Hampir tujuh bulan kasus Pengadaan Bus Karatan TransJakarta senilai 1,5 triliun ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung. Dan sejak terbongkarnya kasus tersebut pada bulan Ferbruai 2014, berbagai pihak telah mendesak Kejaksaan untuk bertindak transparan dan terbebas dari kepentingan politis dalam penanganan kasus yang diduga melibatkan Gubernur Jakarta Joko Widodo alias Jokowi.
Namun fakta menunjukan Jaksa Agung justru terkesan bertindak sebagai “makelar kasus”, dengan melontarkan berbagai pernyataan bersifat kebohongan publik demi melindungi Jokowi dalam skandal korupsi dimaksud. Yakni sejak awal kasus ini baru mulai memasuki tahap penyidikan, Jaksa Agung, Basrief Arief memberi kesimpulan bahwa: JOKOWI TIDAK TERLIBAT.
Lebih memprihatinkan, klaim berupa kesimpulan Jaksa Agung tersebut diikuti oleh upaya menghambat proses penyidikan yang berlarut-larut dan tidak transparan. Sehingga dalam kurun waktu berbulan-bulan, Jokowi telah diposisikan seolah untouchable, menjadi kebal hukum di mana “Jokowi tidak boleh dimintai keterangan apa pun oleh penyidik, baik sebagai saksi maupun terduga”.
Padahal, Jokowi dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa dirinya bersedia dimintai keterangan. Tapi ironinya, pihak Kejaksaan sama sekali tidak merespon secara serius guna melakukan pemanggilan terhadap Jokowi…?
Dipihak lain, mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan tegas berkali-kali minta keadilan agar Jokowi harus ikut bertanggungjawab. Namun, lagi-lagi Jaksa Agung menjawab: JOKOWI TIDAK TERLIBAT ! -- ADA APA DENGAN SIKAP JAKSA AGUNG…?
Indikasi kentalnya intervensi kepentingan politik dari pihak-pihak yang diduga berupaya menghambat penuntasan kasus TransJakarta, telah menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat luas. Begitu mencoloknya sikap Jaksa Agung untuk membela serta melindungi Jokowi agar tidak terseret dalam kasus korupsi.
Tepat pada tanggal 18 Juni, Progres 98 mengungkap dugaan keterlibatan para pihak yang merupakan orang kuat di negeri ini yang bersekongkol dengan Jaksa Agung untuk melindungi Jokowi dari kasus TransJakarta.
Melalui temuan selembar transkrip dugaan pembicaraan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Jaksa Agung Basrief Arief terkait skandal TransJakarta. Di mana ada pesan khusus berupa kesepakatan kedua pihak untuk melindungi Jokowi dengan tidak menjadikannya sebagai tersangka
Bocoran skandal transkrip tersebut kami sampaikan melalui surat resmi berupa permohonan klarifikasi kepada Jaksa Agung yang lazim dilakukan oleh warga negara yang patuh pada aturan dan hukum. Namun, celakanya upaya klarifikasi dimaksud justru diplintir oleh Jaksa Agung dan pihak-pihak terkait dengan tuduhan melakukan “fitnah”. (surat klarifkasi dan salinan transkrip terlampir).
Lebih jauh, Jaksa Agung menunjukan kepanikan yang luar biasa, dan mengancam melakukan tindakan untuk membawa kasus konfirmasi yang kami lakukan tersebut ke jalur hukum. Aneh, rakyat menyampaikan sepucuk surat konfirmasi agar diklarifikasi kebenarannya, tapi oleh Jaksa Agung justru dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum dan distigmakan sebagai fitnah.
Kini hampir empat bulan berlalu, publik dapat menilai dengan jernih, tentang dugaan bocoran isi transkrip pembicaraan Megawati - Basrie Arief. Begitu sangat “tersirat” adanya konspirasi dari tangan-tangan jahat melindungi kasus korupsi yang bersentuhan dengan pribadi dan kepentingan kelompok terkait. Yakni, fakta: Jaksa Agung lindungi Jokowi !
Lepas dari kontraversi kasus transkrip, beberapa tanggal 10 Okteber, Ketua Umum Front Pelopor, Rachmawati Sorkarnoputri dan Progres 98 menyampaikan sebuah petisi kepada DPR RI untuk mendesak pemanggilan atas Jaksa Agung dan KPK guna meminta klarifikasi atas pananganan kasus TransJakarta.
Lagi-lagi, permohonan klarifikasi melalui kewenangan DPR dimaksud, disikapi secara reaktif oleh Jaksa Agung dengan menegaskan: JOKOWI TIDAK TERLIBAT. Dalih yang digunakan Jaksa Agung adalah asumsi pribadi dengan “retorika klasik” yakni: “Tidak ditemukan adanya fakta hukum”. Bagaimana bisa menyimpulkan Jokowi tidak terlibat sementara yang bersangkutan tidak pernah diperiksa oleh penyidik…?
Sikap reaktif Jaksa Agung terkesan bertindak sebagai “makelar kasus”. Jaksa Agung sangat khawatir bila dirinya dipanggil oleh Pimpinan DPR RI, sehingga berupaya menghindar dengan melontarkan berbagai opini kebohongan publik yang sesungguhnya melecehkan kehormatan dan eksistensi lembaga penegak hukum.
Perilaku “makelar kasus” yang dipertontonkan oleh Jaksa Agung, menurut kami dari Progres 98 merupakan bentuk kejahatan untuk melindungi praktek korupsi. Oleh sebab itu, kami berharap Pimpinan DPR yang telah berjanji akan memanggil Jaksa Agung harus segara direalisasi. Mengingat, publik ingin mendapatkan kejelasan tentang keterlibatan Jokowi dalam kasus TransJakarta. Jangan sampai presiden yang kelak dilantik oleh MPR, di kemudian hari tersandera oleh kasus kejahatan korupsi !
Jakarta, 13 Oktober 2014
salam
Faizal Assegaf
Ketua Progres 98
0 komentar:
Post a Comment