Azan yang Dilarang dan Standar Ganda untuk Islam di Indonesia
Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Usai Rasul wafat, Bilal bin Rabbah, enggan mengumandangkan adzan lagi. Bahkan, permintaan Sayyidina Abu Bakar ketika itu, ia tolak. Dengan kesedihan mendalam Bilal berkata: “Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Kesedihan Bilal ditinggal wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari sanubarinya. Ia memutuskan hijrah, meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy untuk hijrah ke negeri Syam. Bilal tinggal di Kota Homs, Suriah.
Bertahun-tahun tinggalkan Madinah. Bilal khawatir bila masih di Madinah tak bisa melupakan kenangan manis bersama manusia paling mulia di bumi, Rasulullah. Hal itu akan merobek-robek hatinya. Hingga suatu ketika, ia bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpinya, Rasul bersabda dengan suara lembutnya, “Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?“
Bilal terbangun dari tidurnya. Tanpa pikir panjang, ia mempersiapkan perjalanan kembali ke Madinah. Ia berniat ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya meninggalkan Madinah. Di makam Rasulullah, tangis rindunya pecah. Kecintaan dan kerinduannya pada Rasul membuncah.
Saat itu, ada dua pemuda yang mengamatinya. Mereka cucu Rasulullah, Sayyidina Hasan dan Husein. Keduanya mendekati Bilal dan berkata: “Duhai paman, maukah engkau mengumandangkan adzan lagi. Sekali saja, untuk kami. Kami ingin mengenang kakek kami.”
Sayyidina Umar bin Khattab, yang melihat mereka, mendekat. Ia juga meminta Bilal mengumandangkan adzan lagi. Meski hanya sekali. Bilal pun bersedia. Saat mengumandangkan lafadz “Allahu Akbar”, dalam sekejap, seluruh Madinah senyap. Segala aktivitas dan perdagangan terhenti. Semua orang sontak terkaget, lantunan adzan yang dirindukan bertahun-tahun kembali terdengar syahdunya.
Saat Bilal melafadzkan “Asyhadu an laa ilaha illallah“, penduduk Kota Madinah berhambur dari tempat mereka tinggal, berlarian menuju Masjid Nabawi. Bahkan dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara adzan yang dirindukan tersebut.
Puncaknya, saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah“, seisi Kota Madinah pecah dengan ledak tangis dan ratapan pilu, teringat Rasulullah di masa lalu. Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar paling keras.
Bahkan Bilal yang mengumandangkan adzan tersedu-sedu dalam tangis, hatinya teriiris, lidahnya tercekat, air matanya tak henti mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan adzannya, ia tak henti terisak, tak mampu lagi mengumandangkan melanjutkan panggilan mulia tersebut.
Hari itu, Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada. Hari itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya sejak kepergian Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkannya. Kisah ini tercatat dalam salah satu sejarah tinta emas Islam.
Dan hari-hari belakangan, di Indonesia, setelah seringnya kebijakan Islam diganggu, kini semakin banyak yang terusik dengan adzan. Sejarah dalam Republik Indonesia, sejak 71 tahun merdeka, baru di rezim ini adzan diusik-usik. La haula wala quwatta illa billah.
Terbaru, Meliana warga Cina merasa terganggu dengan adzan. Meski sudah dimediasi dengan kekeluargaan, ia ngotot. Pecahlah kerusuhan. Ironinya, ia bebas. Hanya menjadi saksi. Sebaliknya, ada 19 tersangka yang semuanya Muslim. Ketidak adilan hukum menambah rentetan panjang kekecewaan Muslim pada rezim ini.
Muhammadiyah, melalui divisi Hukum dan HAM, melakukan pembelaan untuk melepaskan para tersangka dalam kerusuhan Tanjung Balai, itu. Penegakan hukum beraroma standar ganda, menegaskan ketidak adilan pada Muslim Indonesia. Publik pun mengaitkan Tanjung Balai dengan tragedi Tolikara. Pembakar masjid di Tolikara, diundang ke istana. Pembakar vihara, dijadikan tersangka.
Padahal, saat pembakaran masjid umat Muslim sedang ramai. Sedang merayakan Hari Raya. Sedang pembakara vihara, tidak ada yang beribadah di dalamnya. Naifnya, pembakaran Tolikara tidak ada umat Muslim yang menganggu. Mereka, di sana, tetiba diserang. Berbeda dengan Tanjung Balai. Begitu telanjang ketidak adilan hukum terhadap Muslim Indonesia. Jika dirinci lagi, pedih rasanya.
Ketidak adilan hukum makin massif nyaris terjadi di segala lini. Sampai tersua adagium: hukum hanya berlaku bagi rakyat jelata. Terakhir, ketidak adilan hukum muncul kembali dalam kasus narkoba. Bocoran terpidana mati Freddy Budiman soal keterlibatan aparat dalam peredaran narkoba, malah membuat penegak hukum kebakaran jenggot.
Padahal keterlibatan mereka bukan lagi rahasia. Dalam kasus kecil pun masyarakat mudah menemuinya. Mulai suap tilang, jual beli kasus, ‘bobok celengan’ dagelan teroris, jual beli ganti hukuman, suap kencing minyak, sampai sekadar pembuatan SIM.
Apalagi soal narkoba, yang uangnya seksi nan mempesona. Publik juga tidak lupa soal rekening gendut, yang sampai sekarang penanganan kasusnya bikin masyarakat cemberut.
“Memberantas narkoba harus dimulai dari aparatnya.” Demikian seorang pengamat memberi usulan, paska meledaknya bocoran Freddy Budiman. Tapi semua hanya tergantung keinginan dan keseriusan. Apapun masukan, pola, anggaran menggiurkan, jika tak ada kesungguhan tetap percuma.
Kondisi ketidak adilan hukum dan varian carut marut masalah umat dan rakyat, kita semua dikejutkan lagi dengan pemangkasan anggaran Rp 133 triliun. Pemangkasan anggaran ini dinilai menghambat laju ekonomi. Bahkan, target pajak dua tahun berturut jauh meleset. Terbaru, meleset Rp 219 triliun. Dengan maraknya aneka kegaduhan, ada satu kekhawatiran: krismon akan datang makin hebat.
Sejak awal rezim ini berkuasa, janji-janji manisnya tak ada yang terealisir. Di lapangan, krismon sudah terasa sejak awal 2015. Namun, tetap saja pemerintah tidak jujur dengan realitas lapangan. Bahkan, akhir-akhir ini, pengangguran massal mencipta gurita keresahan dan kerusakan sosial. Dari lonjakan kriminalitas, perceraian, sampai ibu rumah tangga yang iku jualan narkoba karena terpaksa.
Rakyat lelah didustai berkali-kali. Dari mulai tarik subsidi, pajak ini dan itu, kenaikan harga itu dan ini, hutang sana sini, yang semuanya diklaim untuk infrastruktur, nyatanya nihil belaka. Rakyat menilai pemerintah telah terjangkit dusta akut. Namun, jika ini diteruskan kondisi negeri makin sengkarut.
Aneka kegaduhan hanya menutup kegagalan dan kondisi ril keuangan negara. Bahkan, tega mengusik panggilan adzan. Sebuah cara paling jitu mengusik mayoritas. Dengan sekejap bisa mengalihkan perhatian rakyat pada kegagalan pemerintah. Jujurlah atas ketidak mampuan. Relakan, letakkan tampuk kekuasaan, bila sudah tak mampu.
Dari kondisi lapangan, cepat atau lambat bangsa ini akan mengucapkan: selamat datang badai krismon lanjutan! Please, sudahi kedustaan, sudahi standar ganda, sudahi berangan-angan, sudahi kegaduhan mengusik Islam… (rol)
0 komentar:
Post a Comment