\
DUNIA pendidikan pun dibidik Presiden Recep Tayyip Erdogan dari anasir pendukung kudeta. Beberapa media asing memberitakan, tidak kurang 21 ribu guru swasta dicabut izin mengajarnya. Demikian pula, 1577 dekan di seluruh kampus di Turki diperintahkan untuk mengundurkan diri. Sedangkan 15.200 pegawai negeri Kementerian Pendidikan statusnya dibekukan. Alasannya sama: para pendidik dan pegawai pendidikan ini mendukung kudeta, yang disebut-sebut didalangi Fethulleh Gulen.
Tindakan Erdogan dan pemerintahannya tersebut sepintas tergolong “tega”, bahkan mungkin “kejam”. Bukankah dengan tindakan “pembalasan” tersebut para peserta didik dirugikan, dan ini berarti ancaman bagi masa depan negeri Erdogan sendiri? Belum lagi dugaan keterlibatan mereka dalam kudeta masih perlu dibuktikan. Serupa dengan tudingan bahwa Gulen merupakan aktor utama kudeta Juli 2016. Dengan melihat tindakan Erdogan, amat logis bila banyak kalangan terheran-heran. Anggapan bahwa Erdogan otoriter, bahkan diktator, yang selama ini disematkan para pembencinya seolah terbukti.
Alhasil, di tanah air, bermunculan suara keras mengecam Erdogan. Sebuah koran besar di Jakarta menyebutnya sebagai “gerakan bersih-bersih yang menjadi-jadi”. Seorang doktor di kota saya menyebut langkah Erdogan sebagai “seperti orang kesurupan yang ngamuk”. Ada banyak bertebaran di media sosial kata-kata sarat cibiran dan cacian pada sapu bersih Erdogan itu.
Menariknya, para pengecam yang sama tersebut anteng-anteng saja ketika “bersih-bersih” yang dilakukan penguasa hasil kudeta di Mesir terhadap Presiden Mursi justru bungkam. Tidak ada cerita kecaman ketika ada penyingkiran, bahkan sampai mencabut nyawa sekalipun. Kata-kata untuk menilai penguasa hasil kudeta di Mesir pun tergolong lembut; amat jauh ketika mereka menilai Erdogan yang justru pemerinahan sah yang akan dikudeta.
Keberadaan Erdogan yang bercorak dekat dengan islamisme memang jadi satu bahan gerundelan tersendiri bagi kalangan pengkritiknya di sini. Ada jarak hati untuk memaklumi keterbatasan yang ada. Kesabaran untuk bersuara atas ketidaksetujuan pada kebijakan Erdogan selama ini akhirnya terartikulasi selepas kudeta Juli 2016. Dan “kerasnya” sikap Erdogan menjadi pintu masuk untuk membongkar habis kekuasaannya.
Saat yang sama, lawan politik Erdogan, Gulen, relatif lebih mudah dijadikan sahabat. Semacam sandaran untuk bersekutu ketika ada kebijakan melawan worldview yang dimainkan Erdogan. Gulen semacam pengisi kekosongan untuk enggan tunduk selalu di bawah kebijakan Erdogan dan partainya—Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP).
Keberadaan Gulen sendiri yang diasosiasikan sebagai ulama karismatik bercorak sufi dan berkhidmat dalam sosial-menausiaan serta pendidikan amat jauh untuk disepadankan sebagai tokoh antagonis. Orang pun lebih mengapresiasi kiprah Gulen dalam ceramah-ceramah agamanya yang menyejukkan, demikian pula tulisannya yang banyak diterjemahkan di sini. Lagi-lagi, amat jauh dari gambaran sebagai sosok teroris sebagaimana tudingan Erdogan.
Faktanya, Gulen bukanlah sosok yang kokoh dalam lajur pemikiran seperti di ceramah yang menuai apresiasi itu. Istilah seorang rekan, membaca Gulen harus tahu periodesasinya. Gulen seakan representasi sosok ulama terkemuka Turki, Badiuzzaman Said Nursi, betapapun ini bagian masa lalu. Ya, karena Gulen sendiri “berubah”; tidak utuh mengikuti corak Said Nursi. Andaipun keyakinan sebagian orang bahwa Gulen merupakan pewaris dakwah Said Nursi, dalam sejarahnya sang tokoh besar ini tidak angkat senjata kepada saudara seiman.
Demikian pula dalam soal pembelaan agenda keumatan, jejak Nursi begitu kuat. Sementara Gulen masih tinggalkan syubhat ketika ia belakangan memilih jadi pengusung pluralisme dan tidak menyukai simbolisme hijab. Bahkan untuk tema Palestina pun, Gulen menolak keras kebijakan Erdogan ketika mengirimkan bantuan lewat rombongan “Freedom Flottila” di kapal Mavi Marmara. Bila Erdogan sering beretorika menentang kebijakan Israel, Gulen sering dianggap “ramah” kepada Israel.
Sayangnya, sementara Erdogan bagi sebagian orang selalu bersih, sebagian orang lagi selalu memandangnya dengan kacatama negatif. Dan dalam kasus Gulen, jasa-jasa baiknya selama ini (di luar soal pemikirannya) seakan tidak ada bagi banyak pengagum Erdogan di sini. Lain di mata pembenci Erdogan, ada kecenderungan untuk memaafkan Gulen, seolah tanpa cela.
Dengan menempatkan dua sosok ini dalam relasi demikian, akibatnya yang terjadi kemudian adalah ketidakadilan menilai. Ketergesaan menghakimi, termasuk membuat label, terjadi di mana-mana, baik oleh pengagum Erdogan maupun Gulen. Kata-kata yang sarkas dan tidak beradab mudah ditemukan. Menyedihkan memang.
Demikian pula ketidakadilan juga terjadi saat menyebut reaksi Erdogan dan jajaran pemerintahannya dalam menghukum tersangka kudeta. Para penilai, termasuk sang doktor di atas, memasukkan imajinasi dan opini untuk kejadian yang belum terjadi. Ia hanya menilai “kesurupan yang ngamuk” karena ada rentang jarak hati untuk dingin bersikap dan objektif saat melihat Erdogan. Ia tergesa-gesa membuat simpulan yang sejatinya masih berupa asumsi.
Betapa tidak, gencarnya berita “sapu bersih” di dunia pendidikan belum tentu berujung seperti yang digambarkan. Belum lagi konteks politik yang melatari kebijakan “keras” Erdogan itu cenderung diabaikan. Bahwa pendukung Gulen yang banyak menjabat di jajaran birokrasi militer dan pendidikan bukanlah sebuah fakta keragaman yang apolitis dan nihil misi apa pun. Sebaliknya, ia semacam laten untuk selalu memburu kelengahan pemerintahan Erdogan.
Sayangnya, banyak yang menganggap langkah mereka seolah tidak pernah ada. Lain halnya ketika ada tindakan reaksi dari Erdogan. Itu saja segera langsung ditanggapi keras seolah dirinya tidak pernah bertindak serupa bahkan lebih jahat. Wacana hukuman mati bagi pelaku kudeta yang segera ditolak kalangan di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya. [YUSUF MAULANA/ ISLAMPOS]
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment