Dinamika Politik dan Kemenangan AKP Turki: Melihat Dalam Perspektif Berbeda
Seperti diprediksikan, para kandidat AKP menang dalam pemilu lokal Turki, 30 Maret 2014. Dalam banyak hasil hitung cepat, AKP mengungguli beberapa kompetitor utamanya dari partai sekuler, CHP dan jauh di bawah partai ultra nasionalis, MHP dengan range perolehan antara 44-47 persen. Perolehan suara kali ini masih di atas perolehan suara AKP dalam pemilu lokal di 2008, yakni 38 persen, hanya saja di bawah perolehan suara pemilu nasional 2011, yang hampir 50 persen.
Di atas itu, AKP sukses mempertahankan kemenangan di kota-kota penting yang diperebutkan secara ketat, seperti Istanbul dan Ankara di tengah citra petahana yang tergerus akibat isu suap dan berikut konflik terbuka PM Erdogan dengan Fethullah Gulen, kawan yang berubah menjadi lawan politik.
Istanbul dan Ankara adalah entry point aksi protes lingkungan yang berubah menjadi aksi kerusuhan anti pemerintah. Erdogan dituduh lawan politiknya membawa agenda Islamisme. Tidak pelak, kontestasi AKP versus partai-partai sekuler di kedua kota utama ini seolah menjadi ajang pertaruhan reputasi dan uji kredibilitas mereka di mata kalangan terdidik dan pemilih urban yang open-minded. Titik krusialnya, seperti sinyalemen Bung Arya dalam tulisannya di Republika (21/3), apakah AKP mampu mempertahankan dukungannya atau sebaliknya turun drastis laiknya papan seluncur. Namun di luar yang diprediksikan banyak pihak, termasuk Bung Arya sendiri, ternyata tesis bangkrutnya dukungan politik AKP di mata kalangan terdidik yang dikenal independen dalam keputusan politik ternyata tidak cukup terbukti. Partai besutan Erdogan ini masih kuat mendapat mandat masyarakat Turki, termasuk bahkan dukungan di kalangan urban, terpelajar dan mayoritas kalangan konservatif yang menjadi basis utama konstituensi Erdogan maupun Fethullah Gulen sendiri.
Perseteruan PM Erdogan versus pemimpin ordo religius, Fethullah Gulen ternyata tidak banyak menggerus perolehan suara mayoritas pemilih konservatif. Bahkan analisis kemerosotan perolehan suara AKP, 5 hingga 15 persen versi mantan dubes AS sendiri tidak cukup terbukti. Ini artinya, kuatnya eksistensi sosial dan ekonomi Gulenis serta pengaruh jejaringnya tidak banyak mempengaruhi keputusan politik kelas menengah konservatif Turki yang mewakili segmentasi pemilih yang paling luas di Turki. Mereka melihat mandat politik mereka kali ini lebih merupakan pilihan politik yang paling rasional baik karena performa kinerja AKP, latar belakang historis Islam vis a vis sekuler dan pilihan kedekatan ideologis. Persepsi pemilih konservatif Turki tampak jelas sebangun dengan persepsi yang dicitrakan Erdogan bahwa kekacauan politik domestik kali ini adalah refleksi kepentingan asing melalui agen domestik mereka untuk menggagalkan kebangkitan Turki. Operasi anti suap 17 Desember tidak lebih manuver politik komprador asing ketimbang upaya penegakan hukum.
Padahal Fethullah Gulen sendiri adalah pemimpin gerakan keagamaan yang memiliki jaringan sosial, pendidikan dan ekonomi yang kuat. Kendati secara metodologis gerakan ini apolitis, namun dalam prakteknya, Gulenis sangat berpengaruh dalam politik di Turki. Gulenis ditengarai kuat dalam institusi kejaksaan dan intelijen kepolisian. Koalisi keduanya di awalnya sukses menghantam kekuatan militer dan sekuler di Turki melalui pengungkapan skandal Ergenekon dan plot kudeta atas pemerintahan Erdogan. Sebagai imbalannya, Erdogan mendukung soft diplomacy Turki melalui promosi jejaring pendidikan dan gerakan ekonomi gerakan Gulen di luar negeri.
Namun, koalisi itu pada akhirnya retak. Sang Hoca yang lebih menyukai berdomisili di Pennsylvania, AS ketimbang di Turki ini banyak mengkritik dan menyerang pemerintahan Erdogan. Tentunya banyak isu yang menjadi penyebab retaknya koalisi ini. Gulenis tidak begitu menyukai dukungan ‘tanpa kompromi’ pemerintah Erdogan atas Ikhwan dan Hamas pasca Arab Spring, kecenderungan asertif Turki atas isu Suriah, kedekatan Turki dengan Iran namun di sisi lain dinilai semakin menjauh dari Uni Eropa hingga kebijakan yang dipandang anti-nasionalistik Erdogan atas isu Kurdi. Gejala keretakan hubungan kedua sekutu politik ini sebenarnya telah tampak di 2010. Pasca insiden Mavi Marmara, Fethullah Gulen dalam wawancara dengan Wall Street Journal mengkritik kebijakan anti Israel Erdogan dan pandangan ini secara konsisten dipertahankan sang Hoca ketika kembali diwawancarai BBC di awal 2013. Gulen kembali menyalahkan kampanye Freedom Flotilla yang telah merenggut 9 nyawa aktivis kemanusiaan, bukannya, Israel. Maka dalam konteks ini, mengutip Levent Basturk, retaknya hubungan kedua tokoh ini tidak lagi dipandang semata rivalitas kedua tokoh ini, namun lebih merupakan perbedaan cara pandang politik (worldview).
Tidak pelak, keretakan ini berganti menjadi perseteruan sengit setelah Erdogan berencana menutup sekolah persiapan ke perguruan tinggi (Dersanes) yang kebanyakan dikelola Hizmet serta menjadi sumber finansial dan kaderisasi mereka. Tidak selang sebulan, operasi besar-besaran anti suap digelar kepolisian Turki dan diikuti episode pembocoran rekaman percakapan para pejabat tinggi Turki dan bahkan Erdogan sendiri. Target operasi ini dapat dibaca adalah para petinggi dan pengusaha di sekitar AKP, termasuk anak-anak Erdogan sendiri, Bilal dan Burak. Sebagai kepala pemerintahan, Erdogan boleh jadi layak marah dan merasa dilecehkan. Selain karena momentum skandal ini menghantam pemerintahannya di saat menjelang pemilu lokal, kelompok yang dituduh Erdogan sebagai parallel state ini sukses memporakporandakan ekonomi Turki dalam waktu singkat. Dalam sekejap, saham-saham utama BUMN Turki rontok dan mengalami kerugian hingga 270 milyar dollar. Akibatnya, Bank Sentral Turki harus melakukan intervensi dengan menaikkan suku bunga naik dari 8,8 ke 9,6 persen,. Institusi kepolisian dan kejaksaan dapat mem-bypass hierarki dalam pemerintahannya serta membocorkan rekaman percakapan dan dokumen negara ke jejaring media sosial. Bocornya pelbagai rekaman pembicaraan pejabat pemerintahan dari Erdogan hingga kepala intelijen Hakan Fidan ke media sosial menjadi bukti kuatnya elemen deep state dalam struktur birokrasi Turki. Bahkan, Elemen ini secara kasat mata menjadi kekuatan tersendiri yang mampu menggoyahkan tatanan politik dan ekonomi Turki.
Hasil pemilu lokal kali ini secara jelas menjadi momentum kedua bagi AKP dalam melewati masa-masa kritis, setelah hasil pemilu 2007. Percepatan Pemilu di 2007 terjadi karena ada isyarat kudeta militer atas pemerintahan yang berakar dari kelompok Islamis ini. Militer marah karena AKP mencalonkan Abdullah Gul sebagai kandidat presiden Turki menggantikan Ahmet Necdat Sezer dari kubu sekuler. Namun justru momentum percepatan pemilu ini menjadi titik balik kemenangan dan legitimasi rakyat Turki atas pemerintahan Erdogan. Mandat pemilu lokal ini kembali memberi legitimasi AKP dan Erdogan untuk melanjutkan kepemimpinannya, setelah sebelumnya banyak pihak meragukan AKP dan Erdogan dapat menangguk sukses kembali, setelah insiden taman Gezi dan perseteruannya dengan Fethullah Gulen. Aktor penting dibalik sukses ini layak disematkan kepada Abdullah Gul, sosok berpengaruh kedua dalam tubuh AKP. Kalangan oposisi dan Gulenis pada awalnya sangat berharap Abdullah Gul dapat menjadi titik terlemah dalam konsolidasi internal AKP. Dalam statusnya sebagai Presiden Turki, Abdullah Gul memang menampakkan derajat independensinya atas beberapa isu kenegaraan. Namun di luar harapan mereka, Abdullah Gul dalam kunjungan di Hungaria menjelaskan pandangan politiknya dan sekaligus mengakhiri spekulasi yang berkembang atas dirinya. Gul justru mengkritik kecenderungan insubordinasi para Gulenis dalam pemerintahan Erdogan. Ini tidak pelak menjadi kontribusi terbesar kedua bagi kemenangan AKP setelah sukses melakukan konsolidasi atas pemilih konservatif di Turki. Wallahu A’lam.
Oleh Ahmad Dzakirin
0 komentar:
Post a Comment