Inside Story: Kota Aleppo yang Terkepung
Pasukan Suriah, yang didukung milisi Syiah dan pesawat udara Rusia menggempur Aleppo. Sambil mengemasi tas punggungnya, Mahmoud mengatur rencana untuk menyelamatkan diri.
“Dalam beberapa hari, milisi Syiah akan menguasai jalan terakhir yang menghubungkan Aleppo dengan pinggiran kota, Castello,” katanya, “Saya harus bersiap-siap.”
Mahmoud Rashwani, seorang aktivis , 30 tahun, telah meninggalkan rumah dan keluarganya di Aleppo Barat pada 2012 setelah ditahan dan disiksa karena ikut demonstrasi damai anti Assad. Dia pindah ke bagian timur kota.
Sayuran dan buah-buahan sudah langka di kota, dia sempat mengambil beberapa butir tomat untuk dibagi dengan teman-temannya. Selanjutnya berangkat menyelinap di tengah malam, bersama dua orang dokter.
“Saya tidak tahan meninggalkan bayi saya sendiri bersama ibunya,” katanya.
Terbiasa Lapar
“Saya melihat tadi. Tapi saya tidak mendapatkannya. Pisang itu sudah habis diperebutkan kerika mobil bantuan masuk kota,” kata Mahmoud.
Sekitar 300-400 ribu orang tinggal di bagian timur Aleppo, hampir sebulan, Mahmoud tidak pernah mendapatkan sayuran maupun buah-buahan.
Selain tidak adanya makanan segar, penduduk di Kota Aleppo terbiasa tidak kehabisan gas, makanan kaleng, susu,telur, gandum dan makanan bayi selama sebulan ini.
Toko-toko roti sudah tidak berproduksi lagi. Perannya diganti pemerintah kota yang mendistribusikan dan mengatur pembagian roti agar tidak saling berebut.
Banyak aktivis yang masih bisa berkomunikasi dengan lainnya di Ghouta Timur melalui media sosial seperti Facebook, untuk berbagi tips bagaimana bertahan ditengah kepungan di tengah kekurangan bahan makanan selama bertahun-tahun.
Diantara tips itu adalah menyimpan masakan pada tempat penyimpanan tradisional yang biasanya digunakan rumah-rumah di Suriah. Adapun makanannya adalah jenis kacang-kacangan, seperti mujadara, kacang merah, kacang kering dan pasta tomat.
Tidak Ada Bahan Bakar, Tidak Ada Api
Sejak pertengahan 2012, Aleppo terbagi dua, sebelah barat dikuasai pasukan Assad dan sebelah timur masih dikendalikan pejuang anti Assad. Meski demikian kota ini mengalami kerusakan parah. Selain infrastruktur hancur, lebih dari 280 ribu penduduk Suriah meninggal karena konflik yang telah berlangsung 5 tahun ini.
Pekan lalu, pasukan pemerintah Assad mendekati jalan Castello, satu-satunya rute suplai yang tersisa di tangan pejuang anti Assad, sehingga berpotensi memutus Aleppo timur dari dunia luar. Ini artinya, kebutuhan bahan makanan dan gas sulit didapatkan.
Persediaan gas di rumah jarang ada, namun jika ada, harga tidak terjangkau bagi banyak orang. Harga gas satu tabung 5000 Pound atau sekitar 10 dollar AS. Harga-harga yang mahal itu juga berlaku untuk bahan bakar lain. Satu liter bensin dari 1 dollar kini menjadi 6 dollar. Sementara harga beras dan gula naik enam kali.
“Barang-barang di toko sudah tidak ada lebih dari empat minggu pengepungan, “tutur Salah, aktivis media yang tinggal di Aleppo. “Mesin pembangkit listrik sudah tidak nyala karena kehabisan bahan bakar.”
3 hari sebelum pengepungan, Salah sudah memindahkan isteri dan bayinya yang baru berusia 8 bulan, Omar ke pinggiran Aleppo.
“Hal tersulit bagi saya adalah jauh dari anak saya. Saya rindu sekali, tetapi saya setidaknya dapat meyakinkan bahwa dia tidak kelaparan atau terluka ketika saya berada disini.”
Alasan Salah kembali ke Aleppo, tidak beda dengan Mahmoud. “Dengan berada disini membantu penduduk yang terkepung atau mengabadikan keadaan mereka dengan kamera saya setidaknya dapat memberikan dukungan moral bagi mereka,” dalihnya.
Penjara Besar Tanpa Terali
Meskipun pengepungan Aleppo baru berjalan beberapa bulan, namun keadaan tersebut mengejutkan banyak orang.
“Kami syok ketika pengepungan terjadi meskipun kami sudah mengingatkannya cukup lama, “ kata Samar, direktur dukungan sosial dan konseling di organisasi Space of Hope, LSM lokal di Aleppo.
Karena syok tersebut, Samar baru bisa memfokuskan pekerjaannya untuk memulihkan semangat para karyawannya sebelum membantu warga yang membutuhkan.
“Saya beritahu mereka bahwa kita bukan satu-satunya orang yang dikepung, kita dapat belajar dari lainnya, kita dapat membantu menenangkan warga sipil sebelum kita membantu mereka bagaimana bertahan hidup.” ujar Samar.
Maka ketika pengepungan dimulai, mereka mengerjakan proyek pertanian bagi rumah tangga. Mereka mencoba mendapatkan dan mendistribusikan benih sayuran kepada keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Seperti organisasi sosial lainnya di Aleppo, Space of Hope tetap menyediakan pelayanan, diantaranya mengoperasikan pusat pendidikan anak di kota Aleppo yang terkepung.
“Proyek ini memberikan kesadaran masyarakat bahwa hidup tidak boleh berhenti.”
Tantangan utama organisasi ini adalah kekurangan bahan bakar, sementara saranan transportasi sendiri tidak dapat diandalkan. Mereka harus berjalan kaki ditengah suku yang mencapai 40 derajat celcius dan pesawat tempur yang berseliweran.
Pemerintah kota tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa pedagang menimbun dagangannya untuk dijual kembali dengan harga tinggi. Namun banyak juga yang tidak menaikkan harga. “Kita hidup dan mati bersama.”
Beberapa aktivis merubah keadaraan pribadinya sebagai mobil umum untuk mengantar orang dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kota Paling Berbahaya di Dunia
Dalam level personal, Samar berjuang untuk hal lain.
“Saya tidak tahu apa artinya lapar sebelumnya, dan pengepungan atas kota ini menjadi hal yang terburuk yang saya alami,” tuturnya.
“Hal paling berat lainnya adalah berpisah dengan dua anak perempuan saya yang kini berada di Turki sebelum pengepungan.”
Samar tidak bertemu dengan anak-anaknya yang berusia 19 dan 12 tahun selama lebih 4 bulan, ketika dia mencoba menemuinya, ternyata jalan ke Aleppo terputus.
“Saya hampir putus asa sehingga menangis, “ tuturnya.
Suaranya tercekat dan kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Kapan para pejuang dapat membuka kota, saya akan sangat bersyukur, lebih bahagia daripada ketika saya memeluk anak perempuan saya untuk pertama kali. Saya tidak dapat melukiskannya.”
Masa Depan Madaya?
Sejak pengepungan dan sebelum serangan balik para pejuang, semangat penduduk jatuh. Banyak orang berpikir keluar dari Madaya karena kelaparan dan terperangkap dalam penjara besar.
Ketika perang untuk menerobos pengepungan oleh para pejuang berlangsung, banyak orang mulai berharap.
“Kemanapun kami pergi, kami selalu bertanya tentang perkembangan perang, apakah para pejuang ada kemajuan? Dimana mereka kini? Mereka ingin mendapatkan kabarnya secara terperinci,” tutur Mojahed Abo Ajoud, Media Center Aleppo.
“Beberapa harilalu, semua orang bertanya, apakah ada nasi hari ini? Apa ada gula? Berapa banyak persediaan bulgur (gandum kasar)?”
Menggambarkan hari itu, Salah mengatakan “Masyarakat marah, orang-orang turun ke jalan, membakar ban bekas, dan membuat asap tebal untuk menghalangi pesawat Rusia agar tidak terbang di kota mereka.”
Meskipun hal itu tidak banyak melindungi mereka. Pemboman selama pengepungan justru semakin intensif, menarget jalan, yang digunakan penduduk keluar dari Aleppo.
Jika penduduk menanti dengan cemas pasokan persedian makanan, sementara Salah, Samar dan Mahmoud menatap ke arah keluar kota, rindu karena terpisah dari keluarganya. Perang yang telah berlangsung bertahun-tahun ini memang telah sampai ke titik yang mengkhawatirkan.(permatafm)
0 komentar:
Post a Comment