Stop Pembredelan Situs Islam!
Hari ini saya menemukan sebuah screenshot surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementrian Komunikasi & Informatika Republik Indonesia. Dalam surat elektronik yang beredar di jejaring sosial ini disampaikan informasi dari Kominfo kepada Penyelenggara ISP (Internet Service Provider), dimana Kominfo ingin menindaklanjuti surat Permintaan Penutupan Situs/Website dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Bernomor 149/K.BNPT/3/2015 yang berisi Situs/Website Radikal.
Dalam surat elektronik ini juga disebutkan nama-nama domain situs/website yang oleh BNPT disebut sebagai situs/website radikal. Hampir semua alamat domain bernafaskan Islam, terdaftar sebagai Situs Radikal. Entah ini benar atau tidak, tetapi beberapa website yang terdaftar dalam list tersebut ternyata kini mulai tidak bisa dibuka lagi melalui penyedia layanan provider tertentu.
Terkait dengan ini, perlu saya sampaikan tanggapan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, jika benar ada niat menutup situs-situs Islam yang dituduh sebagai situs radikal, maka saya pastikan niat penutupan situs Jihad, Situs Radikal, atau situs Penggerak Paham Radikalisme, atau Situs Simpatisan Radikalisme sesuai penafsiran BNPT, TIDAKLAH mendidik. Selain penetapan daftar nama situs yang ngawur dan hampir semua situs internet bernafaskan Islam diberangus, alasan penutupan juga tidak mempertimbangkan hal lain. Bagi BNPT secara institusi dan personal Pimpinan BNPT mungkin bermanfaat karena sesuai penafsirannya, konten situs-situs Islam hampir semua ditandai sebagai situs radikal bisa ditutup menggunakan kekuasaannya. Tetapi bagi Umat Islam, penutupan situs-situs Islam jelas akan memperburuk prinsip keseimbangan informasi. Apa itu?
Dalam banyak berita terkait terorisme/ISIS dan sebagainya, hanya sedikit Media Mainstream yang mau memberitakan secara berimbang. Sumber berita Media Mainstream, biasanya hanya dari aparat dan tidak mengutip sumber lain sebagai syarat coverbothside dalam kaidah jurnalistik. Akibat sumber berita yang tidak berimbang, maka informasi yang sehat dalam meng-cover berita terorisme, sering terabaikan.
Banyak informasi dan fakta tidak disampaikan ke publik karena kepentingan tertentu. Sebagai contoh: Tidak ada perlawanan terduga teroris diberitakan ada perlawanan. Tidak ada baku tembak antara terduga dengan Densus, tetapi diberitakan ada baku tembak. Terduga ditembak saat shalat, diberitakan ditembak saaat melempar bom. Dan seterusnya. Tidak diketahui, masalahnya dimana, sehingga kesaksian warga di TKP (Tempat Kejadian Perkara) tidak sesuai dengan berita yang muncul. Nah, dengan adanya situs/website Islam, maka pemberitaan terorisme/ISIS kini jadi berimbang.
Contoh lain adalah berita kebengisan ISIS, Kekerasan ISIS, yang diberitakan Media Mainstream, sangat jauh berbeda dengan yang dieritakan Media Islam. Dengan objek berita yang sama, semangat berita jadi berbeda? Ini yang perlu diperhatikan. Ada masalah serius antara kedua kelompok media ini, jika memberitakan readikalisme dan terorisme. Penutupan situs-situs Islam ini saya kira memiliki agenda setting yang lebih besar, yakni agar misi Densus/BNPT tidak ada yang mengganggu lagi. Artinya, pola sumber tunggal dalam berita terorisme akan lebih kuat posisinya. Boleh dibilang, ada upaya permanen pembodohan publik berkedok pemberantasan terorisme.
Kedua, penutupan Situs-situs Islam (yang telah distampel sebagai situs Jihad, situs radikal atau situs simpatisan ISIS oleh BNBT), bisa diartikan bahwa negara secara langsung telah menutup transparansi informasi kepada publik. Negara kini mengharuskan rakyatnya untuk HANYA mengkonsumsi informasi yang datang dari Pemerintah. Dengan gaya seperti ini, Negara telah melakukan kekerasan bentuk lain kepada rakyatnya. Pendidikan kebebasan mengemukakan pendapat, yang telah didengungkan sejak reformasi, begitu saja dilumat hanya dengan hitungan menit dengan cara menutup belasan website bernafaskan Islam tersebut.
Dari fenomena ini, ada kesan, Negara dengan sengaja memaksa rakyatnya untuk hanya mempercayai informasi yang datang dari Pemerintah. Cara ini jelas lebih jahat dari cara yang dilakukan oleh Orde Baru. Ini adalah bentuk baru pembungkaman informasi berkedok pencegahan radikalisme. Negara bermaksud meluruskan sebauh informasi, tetapi dengan membakar lumbung-lumbungnya. Cara seperti ini hanya menimbulkan dendam kesumat Umat Islam yang selama ini bergantung mendapatkan informasi dan belajar kajian Islam dari situs Islam.
Sekalipun ada berita atau koten radikal, seyogyanya tidak dengan menutup portalnya. Pemerintah tidak boleh malas dalam mengelola informasi, apalagi dengan cara menutup domain-domain yang dianggap tidak selaras dengan BNPT. Negara harus menyelenggarakan pembinaan, bukan memberangusnya.
Ketiga, media-media yang nama-namanya tercantum dalam surat Kominfo dan BNPT, tidak semuanya berisi radikal. Lebih banyak berisi ilmu Agama Islam, dan manfaatnya lebih banyak ketimbang mudharatnya. Maka dari itu, menutup situs-situs Islam dengan alasan radikalisme jelas tidak bisa dibenarkan. Penutupan website ini cenderung bermakna memberangus sumber-sumber berita dan sumber kajian Ilmu Agama Islam, ketimbang mencegah radikalisme & terorisme.
Di kepolisian, tidak sedikit polisi yang nakal, lalu disebut Oknum Polisi. Di Kehakiman juga ada hakim nakal yang kemudian disebut Oknum Hakim. Ketika ada oknum di dalam sebuah organisasi Kepolisian dan Kehakiman, solusinya tentu bukan dengan membubarkan Kepolisian dan Kehakiman. Pemerintah telah mengajarkan ini kepada masyarakat. Tetapi Pemerintah pula yang melanggarnya. Jika ini dibiarkan, maka untuk menutup media-media lain yang tidak selaras dengan Pemerintah, tentu hanya menunggu waktu saja.
Keempat, saya tidak menyangka bahwa di era Presiden Jokowi yang notabene bukan dari keturunan “darah” militer ini, program pembreidelan media massa ternyata lebih kejam. Tolong rencana dan langkah Pembreidelan ini dihentikan!
Jakarta, 30 Maret 2015
Salam
MUSTOFA B. NAHRAWARDAYA
Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
0 komentar:
Post a Comment