Pengakuan Gilad Schalit Selama Ditawan Hamas: Tak Ada Penyiksaan, Bahkan Asyik Nonton Piala Dunia
(Artikel ini pernah dipublikasikan di sebuah media online milik Zionis. Ditulis oleh Ben Caspit dalam bahasa Ibrani dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Amishai Gottlieb. Sahabat al-Aqsha memetik bagian-bagian terpentingnya).
Pada tanggal 25 Juni 2006, seorang tentara Pasukan Pertahanan ‘Israel’ (IDF) berpangkat Kopral, Gilad Schalit, diculik oleh ‘militan’ Gaza, yang menyusup melalui terowongan di bawah pagar perbatasan Zionis. ‘Militan’ tersebut menyerang tank Schalit yang menyebabkan kematian dua rekannya. [Catatan redaksi: Penjajah Zionis menyebut Mujahidin Palestina dengan sebutan ‘militan.’]
Insiden itu membuat Schalit ketakutan dan tidak berkutik saat ditangkap. Ia mengaku sengaja berdiri mematung agar tidak terbunuh. Pengakuan ini diungkapkan Schalit kepada para penyidik militer yang berusaha melakukan reka ulang kejadian tersebut. Schalit ditawan (para Mujahidin) selama lima tahun di Gaza.
Entah bagaimana, Schalit selamat dari ledakan dan keluar dari tank. Saat ia meninggalkan tank, ia melihat ‘militan’ mendaki bagian depan tank Merkava yang disebut sebagai “The Knife”. Ketika memanjat tank tersebut, ‘militan’ itu harus menggunakan kedua tangannya, yang berarti senjata pribadinya, Kalashinikov, dalam posisi diselempangkan di punggung.
Dalam titik ini, ‘militan’ tersebut berada di jarak tembak dekat yang membuatnya sebagai sasaran empuk bagi Schalit yang ketika itu duduk di kubah tank, tempat yang memiliki jarak pandang yang luas. Schalit melihat ‘militan’ yang memanjat dari depan, tapi tidak dari sisi yang lain.
Dalam posisi ini para ‘militan’ masih belum melihat Schalit. Bahkan jika dia melihat ‘militan’ yang kedua, Schalit bisa dengan mudah berganti tangan ke senapan mesin tank berkaliber .50 dan menembaknya. Senapan mesin berkaliber .50 adalah senjata yang mematikan, canggih, cepat, dan mudah untuk digunakan.
Namun, Schalit tidak melakukan apapun. Padahal, jika Schalit menembakkan senjata tersebut, bisa dipastikan dua ‘militan’ yang memanjat akan terbunuh. Bahkan jika mereka tidak kena dan lari, Schalit masih memiliki tiga senjata ditambah meriam utama untuk menghabisi mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya Schalit tidak melakukannya.
“Anda tidak pernah berpikir untuk menembak ‘teroris’?” tanya penyidik pada Schalit.
“Tidak,” jawabnya. “Aku benar-benar bingung. Aku tidak memikirkan apa-apa. Aku sangat terkejut.”
Beberapa detik kemudian teroris melihat ‘Schalit’ di bagian atas tank dan Schalit berteriak dalam bahasa Ibrani, “Jangan tembak, jangan tembak.”
(Pejuang) tersebut lalu menyadari bahwa Schalit menyerahkan diri. Kemudian, dengan membidik wajahnya, ia berteriak pada Schalit dalam bahasa Ibrani, “Ikutlah denganku.” Schalit turun dari tank, gemetar. ‘Militan’ kedua bergabung dengan mereka, keduanya segera memahami mereka sedang mendapatkan ‘hadiah’ besar: Seorang tentara hidup yang tidak melawan. Hadiah besar yang telah lama Hamas impikan.
Mereka bertiga, Schalit dan dua penculiknya, berlari ke arah Gaza. Pada pukul 05:21, mereka melubangi pagar dan memasuki terowongan kecil di bawahnya. Schalit pergi dengan mereka, tanpa berusaha memperlambat mereka untuk menghemat waktu sampai tank kedua atau lainnya tiba. Schalit pergi bersama mereka dan berlari ke arah pagar.
Salah satu ‘militan’ merangkak dan memerintahkan Schalit untuk melakukan hal yang sama. Para ‘militan’ menyuruhnya untuk bergerak lebih cepat dan bergegas. Setelah itu, rompi antipeluru milik Schalit ditemukan di sebelah pagar. Tampaknya ia melepasnya agar bergerak lebih bebas.
Setelah melewati terowongan, tiga orang tersebut menuju ke dalam Jalur Gaza dengan tergesa-gesa. Sebuah tank Zionis tiba di tempat kejadian, tapi tidak diizinkan menembak. Saat itu mereka masih belum mengetahui bahwa ada seorang tentara diculik. Mereka sudah lebih dari satu kilometer memasuki wilayah Palestina. Akhirnya, tank melepaskan tembakan senapan mesin.
Mereka tidak menerima izin untuk menggunakan senjata berat dan senapan mesin meleset dari target mereka. Schalit dan penculiknya mencapai baris pertama rumah tempat traktor menunggu mereka. Mereka naik traktor, yang membawa mereka ke mobil, yang kemudian membawa mereka ke mobil lain. Dalam perjalanan, para ‘militan’ melepas seragam militer Schalit dan mengenakan pakaian sipil. Schalit dijaga ketat oleh mereka dan dari sinilah penawanan lima setengah tahun dimulai.
Humus dan Sepakbola
Schalit ingat dengan jelas ketika ia berada di tempat penawanan. Dia tidak ditahan di ruang bawah tanah dan tidak disiksa, hanya sedikit “gangguan” pada hari pertama penawanan. Meskipun mereka memukulnya sedikit dan mengikatnya di tiang, mereka cepat mengerti bahwa ia lemah dan akan mati jika mereka memukul terlalu parah. Mereka tidak ingin Schalit mati. Pada saat itu, Schalit adalah aset terbesar rakyat Palestina.
Selama ditawan ia hidup di antara beberapa keluarga Palestina di Jalur Gaza. Dia menonton televisi, mendengarkan radio, bahkan kadang-kadang diizinkan untuk menggunakan internet. Dia mendengar semua laporan berita selama (agresi militer Zionis atas Gaza yang disebut) “Operasi Cast Lead” di musim dingin 2008-2009, dan menyaksikan semua pertandingan Piala Dunia 2010. Dia secara khusus mengingat permainan bola ketika ia dipindahkan dari satu keluarga ke keluarga yang lain, seperti ketika Spanyol menjadi juara dunia. Ia diperlakukan cukup baik.
Masalah utama adalah makanan. Ada banyak pilihan makanan yang disediakan dan Schalit terpaksa makan makanan warga Gaza, seperti humus. Maklum dia dalam keadaan tertekan sehingga itu memengaruhi nafsu makannya. Akibatnya, berat badannya turun drastis. Dia tidak melakukan mogok makan. Suatu hari ia makan di atap apartemen dengan sebuah keluarga di Khan Younis dan dari atap ia bisa melihat Mediterania. Dia seperti sedang berlibur saja.
Schalit berkomunikasi dengan para penculiknya menggunakan bahasa Ibrani dan bahasa Inggris, dan penjaganya selalu berganti-ganti sepanjang penawanan. Biasanya, ia dijaga oleh regu khusus yang berjaga dalam shift. Schalit tahu persis apa yang sedang terjadi di ‘Israel’. Ia mengikuti pemilu tahun 2009 dan tahu peristiwa yang sedang terjadi di dunia. Dia tidak pernah berada dalam bahaya selama “Cast Lead”, meskipun operasi itu adalah usaha untuk menyelamatkannya.
Kisah Gilad Schalit memang sulit dipahami, (sebuah kisah) penuh kegagalan. Ini adalah tentang kegagalan tim tanknya, Schalit sendiri dan buruknya (performa badan) intelijen yang merupakan tanggung jawab dinas keamanan Shin Bet, yang tidak berhasil melacaknya selama lebih dari lima tahun. Dua tentara tewas dalam aksi awal. Mereka tidak melakukan tugas dengan baik. Sejarah IDF penuh dengan cerita kegagalan.* (Sahabat Al-Aqsha/Bag)
0 komentar:
Post a Comment