Mengejar Habib Rizieq Shihab, Sebuah Sikap Syahwat Para Durjana
Siapa tokoh paling populer dan berpengaruh di Indonesia sejak Oktober 2016 hingga saat ini? Jawabnya: Habib Rizieq Shihab (HRS). Ada ketakutan besar dan luar biasa dari berbagai pihak jika popularitas dan pengaruhnya dibiarkan terus membesar dan menjadikannya sebagai pemimpin de facto berbagai kebijakan publik di Indonesia.
Itu alasan utama kenapa dia sangat perlu dipenjarakan dengan berbagai cara yang mungkin, termasuk dengan fitnah video seks murahan. Berbagai upaya dilakukan dengan tujuan melakukan demoralisasi sehingga tingkat kepercayaan publik kepada HRS bisa menurun sedapat mungkin.
Kekuatan mana yang tidak bergetar melihat sosok HRS ini? Tidak ada kekuatan satupun di Indonesia saat ini yang bisa mengundang jutaan orang berkumpul di Monas dari seluruh penjuru tanah air, tanpa perlu diongkosi. Yang memenuhi seruan undangan HRS bukan saja tak perlu dibayar, bahkan secara sukarela turut menyumbang agar kegiatan Aksi Bela Islam berjalan lancar.
Faktanya ada kesalahpahaman dasar di sini. Sesungguhnya kehadiran umat Islam dalam Aksi Bela Islam bukan semata karena ketokohan HRS. Tapi adanya panggilan iman yang luar biasa dari para umat Islam yang dengan bangga menyebut dirinya Alumni 212. Massa ini tidak pernah menyebut dirinya sebagai Pasukan HRS atau Laskar FPI atau Pejuang GNPF, mereka menyatakan diri sebagai Alumni 212.
Upaya kriminalisasi atas HRS, Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Adnin Armas dan lain-lain, tak lebih dari upaya demoralisasi. Upaya untuk menghancurkan tokoh-tokoh yang didengar oleh umat Islam atau Alumni 212. Arahan para tokoh ini begitu didengar umat. Diminta bergerak ke Jakarta patuh, diminta demo dengan tertib patuh, diminta jaga kebersihan patuh, disuruh bubar patuh. Kepatuhan ini begitu mengerikan di mata berbagai pihak.
Intinya apa? Semua pihak yang mendukung upaya melumpuhkan kekuatan umat Islam dalam Aksi Bela Islam sangat khawatir jika keberadaan mereka akan segera tersingkirkan, jika gerakan moral ini tidak bisa dihancurkan atau dipecahbelah. Mereka coba bersiasat dengan memutarbalik fakta dengan mengatakan silent majority tidak suka dengan gerakan moral ini. Padahal faktanya mereka tahu persis justru silent majority sangat mendukung gerakan moral ini. Pilkada Jakarta sudah menjadi fakta tentang kemana sikap silent majority.
Mereka khawatir jika bukan hanya di Jakarta saja dukungan 58 persen itu, tapi di seluruh Indonesia! Jika 58 persen rakyat Indonesia atau lebih, mendukung gerakan moral ala 212, maka dapat dipastikan kedurjanaan akan segera sirna di negara ini. Inilah yang sedang didemoralisasi oleh berbagai kepentingan. Agar umat Islam Indonesia jangan kembali ke ajaran Quran dan Sunnah seutuhnya. Getaran iman mereka begitu mencemaskan para durjana.
Tudingan radikalisme adalah tudingan mengada-ada. Tidak ada satu pihak atau bangunan atau fasiltas pun yang dirusak oleh Aksi Bela Islam. Semua Aksi Bela Islam berjalan damai. Semua berjalan dalam kepatuhan bahwa umat Islam itu rahmat bagi Indonesia, bukan sebagai gerakan anarki yang membuat kecemasan di ruang publik. Tudingan radikalisme cuma upaya untuk membuat gerakan moral ini menjadi tidak populer.
Para durjana berpikir mereka bisa bersiasat dengan cerdas, namun nyatanya Allah-lah sepandai-pandai pembuat siasat. Allah-lah yang membolak-balikkan hati Umat Islam Indonesia. Bukan Habib Rizieq Shihab. HRS bisa dipenjarakan, tapi iman umat Islam Indonesia tidak akan pernah bisa dipenjarakan.
Oleh TEUKU GANDAWAN, alumni ITB, mantan aktivis kemahasiswaan, pemerhati politik nasional
0 komentar:
Post a Comment