100 Hari Jokowi: Jokowi Adalah Mereka


Hari-hari kampanye pemilihan presiden diwarnai perang jargon antar kandidat. Kubu Jokowi sukses memperkenalkan jargon: ‘Jokowi Adalah Kita’. Kita disini diasosiasikan dengan rakyat. Lebih khusus lagi rakyat miskin, proletar yang jumlahnya mencapai lebih dari 25 juta jiwa.

Meskipun banyak juga orang yang kemudian menyebut apa yang ditampilkan Jokowi adalah artificial, polesan media dan hasil rekayasa citra yang melibatkan para ahli dibidangnya, namun rakyat sudah kadung terbius dengan jargon tersebut, ditambah lagi dengan tampilan Jokowi yang seolah bersahaja dan tidak menjaga jarak dengan rakyat.

Seorang netizen misalnya menulis di Kompasiana:

“Jokowi adalah produk hasil pencitraan. Semua segi pada diri seorang Jokowi dieksplorasi sebagai bahan pencitraan. Tampilan fisiknya yang cungkring, tidak ganteng dan ndeso, gaya bicara yang tidak anggun santun dan gerak gerik yang tidak mantap gagah, masa lalu yang orang gusuran, prestasi ala kadarnya yang dibesar-besarkan, semua diramu secara canggih, disusun secara terstruktur, dimasukkan secara sistematis ke dalam jualan industri media dengan segala bentuknya, lalu terus menerus secara masif dibombardirkan kepada khalayak masyarakat, sehingga ingatan dan kesadaran mereka secara mau tak mau, secara bawah sadar akhirnya menerima Jokowi untuk menjadi presiden republik Indonesia.
Pemahaman tentang modus pencitraan Jokowi telah disadari, diketahui oleh banyak orang sangat pintar di Indonesia baik dari kalangan cendekiawan maupun politisi, dari rakyat biasa maupun para pemimpin, lalu disebarluaskan pula melalui media agar masyarakat paham bahwa semua tentang Jokowi hanyalah pencitraan. Tapi karena kalah dalam kampanye perang media dengan backing Jokowi, maka pencitraan Jokowi tidak dapat dibendung. Mengenai pencitraan Jokowi ini diketahui dan diamini jutaan orang, bahkan puluhan juta orang di Indonesia. Maka sesuatu yang dibenarkan oleh puluhan juta orang, jumlah yang melebihi semua penduduk negara ASEAN lain digabung menjadi satu, adalah benar. Kalau tidak boleh saklek mengatakan bahwa itu benar, ya setidaknya hal itu menjadi kebenaran yang diyakini oleh yang puluhan juta orang itu.”

Meski banyak penulis yang kemudian membuat analisa tentang citra artifisial Jokowi yang mengingatkan kita akan Lula da Silva, Presiden Brazil yang juga sukses memoles citra dirinya sebagai bagian dari rakyat proletar (namun dikemudian hari terbukti menjual negaranya secara murah kepada asing), namun ‘Jokowi adalah Kita’ sudah kadung diterima secara luas dan terbukti mengantarkan Jokowi sebagai presiden.

Jokowi Adalah Mereka

Belum sampai 100 hari sejak dilantik Jokowi sudah memperlihatkan watak aslinya. Bahkan belum genap satu bulan Jokowi sudah mulai mengambil jarak dengan rakyat, yaitu saat dengan tergesa-gesa menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah harga minyak mentah yang justru sedang turun tajam. Meskipun banyak pakar ekonomi yang memeringatkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM saat itu tidak tepat Jokowi tidak peduli dan tetap berlari meninggalkan rakyat pemilihnya yang sebagian besar orang miskin dan paling merasakan dampak kebijakan tersebut. Jokowi mulai menampakkan diri bukan lagi bagian dari kita.

Sebenarnya luka bagi masyarakat pemilih sudah diberikan Jokowi sebelum itu, yaitu saat pengumuman kabinet.

Sedikitnya dalam hal ini Jokowi dua kali membohongi ‘Kita’. Pertama, saat Jokowi menjanjikan kabinet ramping namun nyatanya kabinet kerja tetap gemuk. Bahkan jumlah kementerian tetap sama dengan periode sebelumnya. Kedua, saat pengumuman nama-nama menteri yang tidak bisa dimungkiri jadi semacam bagi-bagi jatah bagi seluruh pihak yang dianggap berjasa bagi Jokowi. Demikian juga dengan pemilihan direksi dan komisaris BUMN. Ini semacam politik balas budi, atau Belanda menyebutnya Politik Etis. Jokowi bukan lagi milik kita.

‘Jokowi Adalah Kita’ semakin tinggal kenangan saat Sudirman Said, Menteri ESDM, mengeluarkan ijin ekspor Freeport meskipun Freeport mengabaikan kewajiban membangun smelter. Langkah menteri ESDM ini mengangkangi UU No. 4 tahun 2013 tentang minerba.

Jokowi makin kedodoran mempertahankan citranya sebagai bagian dari kita ketika tetap nekad mengajukan Komjen Budi Gunawan yang sudah diberi catatan merah oleh KPK sebagai calon Kapolri. Kenekatan Jokowi ini akhirnya melahirkan konflik baru ‘Cicak VS Buaya’ yang kali ini ditambah ‘Banteng bermoncong putih’.

Kembali ke soal BBM, pemerintahan Jokowi memang akhirnya menurunkan harga BBM, bahkan dua kali berturut-turut dalam tempo satu bulan. Tetapi kebijakan ini juga rupanya hanya semacam ‘Jebakan Batman’. Euforia rakyat yang dapat lagi menikmati BBM murah menjadi waktu yang pas bagi pemerintah untuk mengkhianati amanah rakyat. Bersamaan dengan penurunan harga BBM, pemerintah resmi mencabut subsidi BBM dari APBN. Di dalam APBNP 2015 pemerintah menghapus subsidi BBM hingga mencapai Rp 186 triliun.

Itu artinya, meskipun saat ini harga BBM turun hingga ke level Rp 6.600/liter, bukan tidak mungkin bulan depan dan bulan-bulan berikutnya akan melejit hingga Rp 10.000/liter atau bahkan lebih. Sebab pencabutan subsidi secara total berarti harga BBM akan mengikuti harga pasar.

Siapa diuntungkan? Investor asing pemilik SPBU asing seperti Shell, Petronas, jelas berpesta menyambut kebijakan ini.
Dengan demikian, masihkah relevan menyebut Jokowi adalah kita? Atau barangkali lebih tepat sekarang kita menyebutnya, ‘Jokowi Adalah Mereka’.(sharia) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment