyulitkan di perjalanan. Ia meyakini santri sudah mempunyai modal baik fisik dan mental untuk ikut aksi jalan kaki.
Meski begitu, ia menyebut adanya tudingan bahwa Ponpes justru menggunakan santri sebagai alat aksi. Mengenai hal tersebut, menurutnya santri bergerak juga atas keinginannya sendiri membela Islam. Para santri pun dianjurkan membicarakan keinginannya ikut aksi jalan kaki pada orang tua sebelum waktu keberangkatan.
"Tentunya beban bawa orang, karena kami harus tanggung jawab. Jadi bawa santri saja daripada ajak kelompok lain bisa jadi beban, kami yakin santri siap tempur," tegasnya.
Di sisi lain, ia sempat mempunyai keraguan apakah aksi jalan kaki ini akan mampu sampai ke Jakarta tepat pada waktunya sebelum 2 Desember. Tetapi saat itu ia merasa jika tak mampu sampai di Jakarta tepat waktu, maka pesan dan makna dari aksi jalan kaki sudah sampai yaitu menginspirasi wilayah lain untuk ikut bergerak.
Sebab ia mengaku miris dengan terjadinya kebekuan gerakan di Indonesia pascatumbangnya Presiden Soeharto pada 1998. Ia mengatakan pihak oposisi selalu mengalami tekanan hingga 'dihabisi'. Adapun kelompok mahasiswa yang menjadi motor gerakan 98 pun dibungkam.
"Hari ini tidak kentara aksi kampus, mereka sudah enjoy dikasih kursi empuk atau nonton acara di televisi. Jadi kami harap aksi jalan kaki ini solusi masalah apatisme," ucapnya.
Diketahui, aksi jalan kaki Ciamis dimulai pada Senin, (28/12) pagi dengan doa bagi keberhasilan perjalanan di Masjid Agung Ciamis. Usai doa, sekitar dua ribu santriwan dan santriwati menggelar aksi jalan kaki dengan kedatangannya sore hari di perbatasan Kota Tasik-Ciamis, Rajapolah.
Keesokan harinya, santriwati dikirim pulang untuk mengistirahatkan fisik karena akan diberangkatkan kembali menggunakan kendaraan pribadi Ponpes pada Kamis, (1/2). Sedangkan santriwan melanjutkan jalan kaki dengan peserta tersisa sekitar 300 orang.
Jumlah peserta aksi terus mengalami pertambahan seiring makin banyaknya lokasi yang mereka lewati. Dari hanya 300 orang pada Senin, lalu Selasa malam tiba di Nagrek jumlahnya sudah hampir tiga ribu orang. Ketika Selasa pagi bergerak menuju Bandung jumlah kembali meningkat hingga hampir lima ribu orang.
Aksi terus dilanjutkan hingga akhirnya para koordinator aksi sepakat melanjutkan perjalanan menggunakan bus di Padalarang. Mereka bukan menyerah tak ingin jalan kaki ke Jakarta, melainkan waktunya tak mencukupi jika memaksakan jalan kaki.
Ternyata efek domino atas aksi jalan kaki ini sungguh di luar bayangan. Massa dari berbagai daerah, khususnya Jabodetabek ikut berduyun-duyun jalan kaki menuju pusat aksi 2 Desember di Monas. Kini aksi jalan kaki Ciamis dapat dianggap sebagai salah satu fenomena meledaknya jumlah peserta aksi 2 Desember.
Terlepas dari berbagai stigma negatif yang mendera aksi jalan kaki Ciamis dari sebelum dimulai berjalan hingga aksi jalan kaki berakhir, hal itu sudah menjadi bagian sejarah Indonesia.
"Tak dapat dimungkiri, aksi jalan kaki ini jadi inspirasi yang diikuti daerah lain. Saya yakin yang tadinya ragu-ragu untuk ikut atau bahkan yang tidak ingin ikut malah berubah hatinya, mereka akhirnya memilih bergerak bersama kami menunjukan semangat jihad," tutup kiai Nonop.
Oleh: Rizky Suryarandika, Wartawan Republika
0 komentar:
Post a Comment