Terorisme Ala PKI
Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
INDONESIA mempunyai pengalaman yang amat mengerikan dengan Komunisme jelmaan Marxisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di Madiun, pada hari Sabtu Pon, 18 September 1948 pukul 03.00 dini hari, terdengar tiga letusan pistol sebagai isyarat dimulainya pemberontakan bersenjata PKI.[1] Inilah kudeta secara terang-terangan terhadap Indonesia yang baru berusia tiga tahun merdeka dan baru juga menderita gara-gara serangan militer Belanda di tahun sebelumnya. Betapa lemahnya Indonesia kala itu.
“Kejadian itu terasa begitu mengerikan … beribu-ribu manusia dengan kelawang dan berbagai senjata memekik-mekik bagai serigala haus darah … mereka berduyun-duyun tak ada habisnya sambil terus memekik dan memaki-maki … kemudian menerjang dengan beringas dan penuh kebencian …”
Itulah gambaran yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami detik-detik peristiwa 18 September 1948 tatkala kudeta PKI diproklamasikan di Madiun.[2] Ketika itu beribu-ribu manusia dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya seperti air bah. Tanpa babibu lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari berbagai arah ke segala arah menerjang segala apa yang mereka jumpai.
Musuh utama PKI adalah Islam dan para kiai. Hal ini sangat dimengerti sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang sangat bertentangan dengan PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya. Sementara orang-orang PKI berkewajiban mengikis habis segala bentuk kepercayaan agama termasuk Islam.
Setelah itu, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang menjadi sasaran PKI tentu tidak tinggal diam dan tunduk ketika agamanya diberangus. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta, telah membentuk Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, siswa Madrasah Menengah Tinggi Djamsaren , Solo, sebagai komanden Brigade PII mati syahid insya Allah bersama delapan orang anggotanya yang berasal dari berbagai sekolah dan pesantren, dalam pertempuran melawan pemberontak PKI di Madiun.[3]
Magetan sebagai kawasan paling dekat dengan ibu kota Keresidenan Madiun, dalam tempo beberapa hari telah jatuh ke tangan PKI. “Pembersihan” dilakukan dimana-mana untuk mendongkel yang bukan merah dan diganti dengan yang merah. Maka sejarah pun mencatat praktik-praktik mengerikan yang dilangsungkan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari aksi Khmer Merah di Kamboja. Apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari perang syaraf mereka untuk meruntuhkan moral lawan-lawan mereka.
Sekalipun peristiwa itu dikenal dengan sebutan Pemberontakan Madiun, di antara sekian daerah yang menjadi korban keganasan kaum merah tersebut, masyarakat di kawasan Kabupaten Magetanlah yang paling parah menerima akibatnya.
Korban keganasan kaum merah tersebut tak dapat diketahui secara pasti. Tetapi adanya sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang dipakai PKI untuk menghabisi lawan-lawan mereka yang tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Magetan, menjadi saksi sejarah dari sebuah kebiadaban yang sulit dipercaya kala itu. Sulit dipercaya karena saat itu Republik Indonesia justru baru saja berdiri, dan yang mereka bunuh adalah saudara serepublik. Padahal saling bunuh yang selama ini dikenal adalah saling bunuh antara kaum repubik dan penjajah. Hal itu terlihat dari kebiadaban PKI dalam aksi mereka di daerah Kabupaten Magetan.
Kasus Pesantren Takeran
Bersamaan dengan proklamasi kudeta PKI, laskar PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan. Dan di sana, selain memimpin pesantren, Kiai Imam Mursjid Muttaqien juga bertindak sebagai umam tarekat Syatariyah.
Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.
Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil.
Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. “Waktu itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat.
Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, waktu itu Suhud mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKInya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.
Tetapi Suhud, salah seoran Pimpinan PKI, ketika itu melontarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an untuk meyakinkan warga pesantren bahwa iktikad mereka baik kepada Kiai Imam Mursjid. “Suhud waktu itu malah mendalilkan innalaha laa yughayyiru bi qaumin, hatta yughaiyyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah nasib mereka sendiri),” kenang Kamil.
Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke atas mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.
Iskan (84 tahun), salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa sewaktu Kiai Imam Mursjid dibawa oleh PKI naik mobil, dia sedang menjemur sarung di pinggir pendapa pesantren. Malah mobil yang dibawa oleh PKI tersebut sebenarnya sudah dua kali datang ke pesantren untuk mencari Kiai Imam Mursjid, tetapi tak bertemu. Dan seusai shalat Jumat itulah, PKI berhasil menemui Kiai Imam Mursjid.
Iskan sendiri sebelumnya tak mengerti mengapa Kiai Imam Mursjid ketika itu mau saja diajak PKI keluar pesantren. Tetapi dia baru tahu bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.
Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.
Keesokan harinya, Sabtu Wage, 18 September 1948, beberapa orang kurir PKI datang ke pesantren dan mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid masih belum bisa pulang karena sibuk rapat. Kurir tersebut juga menyampaikan bahwa mereka disuruh oleh Kiai Imam Mursjid untuk mengambil pakaian ganti. Kepada mereka itu diberikanlah sebuah tas milik Kiai Imam Mursjid yang berisi buku dan pakaian.
“Tetapi mereka meminta pistol vickers milik Mas Imam Mursjid,” kata Kamil. Tentu saja Kamil berusaha untuk tak memberikan pistol tersebut karena dia tak mempunyai firasat yang tak baik. Tetapi karena kurir tersebut cukup meyakinkan sebagai utusan Kiai Imam Mursjid, maka pistol vickers itu pun akhirnya diberikan juga bersama tas.
Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. “Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.
Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa.
Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Yang menimbulkan misteri sampai sekarang (1990) adalah mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Bahkan dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.[4]
K.H. Imam Sofwan Adzan di Dalam Sumur
Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.
Muslim (65 tahun) menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. MALAM itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.
Achmad Idris (76 tahun), tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.
Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.
Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.
Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.
Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.[1]
K.H. Rokib Digebuki Habis-habisan dan Dihantami Granat
Di sebuah kampung di Kota Magetan yang dihuni oleh umat Islam, Kampung Kauman namanya, terdapat seorang pedagang keliling yang juga guru ngaji bernama K.H. Rokib. Dia mengaku pernah didatangi oleh 12 orang anggota PKI pada 19 September 1948 sekitar pukul 03.00 dini hari. Dalam keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa Wringin Agung.
“Setiba di Wringin Agung, saya dimasukkan ke dalam rumah yang gelap sekali. Dari bisik-bisik mereka, saya tahu bahwa Asrori, guru madrasah di Kauman itu sudah dibunuh di Dadapan,” kenang Rokib. Setelah seharian dikurung, Rokib kemudian digiring oleh orang-orang yang berpakaian tentara ke arah selatan.
Setiba di Dusun Dadapan, Desa Bangsri, Rokib sekonyong-konyong diseret ke lubang pembantaian di tepi tegalan yang ditanami ketela pohon. Di lubang pembantaian tersebut, kedua tangan Rokib ditarik berlawanan arah oleh orang-orang PKI dan kakinya ditekan supaya terduduk. Dalam keadaan seperti itu, Rokib sadar bahwa dia akan disembelih oleh FDR/PKI seperti mayat-mayat yang bergelimpangan dalam lubang di depannya.
“Waktu itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari pesantren,” tutur Rokib yang mengaku pernah menjadi santri di Pesantren Mamba’ul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga berhasil melepaskan tangannya dari pegangan PKI. Kemudian dengan sekuat tenaga, Rokib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.
“Hooii… tawanane ucul! (Hooii… tawanannya lepas!)” teriak orang-orang PKI seperti yang ditirukan Rokib saat mereka mengejarnya di antara tanaman ketela pohon dan semak yang lain. Tetapi pelarian Rokib itu hanya bebberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Rokib mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI, bahkan di Desa Ngariboyo, kepalanya dihantami granat oleh seorang tokoh PKI.[2]
Hampir sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng.[3]
Kampung Kauman Dibakar
Pada hari Senin Legi, 20 September 1948 tiba-tiba ada sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.
“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik “mencari pembunuh” ala PKI yang sebenarnya ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.
Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad Daenuri (58 tahun), putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” kesimpulannya.[4] Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri.
Masjid Agung Trenggalek Dibakar
PKI telah menyiapkan belasan jurigen bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak beranjak dari mihrab tempat suci itu. Sehingga tepat jam 12 malam pada tahun 1949, dia diseret keluar masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah rata dengan tanah.[5]
Pemuda Rakyat dan Gerwani Serbu Masjid Agung Kembangkuning
Sejak Pemilu 1955 posisi PKI Surabaya semakin menguat. Apalagi mereka didukung sebagian aparat tentara. Kekuatan itu digunakan untuk menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya peninggalan Sunan Ampel. Pada tahun 1962, gerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang garang menyerbu masjid tersebut. Parahnya lagi, Al-Qur’an dan kitab lainnya dinjak-injak dan dibakar.[6] Mereka juga menari-nari dan menyanyikan lagu Genjer-Genjer di tempat suci tersebut. Masjid dijadikan panggung orkes oleh mereka. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani.[7]
Tanah Milik Negara dan Warga Nahdlatul Ulama (NU) Diserobot
Memasuki tahun 1964, PKI gencar menduduki berbagai tanah negara. Karena didukung oleh beberapa oknum pemerintah, langkah tersebut berjalan lancar. Dalam waktu singkat, 900 hektar tanah negara bisa dikuasai. Tak sampai disitu, PKI juga berani mematok tanah milik warga NU, H.Saimur. Selain dipatok, tanah itu juga ditanami tanaman oleh PKI, seolah tanah itu adalah miliknya. Melihat kenekatan PKI itu, H.Saimur meminta bantuan Gerakan Pemuda (GP) Ansor, lalu oleh GP Ansor, tanah itu ditancapi bendera NU dengan sesumbar kalau PKI berani mencabut bendera NU, maka GP Ansor akan menghadapi PKI. Mendengar itu, PKI tidak berani lagi menjarah tanah H. Saimur. [8]
Selanjutnya PKI bersama Badan Tani Indonesia (BTI) menebang tanaman tebu seluas tiga hektar milik H.Abu Sudjak, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kediri. Setelah ditebang, PKI langsung menjualnya ke Pabrik Gula Ngadireja. Namun karena Abu Sudjak sudah kenal dengan pimpinan pabrik, uang hasil penjualan tebu PKI dan BTI tadi, diambil oleh Abu Sudjak. Tentu saja PKI sangat marah. PKI tak kehabisan akal, mereka kemudian memagari tanaman tebu yang masih tersisa dan menganggap sebagai lahan BTI. Melihat hal itu, Pimpinan GP Ansor dan para pendekar lantas merobohkan dan mencabuti pagar lahan yang dibuat oleh BTI, lalu ditancapi bendera GP Ansor. [9] Segerombolan Pemuda Rakyat BTI dan Gerwani juga pernah menduduki tanah milik muslimat NU yang terletak di tengah kota Surabaya. Tanah itu langsung dipagari dan dipasang bendera PKI dan Gerwani. [10]
Itulah sebagian aksi terorisme ala PKI. Dengan demikian, tak berlebihan bila semua pihak yang saat ini menginginkan TAP MPRS No XXV/ 1966 berisi Ketetapan Tentang PKI dicabut, kita sebut sebagai pencetak bibit-bibit teroris. Dan menjadi tugas pemerintah serta seluruh rakyat Indonesia untuk mencegah terorisme ala PKI terulang kembali.
Catatan Kaki:
[1] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 55-58
[2] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 40-41
[3] Dikutip oleh Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 42 dari Jawapos, 18 September 1989
[4] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 42-43
[5] H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Depok: PBNU&Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.67-68
[6] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.113
[7] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm. 96
[8] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm. 105-106
[9] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm. 106
[10] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.109
0 komentar:
Post a Comment