Kebiadaban Myanmar Terhadap Muslimah Rohingya
November 2016, tentara Myanmar melaksanakan operasi militer ke desa-desa berpenduduk Rohingya, di negara bagian Rakhine.
Sebuah helikopter menyerang desa Rahim, di Dar Gyi Zar, tanggal 12-13 November.
Serangan langsung menewaskan puluhan orang, menurut keterangan para tetua Rohingya.
Aksi ini menandai dimulainya serangan militer selama dua minggu terhadap sekitar 10 desa Rohingya.
Para tetua memperkirakan sekitar 600 orang tewas. Sebagai pembnding, laporan PBB di bulan Februari menyebut jumlah korban mencapai ratusan.
Sedikitnya 1.500 rumah hancur, berdasar citra satelit yang didapat oleh Human Rights Watch (HRW). Banyak wanita diperkosa, menurut saksi mata dan pekerja bantuan.
Negara mayoritas Buddha ini memiliki lebih dari satu juta Muslim Rohingya. Komunitas ini dikucilkan, dipaksa tinggal di kamp-kamp dengan alasan "keamanan". Tanpa akses kesehatan dan pendidikan.
Operasi terhangat tersebut menyebabkan sekira 75.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh, menurut data PBB.
Pemerintah Myanmar mengakui beberapa tentaranya "mungkin" telah melakukan kejahatan, namun bersikukuh menyangkal laporan "pembersihan etnis".
Mereka berjanji akan mengadili perwira yang terbukti bersalah.
Serangan Myanmar melibatkan sekitar 2.000 tentara. Fenomena ini membuat pemimpin negara, Aung San Suu Kyi berada dalam krisis besar.
Banyak pihak yang berharap pada Suu Kyi, sang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian.
Ia diharapkan dapat membawa era baru toleransi setelah lima dekade kekuasaan militer.
"Operasi pembersihan" di Rakhine beralasan sebagai respon atas serangan gerilyawan Rohingya ke pos-pos perbatasan, 9 Oktober 2016. Yang menewaskan 9 polisi.
Selama sebulan, tentara berusaha menekan penduduk desa agar "menyerahkan para pemberontak", tapi usaha itu tidak berhasil. Strategi berubah menjadi operasi militer "ganas".
Kekerasan brutal terjadi. Seorang gadis berusia 16 tahun yang diserang di desa Kyar Gaung Taung, menyatakan dua tentara memperkosanya.
Berbicara di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, ia mengaku masih merasa gelisah dan trauma setelah peristiwa keji dialaminya.
"Saya marah dengan diri saya sendiri karena menjadi seorang Rohingya", ujar remaja tersebut.
"Jika saya orang Bangladesh atau Amerika, saya tidak akan pernah diperkosa. Tapi mereka melakukannya pada saya karena saya terlahir sebagai Rohingya", keluhnya.
Dokter di Bangladesh mengaku sering merawat wanita korban perkosaan.
"Saya merawat seorang wanita. Dia diperkosa begitu parah sehingga mati rasa di tungkai bawahnya", ujar John Sarkar (40), seorang dokter Bangladesh yang bekerja bagi pengungsi Rohingya selama delapan tahun.
Shamshida, ibu enam anak berusia 30 tahun, juga berbagi kisahnya.
"Salah satu tentara menaruh parang di dada saya dan menggigit bagian punggung. Mereka mulai memilih beberapa wanita dari kumpulan di jalan. Saya terpilih, lalu dipaksa masuk ke dalam rumah. Saya berlutut, yang saya ingat adalah seorang tentara menendang kepala saya", ujar Shamshida.
Saat suami dan saudara perempuannya menemukan Shamsida beberapa jam kemudian, ia sudah telanjang, tidak sadarkan diri. Tubuhnya penuh luka memar, darah mengalir di mulut dan organ kewanitaannya.
Keluarga itu bergegas ke desa tetangga U Shey Kya dan menyerahkan Shamsamida pada dokter desa.
Setelah delapan hari, mereka kembali ke desanya, namun tidak ada orang yang tersisa di sana serta banyak rumah dibakar. (Reuters)
0 komentar:
Post a Comment