Oleh : Ahmad Dzakirin
Ditengah 40 ribu warga Turki yang sangat antusias di Cologne, Jerman, Erdogan kembali menegaskan prinsip dan pandangan politiknya atas kedudukan minoritas di Eropa bahwa Turki sangat mendukung integrasi namun menolak asimilasi. Integrasi adalah politik unifikasi minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tetap mempertahankan kultur, keyakinan dan bahasa minoritas namun menghormati kultur, keyakinan dan bahasa mayoritas. Asimilasi sebaliknya merefleksikan politik absorsi minoritas dalam kultur dan keyakinan mayoritas. Akibatnya, kelompok minoritas kehilangan identitas khas mereka.
Sejatinya, pandangan Erdogan menegaskan kembali sikap dan pandangan politik dirinya pada 2008. Dalam konsperensi pers bersama Kanselir Jerman, Angela Markel, Erdogan bahkan dengan tegas menandaskan bahwa asimilasi adalah sebentuk kejahatan terhadap kemanusiaan seperti halnya terorisme. Tidak ada yang berubah pada diri Erdogan, kecuali kalimat ini diulang dalam atmosfer dan konstelasi politik yang berbeda. Selain itu, dia lebih berani dan independen setelah menang pemilu tiga kali. Ucapan Erdogan sendiri sebenarnya secara substansi dan segaris dengan pandangan politik mainstream Uni Eropa yang menghargai perbedaan keyakinan dan kultur.
Hanya saja, pandangan politik mainstream ini kini perlu diuji kesahihannya seiring dengan kebangkitan kelompok radikal kanan Eropa. Pelbagai kebijakan diskriminatif Eropa mulai dan tampak menguat? Mulai dari pelarangan burqa di Perancis, pembangunan minaret di Swiss dan Masjid di Yunani, vandalisme atas minoritas Turki dan Muslim lainnya di Jerman dan bangkitnya partai-partai di dataran Eropa yang mempropagandakan politik asimilasi. Yang terbaru, kepolisiaan Praha, Czech menyerang dan membubarkan shalat Jumat serta menahan beberapa diplomat Muslim. Dalam perspektif Muslim, ini adalah kejahatan serius. Pada akhirnya, seorang editor fundamentalis ditangkap dengan dakwaan, “mempromosikan pemikiran yang menindas HAM dan kebebasan.” Namun pelbagai kecenderungan ini tersirat semakin memperkuat pandangan asimilatif Eropa.
Jika demikian, demokrasi Barat tak pelak bermetamorfosis menjadi varian baru setengah demokrasi dan setengah totalitarian. Orang dihukum karena pemikirannya bukan karena tindak kejahatannya. Jika kriminalisasi pemikiran ini sebagai pencarian mutakhir demokrasi, karena misalnya, mereka tidak dapat berkompromi dengan warga mereka yang menjadi pembenci demokrasi atau alasan lain, karena pandangan semacam itu berpotensi sebagai ancaman eksistrensial, kenapa Barat tidak cukup menhormati proses pencarian bentuk demokrasi di dunia Islam sehingga tidak dapat mengadopsi misalnya gejala-gejala pemikiran anti agama?
Dalam konteks epistemologis, dalam hemat saya ada dua hal penting dalam demokrasi. Pertama, kita menyakini ada nilai-nilai universal dan partikularistik dalam demokrasi. Dan nilai-nilai partikular dalam demokrasi berkait erat dengan latar sejarah, kultur dan identitas. Kedua, tidak kalah pentingnya, produk demokrasi adalah good governance karena ada mekanisme akuntabilitas, check and balances, transparansi dan desentralisasi dalam demokrasi. Ini harus diakui sebagai sumbangan besar barat bagi peradaban.
Hanya saja pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah metamorfosis demokrasi Eropa akan terus berlanjut sampai ke titik akhir, asimilasi. Warga Eropa yang baik adalah yang sepenuhnya 100 persen Eropa baik karena faktor etnisitas maupun way of life. Kita tengah menunggu dengan was-was.
Kembali ke komentar Erdogan, pandangan politik Erdogan tersebut menuai kecaman dan ejekan. Padahal pandangan ini merefleksikan pandangan yang moderat dan adil tentang hak dan identitas kelompok minoritas. Pandangan minor atas diri Erdogan tidak terlepas dari fakta politik, Turki tidak lagi ‘a good boy’ bagi kepentingan Barat, bukan sejatinya isu demokrasi ataupun tuduhan adanya kecenderungan totalitarian pada diri Erdogan. Jika Erdogan di Cologne mengecam media Jerman dan mengkritik kecenderungan kebijakan politik ‘asimilasi’ Eropa, maka dia sebenarnya hendak mengungkap fakta yang kini berkembang di Eropa.
Ini bukan berarti Erdogan selalu dalam posisi benar ketika mengecam media. Namun Erdogan benar ketika, mengatakan bahwa media dan politisi Jerman telah mengembangkan insinuasi kebencian atas dirinya bahkan sebelum kehadiran dirinya di Jerman. Para politisi Jerman mengumpulkan petisi untuk pembatalan kunjungannya ke Jerman untuk alasan yang tidak jelas. Sementara, majalah utama di Jerman, Der Spiegel memuat headline, “Go to Hell, Erdogan.”
Kedua, Erdogan hendak mengatakan bahwa dirinya memiliki hak serupa dengan Presiden Jerman ketika mengatakan “sangat takut dengan perkembangan demokrasi di Turki” saat melawat ke Turki. Dan benar, Reaksi balik dan kecaman pada dasarnya hal biasa dalam dialektika demokrasi. Dan sama saja, para politisi dan media mainstream jerman juga tidak sesabar Erdogan ketika mengkritik sikap dan pandangan Presiden Jerman, Joachim Gauch.
Erdogan juga tidak salah ketika mengkritik pendekatan Barat yang berbeda (baca: hipokrit) dalam isu HAM. Barat sangat kritis atas isu Ukraina, Thailand dan tuduhan defisiensi demokrasi di Turki dan negara-negara Muslim yang independen namun sebaliknya kehilangan energi atas pelbagai kasus kejahatan kemanusiaan di Mesir, Bangladesh, dan pembantaian Muslim di Afrika Tengah sepanjang terjaga kepentingan hegemonik Barat.
Sikap AS mendukung jenderal binaan CIA, Khalifa Haftar mengkudeta pemerintah demokratis di Libya (seperti halnya di Mesir) hanya semakin memperkuat tesis bahwa AS dan Barat tidak hendak menciptakan stabilitas kawasan berdasarkan prinsip demokrasi, namun hegemoni. Dalam derajat ini, kita dapat membaca pelbagai iritasi Barat atas Turki yang kuat karena AS dan Barat berpotensi kehilangan dua (Turki dan Mesir) dari tiga sekutu setia namun kuat secara geo-politik di dunia Islam. Untuk itu, Eropa dan AS harus jujur dalam berdemokrasi karena kejujuran adalah faktor stabilitas dan perdamaian dunia.
Wallahu A'lam.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment