Pemilu Yordania dan Tantangan Ikhwanul Muslimin



Dr Mohammad Abu Rumman

Partai Front Aksi Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin mendapatkan hasil bagus dalam pemilu lokal di Yordania pada 15 Agustus. Ini membuktikan bahwa partai ini menjadi satu-satunya partai yang dapat memperoleh kemenangan dalam pemilu, disaat partai-partai lain gagal mendapatkan hasil yang memuaskan.

Meskipun “krisis” yang terjadi dalam hubungan antara kelompok Islamis dengan negara telah berlangsung bertahun-tahun dan mencapai puncaknya pada tahun-tahun terakhir, khususnya pasca Arab Spring, namun prediksi banyak elit politik yang dekat dengan pemerintah terhadap kelompok ini tidaklah begitu negatif. Sebaliknya, mereka menganggap partisipasi mereka menjadi tanda bahwa pemilu berarti berlangsung dengan “bersih” dan terbuka. Ini adalah titik dukungan pemerintah dan alat untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat atas kredibilitas proses politik di negeri monarki ini.

Kali ini, tantangan tidak berasal dari kelompok Islamis, namun justru di tempat-tempat pemungutan dimana pelanggaran terang-terangan atas integritas pemilu terjadi di distrik Badia Pusat, karena orang-orang sipil bersenjata  mencuri hasil kotak suara. Pemilu kemudian dibatalkan atas wilayah tersebut dan komisi pemilu memutuskan untuk menyelenggarakan kembali pemilu disana. Ini menunjukkan aspek negatif di tengah citra positif pemilu kali ini, bukan karena intervensi pemerintah seperti sebelumnya, namun justru intervensi pelbagai kelompok sipil.

Yang benar adalah bahwa insiden ini merusak bagian penting perkembangan politik, sosial dan ekonomi di Yordania dan terjadinya pergeseran tantangan setelah para elit politik sebelumnya melihat kelompok Islamis sebagai hambatan utama di setiap pemilu. Kali ini, pandangan.berbeda dan partisipasi kelompok Islam menjadi indikator jika partai oposisi damai telah melakukan proses politik secara benar.

Tantangan utama yang yang menjadi jurang hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sipil adalah tindakan pelecehan dan perlawanan terbuka pelbagai kelompok sipil atas negara yang dulu dianggap sebagai pilar utama stabilitas politik di kerajaan. Namun, dampak kemenangan partai Islam ini akan dianggap seperti kudeta terhadap peran pembangunan politik dan ekonomi negara. Pelbagai kelompok sipil memiliki hubungan yang tidak nyaman dengan negara, institusi, penegakan hukum yang dijalankan pemerintah. Namun hal ini dalam perspektif media dianggap sebagai “prestise negara” yang citranya merosot dalam tahun-tahun belakangan ini karena ketidakseimbangan antara kebijakan politik domestik yang cenderung menundukkan pelbagai kelompok tersebut sehingag berujung kepada pelanggaran dan pelecehan.

Realisasi perbedaan dalam memahami sifat dan tantangan atas posisi Islamis moderat mulai diketahui para elit politik. Hanya saja, diabaikan oleh institusi resmi yang masih berupaya mempertahankan cara pandang tradisional dan cenderung status quo. Hari ini, mereka menghadapi fakta nyata karena negara tidak lagi ditantang oleh partai politik yang berkomitmen dalam aktivitas politik mereka, namun oleh bangkitnya fenomena perlawanan baru yang lebih berbahaya, seperti praktik korupsi yang merajalela, narkoba dan bangkitnya ekstrimisme. Ekstrimisme yang dilakukan kelompok Salafi Jihadis ini semakin meningkat baik jumlah pendukungnya maupun aktivitasnya dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun kelompok Islamis relatif menang, namun kemenangan tersebut belum seberapa mengingat, masih kuatnya persaingan etnik dan regional yang justru menghancurkan partai-partai politik. Partai-partai politik tersebut semakin terisolasi dengan popularitas yang sangat terbatas. Mereka bahkan hampir sulit memenangkan pemilu parlemen.

Dengan mengabaikan pentingnya  pelbagai pertimbangan diatas dalam  merumuskan kebijakan maka yang ada adalah negara akan terus menerus terus memusuhi dan membatasi  para Islamis moderat? Dalam konteks sekarang, kebijakan ini lebih merefleksikan aliansi regional kerajaan Yordania bersama “sekutu” Arabnya yang memusuhi Ikhwanul Muslimin, demokrasi beserta trend kemenangan mereka secara umum. Apakah  para pemimpin Arab bersedia mengkaji kembali hubungan mereka dengan pelbagai kelompok moderat tersebut beserta tulang punggung mereka, Ikhwanul Muslimin?

Secara logika, kita juga harus  mengkaji kembali pola hubungan  Ikhwanul Muslimin dengan Front Aksi Islam dalam konteks baru mereka untuk menentukan aturan  permainan. Selain itu,  juga mendorong untuk memanfaatkan pelbagai kekuatan yang dimilikinya untuk memperkuat konsep oposisi damai karena pada saat bersamaan kelompok radikal juga menawarkan jalan kekerasan dalam berhadapan dengan negara dan menolak proses politik secara keseluruhan.

Permatafm DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment