AS-SYAHIDAH HEBAH FIKRI, MEWARISKAN PUTRA YANG TEGAR
"Bangunlah wahai ibu...., kembalilah wahai ibu..., demi Allah bangunlah ibu" hanya kata itu yang bisa diungkapkan oleh Ramadan anak yang masih berumur kurang sepuluh tahun di depan ibunya yang telah terbujur kaku dan tak bisa lagi mendengar suara buah hatinya, suara ibah disertai tangis mengharap ibunya bisa bangkit lagi itu terjadi di pagi hari dalam pembantaian demonstrasi damai di Lapangan Rabiah Al-Adaweah, 14 Agustus 2013.
Hebbah Fikri atau orang-orang akrab menyebutnya dengan panggilan Ummu Ramadan, satu dari ribuan korban pembantaian Rabiah yang videonya tersebar luas dan terkenal karena tangisan sang putra yang banyak disaksikan oleh orang-orang saat terjadi pembantaian Rabiah, di mana sang putra yang melihat ibunya terbujur kaku, memintanya untuk bangun dan kembali "Demi Allah kembalilah wahai ibu".
Salah seorang yang banyak menceritakan tentang kisah syahidah Hebbah Fikri beserta putranya adalah Rehab El-Aqsha (Sarah), dalam tulisannya di jejaring sosial, Rehab menceritakan awal mula perkenalan keduanya, kemudian masa-masa indah perkenalan keduanya selama ikut dalam aksi bertahan di lapangan Rabiah El-Adaweah, hari pembantaian demonstrasi Rabiah dan Nahdah secara bersamaan, hingga Rehab menyaksikan
salah satu video putra Hebbah Fikri yang memanggil-manggil ibu yang telah tiada, kemudian Rehab untuk menghubungi Ramadan. Berikut adalah penuturan Rehab El-Aqsha mengenai As-Syahidah Hebbah Fikri dan putrannya, Ramadan:
"Sesuatu yang membuat saya merasa sangat kehilangan pasca pembubaran demonstran Rab’ah Al-Adawiyah adalah putusnya hubungan dengan orang-orang yang saya memiliki hubungan yang sangat baik denganya selama masa bertahan di Rab’ah. Di antara orang-orang tersebut yang saya berkenalan denganya di depan panggung Rab’ah, tepatnya pada tanggal 3 Juli yaitu Hebbah. Kami sering larut dalam obrolan indah. Obrolan terakhir adalah saat saya dan dia bertukar nomor telepon. Sejak saat itu ia selalu menelponku setiap hari, karena ia tidak selalu bisa datang ke lapangan Rab’ah dengan kondisi pekerjaannya, atau putranya yang sakit.
Ia selalu menghubungiku setiap hari, sekedar untuk mendengar kabarku dan ingin mengetahui kondisi lapangan, menanyakan perkembangan terbaru, juga menanyakan apa yang kami butuhkan untuk dia antarkan. Karena ia tinggal di Nasr City maka dengan mudah ia datang ke lapangan Rab’ah. Dan kalau ia datang, ia tidak menginap seperti kami.
Suatu ketika ia datang ke lapangan bersama anaknya (Ramadhan) yang duduk di bangku kelas lima SD. Dia ikut serta dalam long march dari Nasr City ke lapangan Rab’ah. Saat itu sekolompok preman menyerang rombongan long march, dan banyak orang terluka, di antaranya adalah anaknya terkena lemparan potongan batu di kepalanya dengan 12 jahitan. Saat itu, ia menghubungiku dan memintaku untuk membaeritahu siapa pun yang ada di atas panggung bahwa preman sedang menyerang demonstran yang melakukan long march, juga agar mengirim mobil ambulans karena preman telah masuk ke rumah sakit di mana orang-orang terluka diobati, dan menghancurkan segalanya. Saya pun segera memenuhi permintaannya.
Banyak sekali kenangan indah bersamanya. Saya teringat ketika saya dan teman-teman hendak berangkat mencuci pakaian. Di tengah jalan kami bertemu dengannya, melihat kami membawa pakaian ingin mencuci, ia memaksa dan mengambil pakaian yang kami bawa dan mencucinya di rumahnya.
Keesokan harinya baru ia bawa ke lapangan. Ia katakan, “kalian tak perlu susah-susah pergi mencuci, saya tidak capek-capek mencucinya karena saya langsung memasukkan pakaian kalian ke mesin cuci otomatis, cukup kalian dengan bakti sosial dan memasak.” Kami terus berhubungan via telepon hingga hari Selasa 13 Agustus 2013, sehari sebelum pembantaian Rab’ah. Malam pembantaian Rab’ah ia sempat menghubungiku, dan mengabariku bahwa ia sedang memasuki lapangan Rab’ah bersama anaknya, pembicaraan ini tepatnya setelah adzan Magrib dan mengatakan bahwa ia merasa sesuatu yang menghawatirkan, dan hari ini akan terjadi kejutan. Inilah terakhir kali saya mendengar suaranya dan saya pun tak mengetahui kondisinya setelah itu.
Karena HP saya rusak dan di dalamnya banyak nomer kontak saya, termasuk beliau, maka saya pun tak mengetahui bagaimana harus menghubunginya. Hingga beberapa lama, muncul tersebar sebuah video seorang anak di dalam pembantaian Rab’ah yang menangis di depan ibunya yang telah tiada, yang mengatakan ke ibunya, “bangunlah ibuku, demi Allah bangun ibuku, ibu saya Ramadan.” Saat itu saya tidak banyak memerhatikan, bahkan ketika anak tersebut menyebut dirinya "Ramadan". Dan saya baru menyadari setelah beberapa hari, kemudian saya kembali memutar video tersebut bersama ibu. Saat itu saya baru menyadari dan berkata ke ibu, “ibu bukanlah anak ini adalah Ramadan anaknya Hebah? tidak ini bukan Ramadan” saya berkata ke Ibu,“ini bukan Ramadan.” Hanya ibu satu-satunya yang pernah bertemu dengan Ramadan di Lapangan, ia terus mengingat-ingat selama sejam, namun ia telah lupa. Saya pun meyakinkan diri selama beberapa lama bahwa anak ini bukanlah Ramadan, walaupun saya merasa bahwa di Ramadan anak Hebbah.
Tak lama setelah itu, di dalam telepon ibu saya menemukan nomer Hebah, saya tak mengetahui ibuku telah memasukannya ke kontaknya. Wallahu A'lam saya tak tahu, yang jelas saya langsung menelpon. Secara mengejutkan bukan Hebah yang mengangkat tapi Ramadan anaknya, dialah yang mengangkat teleponku. kami pun terlibat pembicaraan:
- Assalamualaikum, ucapku memulai pembicaraan.
+ Waalaikumussalam, jswab Ramadan.
- Halo boleh tahu dengan siapa saya bicara? Apakah kamu Ramadan?, saya mulai bertanya.
+ Iya, betul Saya Ramadan, jawabnya.
- Baik, mama di mana Ramadan? saya kembali bertanya.
+ Ibu, Allah telah merahmatinya, jawab Ramadan.
Mendengar jawaban Ramadan tersebut, saat itu, terasa bagai goncangan luar biasa. Saya tak mampu menahan isak tangis.
- Jadi kamu yang ada di video itu yang menangis dan berkata kepada ibu, “bangun Mama, Mama bangun Mama, demi Allah?” saya kembali bertanya memastikan.
+ Iya betul saya Ramadan yang di video itu" Jawab Ramadan dengan penuh ketegaran. Lalu anda siapa? Ramadan lalu bertanya balik.
-Saya Sarah, yang saat itu, kamu selalu datang di Masjid bersama Mama. Kamu masih ingat saya? jawabku
+ Iya,jelas. Saya masih ingat anda. Saya dan Mama mendatangi anda di masjid sebelum Mama syahid. Jawab Ramadan.
- Baik sayang, bapak di mana? saya kembali bertanya.
+ Bapak tidak ada. Jawab Ramadan
- Kalau begitu kamu sama siapa?
+ Saya sama sepupu
Setelah itu, saya pun minta alamat rumahnya. Sebelum saya menutup pembicaraan, saya tawarkan bantuan, “apakah Ramadan butuh sesuatu?” Dijawab Ramadan,“Tidak, saya tak butuh apa-apa, Alhamdulillah.” Sebelum menutup, saya ucapkan,“Al-Baqau lillah (keabadian hanya milik Allah).” Iapun menjawab, “Kebadian hanya milik Allah, tak ada yang kekal kecuali Allah.”
Di sini saya tahu, seorang anak seperti Ramadan dengan ketegaran, keikhlasan dan kesabarannya. Saya tak mampu mengungkapkannya kualitas ketegaran dan kesabaran yang dimiliki Ramadan, yang Allah telah lekatkan dalam hatinya.Semoga Allah menyayangi ibunya, dan mengumpulkannya bersamanya di Firdaus-Nya yang tertinggi dengan izin Allah.Saya berpikir untuk menemui dan menenangkannya, namun tersisa pertanyaan, bagaimana jika ia bertanya, bagaimana ia bisa mengembalikan hak ibunya yang telah terbunuh bersama orang banyak, terbunuh dengan darah dingin? saya akan jawab apa?Jelas tak ada jawaban.Tenanglah engkau di surga wahai Hebbah dan Allah menjagamu wahai Ramadan."
Demikianlah penuturan Sarah (Rehab El-Aqsha) menceritakan sifat, kenangan indah bersama As-Syahidah Hebah Fikri serta ketegaran putranya Ramadan menghadapi kepergian sang ibu tecinta. Dan berikut adalah video tangisan Ramadan di hadapan ibunya yang telah tiada, memintanya untuk kembali:
http://www.syuhadar4bia.com/
0 komentar:
Post a Comment