Déjà vu Kudeta Turki: Antara Kairo dengan Istanbul-Ankara


*Can Acun

Percobaan kudeta bulan lalu di Turki memberikan kesempatan untuk mengisahkan kembali pengalaman saya di Kairo selama kudeta di Mesir 2013. Saya bandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Turki, ketika saya  turun ke jalan dan berkumpul di gedung Parlemen untuk melindungi demokrasi. Rakyat Turki seperti halnya Mesir tidak pernah berpikir bahwa tentara akan menggunakan senjata untuk melawan rakyat.  Namun kemudian mereka sadar ketika tank, jet dan helikopter menyerang rakyat. Namun, rakyat tidak berhenti tanpa melawan dan gerakan rakyat semakin membesar setelah seruan Erdogan. Meskipun  250 orang terbunuh dan lebih 1500 lainnya terluka, kudeta akhirnya gagal. Kemenangan tersebut menjadi keebrhasilan monumental walaupun merenggut biaya tinggi.  Malam 15 Juli adalah momentum simbolik dalam sejarah kita, ketika semua orang dari pelbagai kelompok, ideologi dan etnis bersama-sama, bersatu melawan musuh bersama.

Kudeta Mesir dan Sikap Barat

Melihat kembali apa yang terjadi di Ankara dan Istanbul serta Kairo,  jelas tampak  kesamaan dalam peristiwa itu; yakni bagaimana pendekatan institusi politik, media, akademisi dan lembaga-lembaga think tank terhadap kudeta di Mesir dan di Turki.

Selama kudeta di Mesir pada 2013, dunia Barat, khususnya AS memutuskan secara sadar untuk mengabaikan realitas. Barat benar-benar memainkan gambaran peran 3 monyet -tidak melihat kejahatan, tidak mendengar ada kejahatan, dan tidak berbicara tentang kejahatan -ketika militer menggulingkan Muhammad Mursi, Presiden Mesir yang diplih secara demokratis. Hampir semua partai politik dibekukan, media disensor, ribuan rakyat dijebloskan dalam penjara dan diatas itu, mereka yang melawan ditindas dengan brutal oleh polisi dan militer. Sementara semua ini terjadi, pemerintah AS yang cukup mengejutkan  tidak mampu menjelaskan atau setidaknya bersikap atas apa yang tengah terjadi di Mesir. Membicarakan hal itu tabu bagi Washington.

Ketika aksi perlawanan semakin mengeras dan pembantaian merajalela, AS untuk sementara merubah pendekatannya. Kritik AS mulai terdengar nyaring, Washington kemudian membekukan bantuan militernya untuk sementara agar dapat mengendalikan isu. Namun, tidak berlangsung lama. Amerika bagaimanapun tetap mendanai para jenderal dan Abdel Fattah al Sisi. Dukungan AS atas kudeta dan pemerintahan diktator di negara-negara Islam menjadi semakin lebih jelas. Kita jadi tahu bahwa pidato Obama yang luar biasa di Kairo pada 2009 tentang “Era Baru” dengan harapan tinggi tentang demokrasi dan kebebasan, tidak lebih dari omong kosong.

Sikap Uni Eropa hampir sama dengan AS. Ketimbang memilih berdiri menentang kudeta militer yang brutal di Kairo, pernyataan wakil Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri Baroness Cathy Ashton justru bersebarangan dengan nilai-nilai Uni Eropa sendiri. Dia malahan menyakinan partai-partai politik Mesir untuk menerima “realitas baru” selama kunjungannya ke Mesir pasca kudeta. hasilnya, Uni Eropa dan AS tidak mau menyebut pengambilalihan kekuasaan Presiden Muhammad Mursi sebagai “aksi kudeta” dan kemudian tetap melanjutkan kerjasama dengan rejim yang memberangus demokrasi.

Peristiwa yang kita alami jelas menunjukkan bahwa jika kudeta itu berhasil, maka aksi kudeta itu akan dijustifikasi bagaimanapun caranya oleh Barat. Turki akan berubah menjadi Mesir lain. Lapangan Taksim dan Kizilay akan berganti menjadi Rabi al Adawiyah dan Nahda baru. Ketika ribuan orang dibunuh secara brutal oleh militer, maka Barat akan melukiskannya sebagai harga untuk mendirikan demokrasi. Inilah realitas Barat kini. Hanya saja, rakyat Turki berhasil menggagalkannya, namun kita harus tetap selalu ingat sebagai pelajaran di masa depan.

Media Barat juga berlaku hipokrit atas kudeta di Mesir. Sementara Mursi digambarkan sebagai sosok ‘tiran’, sebaliknya Jenderal Al Sisi (yang amis darah) dicitrakan sebagai penggerak restorasi demokrasi karena sukses melawan “teror radikal Islam’. Bukannya menyalahkan aktor kudeta, sebaliknya Ikhwanul Muslimin yang bergerak dalam kerangka demokrasi justru dijadikan sasaran tembaknya. Gerakan ini disalahkan karena dituduh memecah belah rakyat dan mencoba menerapkan Syariah ke Mesir. Anehnya, semua itu terjadi ketika militer Mesir sedang membantai rakyatnya sendiri yang menginginkan dikembalikannya demokrasi.

3 tahun kemudian, kita menyaksikan sendiri dampak nyata kudeta Mesir. Negeri ini hancur secara sosial dan ekonomi, dimana ribuan orang terbunuh dan 40 ribu lainnya dijebloskan dalam penjara.

Déjà vu!

Setelah 3 tahun setelah kudeta di Mesir, percobaan kudeta terjadi di Turki. Sepertinya, kita mengalami déjà vu. Meskipun kita menyaksikan kebrutalan kudeta, dimana tank digunakan untuk membunuh rakyat dan parlemen diserang pesawat tempur, namun terjadi kebisuan masyarakat internasional.  Baru kemudian muncul pernyataan yang terlambat Uni Eropa dan AS. Apa yang terjadi di Mesir  (dengan sikap mereka), kini terjadi lagi di Turki. Ketika kudeta gagal, media Barat justru menyerang rakyat yang berjuang membela demokrasi dan Presiden Erdoğan; Respon mereka menjadi bukti yang nyata betapa mereka kecewa ketika kudeta gagal. Diantaranya, spekulasi bahwa ‘faktanya’ kudeta dilakukan oleh Erdogan sendiri agar dapat mengendalikan kekuasaan secara penuh di Turki dan (berita lain) keanggotaan Turki dalam NATO dipertanyakan.

Organisasi HAM Barat yang tidak dapat menjelaskan berapa banyak korban perang saudara di Suriah selama bertahun-tahun hanya dalam hitungan hari dapat mengumpulkan tuduhan perlakuan buruk pemerintah atas para prajurit yang ditangkap karena terlibat kudeta. Ada banyak lembaga think tank yang mengatakan kegagalan kudeta karena tentara gagal membunuh Erdogan. Sementara lembaga think tank lainnya mengklaim bahwa upaya melawan Daesh terancam sebagai akibat  kudeta yang gagal. Lebih jauh mereka menuduh Erdogan akan menggunakan Al Qaeda untuk berperang dengan AS.

Peristiwa yang kita alami jelas menunjukkan bahwa jika kudeta itu berhasil, maka aksi kudeta itu akan dijustifikasi bagaimanapun caranya oleh Barat. Turki akan berubah menjadi Mesir lain. Lapangan Taksim dan Kizilay akan berganti menjadi Rabi al Adawiyah dan Nahda baru. Ketika ribuan orang dibunuh secara brutal oleh militer, maka Barat akan melukiskannya sebagai harga untuk mendirikan demokrasi. Inilah realitas Barat kini. Hanya saja, rakyat Turki berhasil menggagalkannya, namun kita harus tetap selalu ingat sebagai pelajaran di masa depan.

*Kolomnis MEMO DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment