AKSI 212 DAN 5 FENOMENA LAHIRNYA GENERASI BARU ISLAM INDONESIA
Bangsa Indonesia khususnya umat Islam mencatat sejarah baru pada Jum’at 12 Desember 2016. Untuk pertama kalinya, umat Islam melaksanakan shalat Jum’at terbesar yang dilaksanakan di Tugu Monumen Nasional (Monas) dengan shaf yang tertib.
Hari itu, umat Islam dari segala penjuru daerah berbondong-bondong datang ke jantung Ibu Kota untuk satu tujuan; membela al-Qur’an. Menurut rilis resmi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), forum yang menyelenggarakan acara ini, jumlah umat yang hadir di Monas berkisar 6 – 7 juta orang.
Dengan jumlah massa sebesar itu, logikanya sangat sulit mengatur barisan, ketertiban, kendaraan, kebutuhan makanan, kebutuhan buang air dan lain-lain.
Tetapi, Aksi 212 memang ajaib. Jutaan jamaah patuh pada komando Habib Rizieq Shihab (HRS) dan KH Bachtiar Nasir atau akrab disapa Ustad Bachtiar Nasir (UBN). Tentu jutaan orang itu bukan jamaah pengajian Habib Rizieq dan Kiai Bachtiar.
Banyak sekali diantara mereka bahkan belum pernah berjumpa dengan keduanya. Namun, dalam aksi ini semua patuh dan tunduk. Bahkan menurut Kapolri Jendral Tito Karnavian, jam 4.30 sore lalu lintas Jakarta beranjak normal. Padahal jamaah bubar dari Monas jam 2 siang.
Tujuh juta manusia bubar secara tertib, bersih tidak menyisakan sampah hanya dalam waktu 2,5 jam. Itu termasuk ribuan kendaraan mereka. Sebaliknya, jutaan orang menyemai kebaikan, saling menebar senyum, membantu sesama, saling berlomba-lomba beramal shalih dan memberikan bagian terbaik pada Islam.
Sebuah fenomena yang menakjubkan. Tetapi yang lebih membahagiakan lagi, jamaah Aksi 212 sangat patuh pada ulama yang memimpin. Energi 212 melahirkan kepemimpinan baru ulama-muda yang lebih disegani umat dibanding ulama-ulama organisasi massa Islam mainstream.
Siapa sangka, Habib Rizieq yang banyak mendapat stigma negatif media massa dan Barat, kini justru lebih diterima (mungkin lebih dicintai) jutaan umat Islam ini?
Banyak yang kagum, ternyata Habib Rizieq sosok leader yang tangguh, orator yang baik dan sosok yang cerdik. Tokoh yang selalu disematkan kekerasan sebaliknya menunjukkan aksi kedamaian dan simpatik. Jika media mau jujur, Habib Rizieq adalah Man of The Year. Tapi tidak perlu berharap, sebab fenomena ini tidak akan mampu dibaca pada orang-orang yang landasaannya hanya berdasarkan kalkulasi politik dan HAM ala Barat.
Menariknya lagi, follower dua tokoh tadi (HRS dan UBN) saat ini melintasi ormas-ormas Islam yang ada. Dengan kata lain, mereka semua adalah anggota ormas-ormas Islam yang dianggap mapan.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Setidaknya ada empat (4) alasan mengapa fenomena menarik dari Aksi 212 ini terjadi.
Pertama, Aksi 411 dan 212 menunjukkan kualitas ukhuwah umat Islam
Inilah sebuah persaudaraan yang bukan abu-abu, atau berpura-pura. Tetapi persaudaraan yang murni. Bagaimana kita banyak saksikan jutaan orang saling berebut beramal sholih di Monas. Inilah rahmat lil alamin yang sesungguhnya. Bahkan non-Muslim pun yang turut simpati ikut hadir merasakan aura itu. Sekelompok non-Muslim yang datang ke Monas mengaku nyaman dan aman.
Inilah Islam. Jika Islam ditegakkan, jangankan manusia, hewan dan tanaman-pun akan mendapatkan rahmatnya. Lihatlah, bagaimana jamaah 212 di mana-mana saling mengingatkan, “Jangan injak rumput, jangan injak taman, jaga kebersihan!” Aroma rahmatan lil alamin sangat terasa di sini. Bukan rahmatan lil alamin yang sering jadi slogan tokoh ormas yang dipromosikan media mainstream untuk menyerang umat Islam lainnya yang tidak berpihak pada ideologinya.
Sebab orang liberal juga sering teriak rahmatan lil alamin namun justru aksinya menyakiti umat Islam lainnya.
Saya yakin, mereka yang hadir di Monas telah dipilih oleh Allah untuk menjadi bagian mujahid al-Qur’an. Jamaah 212 semua mendapat percikan rahmat Allah. Sehingga mereka rela meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan istri dan anaknya, menghabiskan uang tabungan dan gajinya, berpayah-payah dengan satu tujuan: “Membela agama Allah!”
Fenomena ini sekaligus menjadi bukti bahwa gelar ulama, ketua ormas Islam, dai, profesor bahkan intelektual belum tentu menarik perhatian Allah Subhanahu Wata’a. Orang bijak mengatakan, wisdom (kearifan) itu tidak datang dari tingginya jabatan atau gelar. Faktanya, tukang kue dan roti bisa lebih wise daripada “Professor Nganu”. Ukuran simple, siapa saja yang mendapat rahmat-Nya pasti menjadi wise.
Inilah kulaitas yang sebenarnya umat Islam Indonesia. Kualitas hati yang merupakan cerminan iman.
Pada faktanya, banyak orang cerdik pandai, dipanggil Ustadz, Kiai, Buya, Ajengan, Gus dll. Bahkan orang berjuluk ulama yang duduk di ormas-ormas Islam besar yang berpengaruh juga tak mampu membaca hati dan pikiran umat Islam. Mereka gagal melihat masalah yang dihadapi umat. Meminjam istilah UBN, mereka telah ‘gagal paham’ membaca peta gerakan baru Islam di Indonesia.
Sebaliknya, mereka justru berada di barisan pertama pembela kebatilan dan menggembosi umat Islam yang ingin memuliakan agamanya. Termasuk “Profesor Nganu” yang hanya berteriak-teriak di jejaring sosial menggembosi umat Islam lainnya.
Saya adalah warga Nahdhatul Ulama (NU) yang mengaku sangat salut terhadap saudara-saudara Muslim yang berlatar belakang orang biasa, tetapi kepeduliannya pada agama luar biasa. Mereka menggerakkan badan tanpa ada kepentingan apa-apa. Murni dari hati nurani yang terpanggil.
Mereka tidak banyak bicara, karena tidak memiliki ‘panggung’. Bukan orang berpengaruh, karena memang tidak punya pengaruh. Mereka hanya hamba Allah yang biasa. Ibadah untuk Allah. Berjuang juga untuk Allah dan untuk menyenangkan hati Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Bukan untuk menyenangkan penguasa atau pimpinan.
Bukankah wali-wali Allah itu banyak yang mastur. Dianggap orang banyak biasa-biasa saja, tetapi hakikatnya luar biasa di sisi Allah?
Kedua, Aksi 411 dan 212 menunjukkan bukti, sifat Islam itu bergerak
Fenomena Aksi 212 ini bisa dilihat dari dampak getaran Surat al-Maidah. Sebab umat Islam itu ibarat sumber api yang tertutup semak dan jerami. Dari luar nampak apinya sudah padam, tetapi sesungguhnya ia masih tetap menyala. Api itu akan siap menyambar apa saja, selama ada pemicunya. Selama sumber itu masih ada, sewaktu-waktu akan membakar sekitarnya.
Saya mencoba membuat ilustrasi. Andai di semua lini, umat Islam tak diberi peran, semua informasi disumbat, seluruh jaringan stasiun TV ini tidak memberi ruang pada Islam. Semua menteri, gubernur, bupati sampai camatnya bukan Muslim. Hatta, jika Islam di negeri ini hanya tinggal nama di KTP saja. Jangan lupa, dari 270 juta penduduk Islam ini mayoritasnya Muslim. Keislaman mereka suatu hari tetap akan “menyala” pada saat dan tempat yang tepat.
Lihatlah Bosnia, lihatlah masyarakat Muslim di Timur Tengah. Ketika gerakan dan aspirasinya ditekan-tekan, suatu hari pada waktunya, mereka akan bangkit.
Sama halnya di Indonesia. Kurang bagus bagaimana kerja-kerja media massa, LSM, pasukan-pasukan cyber bayaran. Mereka mereka mengelola dan merebut informasi. Ketika ada momen Islam dan Al-Qurn dinista, orang yang awalnya diam lalu berbalik. Dari tukang ojeg, tukang roti, sampai orang-orang bertato semua datang ke Monas agar penista agama dipenjara.
Ketiga, Aksi 411 dan 212 menunjukkan fakta, umat Islam lebih percaya ulama yang tulus
Dua kali Aksi Bela Islam (II dan III) semakin menunjukkan banyak umat lebih menyandarkan pilihannya pada ulama, habaib dan para dai yang tulus, yang tidak pernah memiliki konsesi politik. Tidak memilih pada ulama dan tokoh yang mudah melakukan bargaining (tawar-menawar) dengan kekuasaan dan uang.
Harap diingat, tokoh yang cenderungan menjual Islam dan kelompoknya untuk kepentingan sesaat (politik dan kekusaaan) saat ini semakin dijauhi umatnya sendiri. Akibatnya, mereka memilih tokoh-tokoh lain yang lebih tulus. Khususnya lebih berani menyuarakan kebenaran (al-Haq) dan menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Empat, Jamaah Medsos sebagai sumber informasi
Fenomena Aksi 411 dan 212, juga menemukan fakta, umat Islam yang lelah didzalimi media massa (baik Koran dan Televisi) akhirnya lebih memilih sumber informasi lansung melalui jejaring sosial. Facebook, Twitter dan WhatsApp menjadi rujukan utama dan tercepat mencari dan menemukan informasi.
Fenomena ini harus menjadi pelajaran pengelola Negara dan pengelola media massa (khususnya Televisi). Dalam dua kali aksi (Aksi Damai Bela Islam II & III) beberapa stasiun TV ditolak massa umat Islam. Seharusnya cara berfikir kita mudah. Mengapa ditolak? Pasti ada sesuatu. Organisasi-organisasi pers, harus lebih jujur melihat kekurangan diri sendiri, bukan teriak-teriak mencari pembelaan atau alibi.
Banyak informasi dibelokkan, dicurangi. Alhamdulillah, umat Islam masih kreatif. Mereka menemukan tempat ngaji dan informasi di grup-grup WhatsApp, Facebook. Jamaah facbookiyyah inilah juga juga masuk ‘generasi baru Islam’ Indonesia. Mereka menggerakkan wacana, opini dan ‘perang informasi’ karena suara hati mereka tidak diwakili media mainstream dan televisi di Indonesia yang mayoritas hanya dikuasai pemilik modal.
Mari berkaca pada Aksi Jalan Ciamis-Jakarta. Darimana mereka berinisiatif ini? Jika aparat tidak melakukan intimidasi, tekanan dan media selalu jujur menyampaikan fakta, pasti tidak aka nada gerakan ini. Aparat dan pengelola media harus menyadari ini.
Lima, fenomena hirnya generasi baru Islam di Indonesia
Aksi 411 dan 212 menunjukkan fenomena baru yang tidak pernah dibayangkan oleh teori akademis apapun di Indonesia (mungkin juga) di dunia.
Lahirnya gerakan baru intelektual Muslim yang rela melepaskan sekat-sekat organisasi. Mereka rela meninggalkan isu-isu furu’ (cabang) karena cintanya pada al-Quran dan Islam. Mereka tidak malu dan tidak takut celaan orang yang mencela.
Fenomena ini menjungkir-balikkan teori lama yang selama ini dianggap seolah benar bahwa suara umat Islam diwakili oleh beberapa tokoh atau ormas saja. Di luar ormas, sangat banyak sekali umat yang tidak terikat apapun.
Aksi 411 dan 212, melahirkan gerakan baru Islam Indonesia akibat getaran Surat Al-Maidah. Setelah sekian lama umat dizalimi, ulama-nya dibully, agamanya dicela-cela, informasinya dikaburkan media massa, tetapi atas kekuasaan Allah, kelompok yang kecil – yang sangat tidak popular bahkan telah lama disematkan cap-cap negatif– justru yang ditunjukkan oleh Allah mampu menghimpun jutaan orang dengan cara sangat terpuji.
Siapa sangka Habib Rizieq yang paling banyak dibully media mainstrem, kini disaksikan oleh rakyat Indonesia sendiri mampu memimpin jutaan umat dalam satu komando. KH. Bahtiar Nasir, hanya dikenal sebagai pendakwah di TV. Tapi, kini, dai muda tersebut jadi tokoh di barisan depan mewakili umat Islam Indonesia.
Hanya sedikit diantara kita yang berani dicela ketika beramar ma’ruf nahi munkar. Yang banyak, kita lebih suka dipuji-puji dengan sebutan ‘moderat’. Fenomena ini pasti akaan terjadi sepanjaang zaman, bahkan juga disitir Al-Quran dalam Surat Al-Maidah. Akan datang generasi yang ‘tidak takut pada orang yang mencela’.
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” [QS: Surat Al-Maidah: 54].
Suka atau tidak, inilah faktanya. Selamat datang generasi baru Islam Indonesia!
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Penulis anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur
0 komentar:
Post a Comment