Kebijakan pemerintahan kudeta memberikan mandat kepada kepolisian untuk membubarkan demonstran Rabea el Adawea dan Nahda Square menunjukkan kebingungan dan frustasi mereka menghadapi penolakan besar-besaran rakyat atas kudeta.
Sebagaimana diungkap oleh Aliansi Nasional Pro Legitimasi dan Anti Kudeta bahwa beberapa langkah yang diambil oleh keamanan dengan mengosongkan beberapa tempat di Kairo dan beberapa provinsi dari penjagaan aparat betujuan untuk memancing terjadinya chaos dan provokasi kekerasan. Sehingga dengan adanya kondisi chaos ini akan menjadi dalih pembenaran bagi aparat untuk melakukan pembantaian baru dan tindak sporadis melawan demonstran anti kudeta.
Setelah sebulan demonstran berlangsung tanpa berhenti menyuarakan dukungan atas legitimasi presiden yang sah dan penolakan terhadap kudeta, rakyat sudah bisa menilai apa yang sebetulnya terjadi. Bukan revolusi untuk menyelamatkan negara, tapi kudeta yang diiringi dengan pembantaian dan tindak sporadis yang sarat dengan konspirasi berbagai kepentingan untuk melemparkan Mesir jauh ke belakang.
Bahkan berbagai pihak yang tadinya sejalan dengan aksi Tamarrud 30 Juni satu persatu menyadari telah terjadi pengkhianatan ini. Partai Al Nur misalnya, kini mereka mulai gamang menentukan sikap karena banyak kebijakan yang justru mengancam kepentingan Islam. Hamdin Sabbahi sempat urung-uringan karena tidak dapat bagian dalam "bagi-bagi ghonimah" sehingga ia ngotot memberikan limit waktu 6 bulan untuk keluar dari masa transisi. Demikian juga dengan beberapa tokoh Tamarrud yang menyatakan kecewa dan geram karena aksi mereka ditunggangi oleh kepentingan rezim Mubarak melalui tangan besi militer yang mendapatkan legalitas dari beberapa tokoh agama.
Aksi sporadis kudeta telah menelan setidaknya 480 jiwa, 8000 lebih terluka dan 1500-an tokoh anti kudeta yang ditangkap. Hal ini menuai banyak kecaman dari berbagai negara seperti Turki dan negara-negara di Afrika. Afrika punya alasan sendiri menolak kudeta ini karena akan membawa ancaman besar bagi pertumbuhan demokrasi di kawasan Afrika. Bahkan Uni Eropa perlahan menunjukkan ketidakpuasan dengan rezim kudeta. Mereka percaya bahwa Mursi sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan Mesir.
Kasus pembantaian di depan kampus Al Azhar pada Sabtu lalu belum ditindak lanjuti oleh rezim kudeta yang katanya melindungi aspirasi damai, tapi kini mereka justru berencana membubarkan paksa demonstran di Rabea dan Nahda atas alasan terorisme yang meresahkan. Dengan menarik aparat keamanan dari berbagai lokasi artinya rezim siap untuk melakukan pembantaian baru yang lebih besar dengan alasan pembersihan tindak kriminal dan terorisme. Tidak bisa tidak, gerbang konfrontasi antara preman dengan demonstran akan terbuka lebar sehingga aparat akan memiliki legalitas mengambil "tindakan sesuai hukum", sebagaimana pernyataan Dewan Kementrian kemarin (31/7).
Sementara pihak demonstran sudah mengeluarkan sikap akan bertahan di lapangan sampai tuntutan mereka terpenuhi. Aksi damai mereka lebih kuat daripada bedil aparat, sementara rezim kudeta harus bertanggung jawab sepenuhnya atas berbagai kejahatan mereka membantai demonstran.
Dalam pernyataannya pada 31 Juli, aliansi menyerukan kepada polisi dan tentara Mesir agar tidak mengarahkan senjata kepada saudara mereka rakyat Mesir, karena tidak ada ketaatan untuk kemaksiatan. Lewat pernyataannya hari ini aliansi juga kembali menyerukan aksi besar-besaran Jum'at mendatang.
Memang belum bisa dipastikan apa langkah yang akan diambil pihak Kementrian Dalam Negeri karena mereka masih perlu mempelajarinya. Namun dengan membubarkan paksa demonstran bukan solusi yang tepat. Militer dan kepolisian Mesir akan menyesal jika kembali mengarahkan senjata dan tank-tank ke arah rakyat yang melakukan aksi damai.(sinai)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment