TAK ADA TEMPAT BERLINDUNG, “KEAJAIBAN” YANG SELAMATKAN WARGA GAZA
Khader hanya punya waktu semenit untuk lari dari rumahnya. Hari itu, Jumat 11 Juli 2014 sekitar pukul 07.00, pria 55 tahun tersebut sedang tidur di bawah tangga bersama 5 anaknya. Ia terbangun saat mendengar tetangganya berteriak, “Dr Khader, lari! Mereka akan membom rumahku.”
Di tengah kepanikan itu, Khader menyaksikan putranya, Mohammed yang berusia 7 tahun meremas celananya. Bocah cilik itu membeku, tak bisa bergerak.
Khader sedang mengevakuasi keluarganya dari rumah mereka yang berwarna kuning — yang baru ditinggali selama 2 tahun — saat rudal Israel yang pertama meledak.
“Kami berlarian ke sana ke mari, ke manapun bisa, menjauh dari rumah agar tak terluka atau tewas,” kata Khader dengan suara bergetar, seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (14/7/2014).
Keluarga besar itu lantas berdesakan di dalam mobil. Kendaraan yang membawa mereka menderu di jalanan, sebelum rudal kedua ditembakkan jet tempur F-16, menghantam rumah tetangga. Rumah Khader tak jadi target, kediaman tetangganya yang jadi sasaran.
“Anak-anakku trauma akibat pemboman itu. Apa salah mereka sehingga harus menanggung semua ini?,” kata Khader, seorang dosen linguistik di sebuah Universitas.
Anak-anak Khader — berusia 7-16 tahun — belum mau kembali untuk memantau kondisi rumah mereka. “Trauma sungguh berat, sampai-sampai mereka takut untuk pulang. Keajaiban lah yang membuat kami selamat.”
Saat kembali ke rumahnya, Khader menyaksikan segalanya hancur lebur. “Seperti baru kena tsunami,” kata dia.
Hanya rangka rumah yang masih berdiri, lainnya tak lagi berbentuk: furniture rusak parah, pecahan rudal memenuhi pantai, tak ada satupun pintu dan jendela yang utuh. Koleksi buku, foto, dan surat miliknya lenyap.
Khader tak bisa menyelamatkan satupun harta bendanya, kartu identitas sekalipun. Dalam kondisi shock, serangan rudal Israel kembali menyerang area tempat tinggalnya. Anak-anak tetangga berteriak dan berlari ketakutan, membawa apapun yang bisa mereka bawa.
Bagaimanapun, Khader dan keluarganya masih beruntung. Sebuah rumah di Rafah, selatan Gaza, digempur rudal Israel. Keluarga Ghannam tak menerima peringatan apapun. Lima orang tewas dalam tidurnya, 16 lainnya luka.
Setidaknya 172 orang Palestina tewas, 1.000 lainnya terluka dalam operasi militer “Protective Edge’ yang digelar Israel. Setidaknya 29 adalah anak-anak di bawah usia 16 tahun.
Sementara itu, data PBB menyebut, 70 rumah warga Palestina, sementara 2.500 lainnya rusak.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Rabu bahwa, “Hamas akan membayar harga mahal karena menembaki warga Israel dengan roket.” Meski, sejauh ini tak ada korban jiwa dari pihak Israel.
Di Twitter, tentara Israel membela diri, menuduh Hamas menyembunyikan roket dan senjata lainnya di “rumah, masjid, rumah sakit, sekolah”. Namun, PBB menegaskan, bahkan jika sebuah rumah sedang digunakan dalam operasi militer, jatuhnya korban warga sipil harus dicegah.
Jaber Wishah, Deputi Direktur Palestinian Human Rights Center (PCHR) di Jalur Gaza mengatakan, Israel sedang melaksanakan ‘hukuman penghancuran’ dengan sasaran rumah-rumah di Gaza. Padahal, “Rumah-rumah tersebut — bahkan jika mereka milik anggota Hamas atau Jihad Islam — harus dianggap sebagai obyek sipil.”
Wishah mengatakan ada 3 skrenario terjadi sebelum Israel mengebom bom sebuah rumah di Gaza. Pertama, tentara dapat melakukan serangan udara tanpa ada peringatan.
Kedua, ‘ketukan atap’. Berupa tembakan peringatan atau selongsong rudal yang mendarat di atap rumah — sebelum rudal sungguhan yang ditembakkan. Israel juga bisa menghubungi keluarga Palestina, meminta mereka mengungsi sebelum bom diledakkan.
“Setiap rumah di Gaza berada dalam lingkaran target,” kata Wishah. “Tidak ada tempat aman di Gaza sekarang. Setiap rumah bisa menjadi target, baik secara langsung maupun tidak langsung terkena dampaknya.” (mkh/knrp)
Sumber: liputan6.com
0 komentar:
Post a Comment