Demikian menurut laporan dari Stockholm International Peace Research Institute sebagaimana dikutip Al-Jazeera, Sabtu (16/09).
Militer Myanmar telah menjalin hubungan politik dan urusan lainnya dengan luar negeri sejak kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1948.
Selama lebih dari setengah abad, militer memerintah dengan tangan besi. Sejak awal 1990-an, militer tunduk pada berbagai embargo dan sanksi dari Uni Eropa dan AS.
Dalam kasus kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Myanmar, militer berperan aktif. Pernyataan terbaru Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing menegaskan bahwa Rohingya tidak pernah diakui oleh negara.
“Mereka menuntut pengakuan sebagai Rohingya, yang tidak pernah menjadi kelompok etnis di Myanmar. Masalah bahasa Bengali adalah penyebab nasional dan kita perlu bersatu dalam menegakkan kebenaran,” katanya dalam postingan di Facebook.
Militer berusaha membela atas kecaman global dalam kasus kekerasan tersebut. Sementara pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan tentara, yang mempertahankan kekuatan selama bertahun-tahun di pemerintahan.

0 komentar:
Post a Comment